Potensi Pemanfaatan Limbah Ampas Kecap dalam Pembuatan Self Healing Concrete Menggunakan Eco-Mortar
Ditulis oleh Anuraga Bagaskara Putra
Penggunaan beton dan mortar sudah banyak digunakan diseluruh dunia sebagai material konstruksi utama. Tercatat, sebanyak 14 miliar m3 beton diproduksi setiap tahun karena kekuatan tekan yang tinggi, dan harga yang murah. Hal ini diperkuat dengan berkembangnya zaman, kebutuhan akan konstruksi semakin meningkat juga. Tercatat, setelah krisis pandemi, Indonesia mencatatkan pertumbuhan pada sektor konstruksi sebesar 2,01 persen (Proxsis Insight, 2023), dan diproyeksikan pada akhir tahun 2024 akan terus meningkat sampai di angka 4,5 persen (Asosiasi Konstruksi Indonesia, 2024). Dengan masifnya pertumbuhan konstruksi di Indonesia, penggunaan beton menjadi satu hal yang wajib diperhitungkan mengingat beton selalu menjadi pilihan utama dalam sektor konstruksi, khususnya untuk beberapa bangunan daya tahan tinggi seperti bendungan, dan proyek industri. Namun, timbul masalah dari hal tersebut.
Tak dapat dipungkiri, beton dengan bahan dasar semen merupakan penyumbang emisi karbondioksida (CO2) terbesar ketiga setelah negara China dan Amerika Serikat (Masson-Delmotte, 2021). Emisi CO2 sendiri dapat berdampak fatal terhadap perubahan iklim global, dimana akan terjadi peningkatan suhu global sebesar 2o Celcius per 1 triliun ton karbon yang diemisikan. Tercatat, semen berkontribusi besar terhadap emisi CO2 ini dimana ketika ia dipanaskan, hasil pemanasannya adalah CO2. Terlebih lagi, untuk memproduksi satu ton semen, diperlukan proses pembakaran hingga 1.400 derajat Celcius untuk menghasilkan sekitar satu ton CO2 (Bimo, 2021).
Hal ini bisa terjadi mengingat penyusun komponen utama dari semen itu sendiri, ketika dibakar, ia akan menghasilkan CO2 dalam jumlah besar. Tren emisi CO2 dari beton sendiri diperparah dengan masifnya pertumbuhan konstruksi yang memaksa perusahaan konstruksi membuat semen dalam jumlah masif, menyebabkan emisi CO2 terus meningkat.
Selain dari segi lingkungan, kenyataan yang terjadi adalah beton yang sering diproduksi pun sering mengalami kegagalan, hal ini dapat terjadi karena beton tinggi mutu memerlukan semen yang lebih banyak, dan semen yang lebih banyak dapat membuat panas hidrasi yang tinggi, dimana hal ini dapat mengakibatkan penyusutan dan retak pada beton ketika awal proses pembuatannya, dan secara otomatis menurunkan kekuatan propertis dan ketahanan dari beton itu sendiri (Ingale & Nemade, 2023). Dalam menghadapi masalah tersebut, maka diperlukan suatu inovasi dalam pembuatan beton yang bisa memperbaiki dirinya sendiri menggunakan eco-mortar khususnya dalam penyusunan material semen untuk mortar, yang tidak hanya mengurangi emisi CO2, namun juga bisa meningkatkan kualitas mutu beton.
Pemanfaatan kembali limbah menjadi material daur ulang saat ini sedang gencar dilakukan, termasuk limbah ampas kecap. Saat ini, produksi kecap di Indonesia dapat mencapai 3.715.014 kg (Ardiansyah, 2019). Dimana dalam satu kali produksi kecap, setidaknya dihasilkan 59,7% ampas kecap dari ampas kedelai (Ardiansyah, 2019). Ampas kecap dalam jumlah besar seperti ini seringkali tidak dimanfaatkan potensinya oleh masyarakat khususnya warga Indonesia, dan memilih untuk membuangnya ke laut atau sungai, padahal, kandungan kimia yang terdapat pada ampas kecap dapat berefek fatal kepada perairan dan berpotensi menghasilkan polusi berat pada perairan.
Oleh karena itu, perlu pemanfaatan yang lebih baik dan salah satunya adalah dengan pemanfaatan limbah ampas kecap dalam pembuatan eco-mortar.
