Focus Group Discussion Lintas Sektor Bahas Teknologi Prefabrikasi untuk Percepatan Hunian Layak dan Hijau di Indonesia
Jakarta — Dalam upaya mempercepat pembangunan hunian layak dan berkelanjutan di Indonesia, Centre for Development of Smart and Green Building (Cedsgreeb) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Pengembangan Teknologi dan Tantangan Regulasi untuk Perusahaan Prefabrikasi dalam Pembangunan Hunian Tapak” pada 10 Maret 2025 di Hotel Mercure Jakarta Sabang. Acara ini menghadirkan perwakilan dari berbagai pihak, mulai dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta, hingga pelaku industri seperti YKK AP, Tatalogam Lestari, GRC, dan AAKSEN Studio.
- Prefabrikasi: Solusi untuk 3 Juta Rumah Layak Huni
- Kementerian PUPR: Regulasi Sudah Ada, Ekosistem Belum Lengkap
- Industri dan Arsitek: Prefabrikasi Efisien, tapi Perlu Dukungan Kebijakan
- Tatalogam Lestari: Teknologi Siap, Regulasi Perlu Mengejar
- GRC dan AAKSEN: Inovasi Lokal dan Material Berkelanjutan
- Pemerintah: Revisi Regulasi Rumah Sederhana dan Insentif Bangunan Hijau
- Kesimpulan: Konsorsium dan Rumah Model Prefabrikasi sebagai Langkah Nyata

Prefabrikasi: Solusi untuk 3 Juta Rumah Layak Huni
Dalam pembukaannya, Sentagi Sesotya Utami, Ph.D., selaku Direktur Centre for Development of Smart and Green Building (Cedsgreeb), menyoroti arah kebijakan nasional yang kini menempatkan pembangunan hunian layak sebagai prioritas utama. Ia merujuk pada program pemerintah untuk menyediakan tiga juta rumah layak huni di berbagai wilayah mulai dari kawasan pesisir, pedesaan, hingga perkotaan sebagai langkah strategis untuk menjawab tantangan urbanisasi dan ketimpangan kualitas hunian di Indonesia.
Menurutnya, pembangunan masif tersebut tidak boleh hanya berorientasi pada kuantitas, tetapi juga harus memperhatikan kualitas lingkungan dan keberlanjutan material. Sentagi menekankan bahwa penggunaan bahan bangunan lokal merupakan salah satu kunci untuk menekan biaya sekaligus mengurangi jejak karbon yang dihasilkan dari proses distribusi material konstruksi. Ia mencontohkan bahwa di beberapa daerah, seperti Manado, sumber daya alam seperti kayu cempaka justru diekspor keluar daerah, padahal berpotensi menjadi bahan bangunan ramah lingkungan untuk kebutuhan domestik.
Sentagi juga menegaskan pentingnya efisiensi rantai pasok dan sistem logistik bahan bangunan. Lokasi distribusi material idealnya berada sedekat mungkin dengan area pembangunan untuk menekan emisi transportasi dan mempercepat proses konstruksi. Prinsip ini, lanjutnya, merupakan bagian dari konsep bangunan hijau yang holistik, di mana setiap tahapan , mulai dari perencanaan, pembangunan, hingga pemanfaatan bisa saling terintegrasi dalam satu ekosistem berkelanjutan.
Kementerian PUPR: Regulasi Sudah Ada, Ekosistem Belum Lengkap
Perwakilan Kementerian PUPR, yakni Dr. Yuri Hermawan Prasetyo selaku Kasubdit Perencanaan Teknis Ditjen Perumahan Kementerian PUPR, menekankan bahwa regulasi terkait material hijau sudah cukup memadai, termasuk aspek Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dan pengukuran jejak karbon. Namun, ia mengakui bahwa ekosistem pendukung prefabrikasi masih belum terbentuk sepenuhnya.