Wadah yang dapat digunakan untuk memanfaatkan limbah ampas kecap menjadi bahan material konstruksi adalah dengan teknologi Microbally Induced Calcite Precipitation atau biasa disebut MICP. Teknologi MICP ini memanfaatkan mikroorganisme untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) di bahan bangunan (dalam hal ini beton). Proses ini memerlukan mikroorganisme seperti Sporosarcina pasteurii yang memiliki kemampuan untuk menguraikan urea menjadi karbon dioksida (CO₂) dan amonia (NH₃) melalui enzim urease (Naveeda et al., 2019) :
CO(NH2)2+H2O→NH3+H2CO3
Dimana asam karbamat secara spontan dapat terurai membentuk asam karbonat dan ammonia yang menyebabkan proses hidrolisis dan menghasilkan ammonium dan ion hidroksil :
NH2COOH+H2O→NH3+H2CO3
2NH3+2H2O→2NH+4+2OH−
Akibat dari ion hidroksil, pH lingkungan sekitar bakteri akan meningkat dan menyebabkan produksi ion karbonat dan bikarbonat (Phillips et al., 2013) :
H2CO3→HCO−3+H+
HCO−3+H++2OH−→CO2−3+2H2O
Dari reaksi ini, kalsium karbonat akan terbentuk dalam kondisi jenuh ketika ion kalsium terlarut (Ca²⁺) dan ion karbonat (CO₃²⁻) tersedia. Namun, ion kalsium terlarut sangat jarang terbentuk secara alami, sehingga perlu didukung dengan penambahan kalsium tambahan untuk mendukung presipitasi CaCO3 (Mahawish et al., 2018) :
Ca2++CO2−3→CaCO3(s)
Di lingkungan dengan ion Ca²⁺, karbonat akan mengendap dalam bentuk kalsium karbonat padat yang mengisi pori-pori dalam suatu material bangunan khususnya mortar.
Metode MICP sebenarnya lebih populer digunakan pada tanah mengingat bakteri Sporosarcina pasteurii biasanya ditemukan di tanah, terutama di lingkungan yang kaya akan urea, seperti tanah di sekitar peternakan atau area dengan aktivitas dekomposisi organik yang tinggi, namun bukan berarti metode ini tidak bisa digunakan pada mortar, mengingat CaCO3 dalam hal ini bisa berfungsi dengan baik pada mortar karena pada mortar sama-sama mengandung agregat halus yaitu pasir yang berasal dari tanah, dan dengan pencampuran bahan organik seperti silica fume, hal ini dapat membantu proses pengikatan pada adukan mortar oleh kalsium karbonat berjalan lebih maksimal karena ketika beton mulai menunjukkan gejala kegagalan, kalsium karbonat akan langsung mengisi ruang poros tersebut.
Limbah ampas kecap dalam hal ini akan berguna terutama dalam perannya sebagai enzim urease, mengingat penggunaan enzim urease dengan kemurnian yang tinggi dinilai tidak ekonomis untuk skala konstruksi besar. Limbah ampas kecap dapat digunakan sebagai enzim urease karena 59,7% kandungan ampas kecap berasal dari kedelai dan memiliki kandungan protein yang cukup, yaitu sebesar 24,90% dimana saat ini kedelai berpotensi sebagai pengganti urease yang sedang dikembangkan (Gao et al. 2019). Dalam proses pembuatannya, limbah ampas kecap terlebih dahulu akan dihaluskan dan dikeringkan, sebelum nantinya dilarutkan dalam air, disaring dan didapatkan larutan ampas kecap. Larutan ampas kecap ini akan dicampur dengan larutan reagen yang terdiri atas kalsium karbonat dan urea sehingga nantinya akan terbentuk larutan kalsit untuk terlebih dahulu diuji melalui proses uji laju hidrolisis untuk mendapatkan seberapa cepat ampas kecap dapat menghidrolisis urea, dan uji pengendapan untuk mengetahui berapa banyak pembentukan kalsit yang terjadi. Setelah hasilnya menunjukan hasil yang positif, barulah larutan bisa digunakan.
Dalam pemanfaatannya ke eco-mortar, larutan kalsit ini bisa dicampurkan kepada bahan utama pengadukan beton/mortar. Setelahnya, mortar dipanaskan pada suhu 50o C dan didinginkan/direndam pada air selama 3, 7, 14, 28, 90 dan 120 hari untuk memastikan mortar yang dibuat sudah mencapai tepat mutu maksimal. Dalam hal ini, diperlukan 2 sampel yang berbeda untuk pengujian kuat tekan, yaitu beton tanpa tambahan kalsit, dan beton dengan tambahan kalsit.
Pada dampak mutu beton, pemanfaatan limbah ampas kecap pada pembuatan eco-mortar ini sangat berpotensi untuk bisa berhasil, karena pembuatan beton berbasis eco-mortar ini mampu menurunkan daya resap air pada beton karena kalsium karbonat yang menutupi ruang poros dari beton dengan kalsit (Nasser et al., 2022: 4). Selain itu, metode ini juga terbukti dapat meningkatkan kuat tekan dari beton sehingga kekuatan beton bertahan dalam jangka panjang serta tidak mudah mengalami retakan atau penyusutan karena beton memiliki kemampuan memperbaiki dirinya sendiri melalui kalsium karbonat, sehingga tidak perlu semen untuk membuat mortar perbaikan beton (Nasser et al., 2022: 4).
Gambar 7 : Hasil pengujian kekuatan dan penyerapan air, dimana variabel kontrol adalah beton dengan material full semen tanpa dicampur larutan kalsit (Nasser et al., 2022: 8)
Sementara pada dampak lingkungan, penggunaan limbah ampas kecap sebagai penyusun material daur ulang dalam pembuatan eco-mortar dapat mereduksi polusi yang dihasilkan dari ampas kecap yang dibuang secara langsung ke sungai/laut secara signifikan, mengingat dalam mewujudkan pembangunan konstruksi masif, diperlukan volume beton yang besar dan otomatis penggunaan limbah ampas kecap semakin diperlukan. Selain itu, emisi CO2 berpotensi dapat berkurang secara signifikan karena penggunaan semen dalam perbaikan beton tidak perlu digunakan kembali.