“Secara teknis, kami sudah punya standar, tapi suplai, sertifikasi, dan kesinambungan proyek prefab masih menjadi tantangan,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa sistem pengadaan bangunan kini diarahkan ke katalog elektronik (e-katalog) untuk menjaga standar mutu dan mendorong market sounding bagi industri precast.
Industri dan Arsitek: Prefabrikasi Efisien, tapi Perlu Dukungan Kebijakan
Dari sisi industri, Dr. Andhang dari YKK AP menyoroti pentingnya standardisasi ukuran komponen bangunan. Ia memaparkan bahwa melalui data pesanan pintu dan jendela, perusahaan berhasil menurunkan limbah hingga 68% berkat desain yang modular. Sementara itu, IAI Jakarta menekankan bahwa teknologi prefab dapat menjadi solusi bagi perumahan padat lahan, terutama di wilayah perkotaan. “Rumah tapak prefab bisa cepat dibangun, berkualitas, dan efisien. Tantangannya kini bukan teknis, tapi persepsi dan regulasi,” ujar perwakilan IAI.
Tatalogam Lestari: Teknologi Siap, Regulasi Perlu Mengejar
Perwakilan dari Tatalogam Lestari, Christy, menegaskan bahwa teknologi dan kapasitas industri prefab di Indonesia sudah siap untuk mendukung pembangunan massal. Ia mencontohkan keberhasilan membangun 100 unit rumah dua lantai ukuran 9×8 meter hanya dalam tiga bulan, dengan waste konstruksi 0%.
Namun, menurutnya, regulasi yang belum sinkron dan kurangnya pengakuan TKDN masih menjadi penghambat utama. Ia mendorong terbentuknya konsorsium antara BUMN, swasta, dan akademisi guna mempercepat industrialisasi perumahan dan menekan biaya hingga 30% lebih efisien.
GRC dan AAKSEN: Inovasi Lokal dan Material Berkelanjutan
Perwakilan GRC, Sandi, memaparkan pengalaman membangun ribuan rumah cepat tanggap bencana di Donggala dan Lombok menggunakan sistem prefab. Dalam waktu tujuh hari dengan tujuh pekerja, satu unit rumah dapat selesai di luar pekerjaan pondasi. “Kami sudah menerapkan 83% TKDN dan desain yang fleksibel untuk berbagai kondisi, termasuk rawan gempa,” katanya.
Sementara AAKSEN Studio, melalui Yanuar, memperkenalkan konsep “unbuilding” — membongkar bangunan yang tidak digunakan agar materialnya dapat dimanfaatkan kembali. Ia juga mengusulkan penggunaan kayu modifikasi dan bambu lokal sebagai bahan alternatif rendah emisi.
Pemerintah: Revisi Regulasi Rumah Sederhana dan Insentif Bangunan Hijau
Dalam sesi penutup, Kementerian PUPR menegaskan bahwa revisi terhadap Kepmen 403/2004 tentang Rumah Sederhana Sehat tengah difinalisasi untuk memasukkan standar prefabrikasi. Direktorat Bina Konstruksi juga sedang menyiapkan sistem digital seperti SMART (Sistem Monitoring Aplikator Teknologi) untuk memastikan kualitas dan sertifikasi aplikator di lapangan.
Selain itu, peserta FGD mengusulkan agar insentif Bangunan Gedung Hijau (BGH) dimasukkan dalam kebijakan perumahan rakyat, sehingga pengembang yang menerapkan teknologi rendah emisi bisa mendapatkan manfaat ekonomi langsung.
Kesimpulan: Konsorsium dan Rumah Model Prefabrikasi sebagai Langkah Nyata
Diskusi berakhir dengan kesepakatan untuk membentuk konsorsium lintas sektor serta mengembangkan model rumah prefabrikasi nasional yang efisien, ramah lingkungan, dan sesuai standar bangunan hijau. “Teknologinya sudah ada, industrinya siap, kini tinggal regulasi dan kolaborasi untuk mewujudkan tiga juta rumah layak huni yang berkelanjutan,” ujar Dr. Sentagi dalam penutupan FGD.