Beton dengan injeksi eco-mortar saat ini sedang digaungkan demi terciptanya Net-Zero Emissions by 2050 dimana slogan ini mendorong pada kondisi di mana emisi gas rumah kaca global dari aktivitas manusia seimbang dengan pengurangan emisi. Beton dengan injeksi eco-mortar bisa diwujudkan salah satunya dengan pemanfaatan limbah yang berpotensi mengemisikan gas CO2 ke atmosfer menjadi bahan material utama, dalam hal ini limbah ampas kecap yang saat ini sering diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia, dan pengurangan kebutuhan terhadap bahan yang bisa mengemisikan gas CO2 ke atmosfer seperti semen. Potensi limbah ampas kecap untuk digunakan sebagai bahan material konstruksi sangatlah besar mengingat kandungan kedelai dan proteinnya yang linear dengan metode MICP dalam pembuatan eco-mortar, serta campuran dari larutan kalsit yang dapat membuat beton memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri. Jika digunakan dalam jangka panjang, penggunaan limbah ampas kecap sebagai bahan material utama pembuatan eco-mortar ini berpotensi meningkatkan kualitas lingkungan sekitar konstruksi lebih terjamin, wilayah perairan dekat industri yang lebih bersih dan bebas polusi, pengurangan signifikan terhadap emisi CO2 akibat penggunaan semen yang berlebih, serta peningkatan ekonomi negara apabila digunakan pada skala besar, mengingat harga dari limbah ampas kecap yang sangat terjangkau dibandingkan dengan semen. Potensi ini diharapkan dapat mendukung Net-Zero Emissions by 2050 dan mendukung masifnya pembangunan dalam negeri yang saat ini juga sedang memasuki fase emasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, P., 2019. Analisis pemanfaatan limbah kecap (ampas kedelai) sebagai bahan bakar padat alternatif menggunakan teknologi hydrothermal, Surakarta: Institutional Repository UNS.
Arzu, 2023. Emisi batu bara Indonesia naik 33% pada 2022, rekor tertinggi, Bekasi: Review Bekasi, Diakses pada : 2 November 2024.
Asosiasi Konstruksi Indonesia, 2024. Sektor Konstruksi Indonesia 2024: Fokus pada Pertumbuhan dan Inovasi, s.l.: MTI Corp, Diakses pada : 1 November 2024.
Bimo, E. S., 2021. Beton Ternyata Penyumbang Emisi Karbondioksida Terbesar ke-3 di Dunia Setelah China dan AS, Jakarta: Kompas TV, Diakses pada : 2 November 2024.
Gao, Y., He, J., Tang, X. & Chu, J., 2019. Calcium carbonate precipitation catalyzed by soybean urease as an improvement method for fine-grained soil. Soils and Foundation, pp. 1631-1637. doi: https://doi.org/10.1016/j.sandf.2019.03.014.
Ingale, S. D. & Nemade, P. D., 2023. Effect of paper sludge ash on properties of cement concrete: A review. Materials Today : Proceedings, p. 1. doi: https://doi.org/10.1016/j.matpr.2023.03.492.
Mahawish, A., Bouazza, A. & Gates, W. P., 2018. Improvement of Coarse Sand Engineering Properties by Microbially Induced Calcite Precipitation. Geomicrobiology Journal, 35(10), pp. 887-897. doi: https://doi.org/10.1080/01490451.2018.1488019.
Nasser, A. A., Sorour, N. M., Saafan, M. A. & Abbas, R. N., 2022. Microbially-Induced-Calcite-Precipitation (MICP): A biotechnological approach to enhance the durability of concrete using Bacillus pasteurii and Bacillus sphaericus. Heliyon, Volume VIII, pp. 4-11. doi: https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2022.e09879.
Naveeda, M. et al., 2020. Application of microbially induced calcium carbonate precipitation with urea hydrolysis to improve the mechanical properties of soil. Ecological Engineering, pp. 2-3. doi: https://doi.org/10.1016/j.ecoleng.2020.105885.
Phillips, A. J. et al., 2013. Engineered applications of ureolytic biomineralization: a review. Biofouling, 29(6), pp. 715-733. doi: https://doi.org/10.1080/08927014.2013.796550.
Proxsis Insight , 2023. Mengenal Perkembangan Industri Konstruksi di Indonesia : Tren, Tantangan, dan Peluang, Bandung: Proxsis, Diakses pada : 2 November 2024.
Radar Bogor, 2022. Limbah Pabrik Kecap di Sadeng diduga cemari sumur warga, Sadeng: radarbogor.id., Diakses pada : 4 November 2024.
Statista, 2023. Carbon dioxide emissions from the manufacture of cement worldwide in from 1990 to 2022, by select country, Diakses pada : 5 November 2024.