Analisis dan Evaluasi Penggunaan Energi Bangunan Berbasis Data: Pelajaran Penting dari Inggris dan Strategi Penerapannya di Indonesia
Sektor bangunan merupakan salah satu penyumbang konsumsi energi terbesar di dunia. Bangunan seperti kampus, perkantoran, rumah sakit, dan gedung pemerintahan membutuhkan energi listrik dan termal (pendinginan atau pemanasan) dalam jumlah besar setiap hari. Di tengah upaya global menuju net-zero emission, peningkatan efisiensi energi bangunan menjadi langkah yang sangat penting. Hal ini juga sejalan dengan target Indonesia dalam peta jalan Bangunan Gedung Hijau (BGH) yang dirilis oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Menurut peta jalan Bangunan Gedung Hijau, pemerintah Indonesia menargetkan penerapan prinsip bangunan hijau yang akan menghasilkan penghematan energi minimal 25% dan penghematan air minimal 10% di atas kinerja bangunan sejenis pada umumnya sebagai bagian dari pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di subsektor bangunan gedung. Dokumen ini juga dirancang untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi nasional di sektor energi hingga tahun 2030 dan menuju visi net-zero emission pada tahun 2060 melalui transformasi bangunan yang lebih hijau dan rendah karbon. Langkah pertama dalam menerapkan prinsip bangunan hijau adalah melakukan audit energi bangunan.
Paper berjudul “From annual benchmarks to dynamic behaviour: A scalable multi-level analysis framework for energy performance in buildings” menawarkan sebuah pendekatan baru untuk mengaudit (menganalisis dan mengevaluasi) kinerja energi bangunan secara lebih akurat, transparan, dan berbasis data nyata. Studi ini dikembangkan melalui studi kasus 35 gedung di University of Southampton, Inggris, dengan data energi dari tahun 2017–2023.
Artikel ini membahas secara ringkas gagasan utama paper tersebut dan menjelaskan bagaimana pendekatan ini sangat relevan dan aplikatif untuk kondisi Indonesia.
Masalah Utama dalam Evaluasi Energi Bangunan
Selama ini, kinerja energi bangunan umumnya dinilai menggunakan data tahunan, misalnya konsumsi listrik per meter persegi per tahun. Metode ini memang sederhana, tetapi memiliki kelemahan besar:
- Tidak menangkap pola penggunaan energi bangunan
- Tidak membedakan pengaruh cuaca dan okupansi, okupansi adalah tingkat kehadiran/keterhunian dan aktivitas manusia di dalam bangunan yang secara langsung memengaruhi penggunaan energi, seperti penggunaan pencahayaan, peralatan listrik, serta sistem pendingin atau pemanas.
- Tidak sensitif terhadap perubahan perilaku pengguna
Sebagai contoh, sebuah gedung yang jarang digunakan bisa terlihat “hemat energi” dalam laporan tahunan, padahal sebenarnya tidak efisien secara operasional. Inilah yang disebut energy performance gap yang merupakan perbedaan antara performa yang terlihat di atas kertas dan kondisi sebenarnya.
Kerangka Multi-Level: Inti Kontribusi Paper

A. Analisis Tahunan (Yearly Benchmarking)
Pada tingkat pertama, paper ini menggunakan analisis tahunan untuk memberikan gambaran umum kinerja energi bangunan. Data konsumsi energi tahunan dinormalisasi terhadap luas bangunan dan dibandingkan dengan benchmark bangunan sejenis. Pendekatan ini berguna untuk mengklasifikasikan bangunan ke dalam kategori kinerja, misalnya baik, sedang, atau buruk serta membantu pengelola menentukan bangunan mana yang perlu diprioritaskan untuk audit energi atau tindakan perbaikan lebih lanjut.
Namun demikian, penulis paper menegaskan bahwa analisis tahunan tidak cukup jika digunakan secara tunggal. Data tahunan cenderung menyembunyikan variasi musiman, perubahan perilaku pengguna, serta kondisi operasional harian bangunan. Sebuah bangunan dapat terlihat efisien secara tahunan, padahal sebenarnya boros pada jam-jam tertentu atau hanya tampak hemat karena tingkat okupansi yang rendah. Oleh karena itu, analisis tahunan diposisikan sebagai langkah awal, bukan sebagai dasar pengambilan keputusan akhir.
B. Analisis Bulanan (Monthly Change-Point Model)
Pada tingkat kedua, paper ini memperkenalkan analisis bulanan menggunakan model regresi change-point yang sederhana dan mudah diinterpretasikan. Model ini memisahkan konsumsi energi dasar (baseload) yang tidak dipengaruhi cuaca dengan konsumsi energi yang sensitif terhadap suhu luar. Selain itu, analisis ini memungkinkan penentuan balance point temperature, yaitu suhu ambang di mana bangunan mulai membutuhkan pemanasan atau pendinginan secara aktif.
Pendekatan ini dinilai penting karena tidak bersifat “black box” dan dapat dipahami oleh praktisi non-akademik, seperti pengelola gedung atau auditor energi. Parameter model, seperti kemiringan kurva dan titik keseimbangan suhu dapat langsung dikaitkan dengan kondisi fisik bangunan (misalnya kualitas selubung bangunan dan ventilasi) serta perilaku pengguna. Dengan demikian, analisis bulanan berfungsi sebagai jembatan antara data energi dan pemahaman operasional bangunan secara nyata.

C. Analisis Sub-Jam (Sub-hourly Analysis)
Tingkat ketiga adalah analisis sub-jam yang menggunakan data listrik dengan resolusi tinggi, misalnya setiap 30 menit. Analisis ini bertujuan untuk mengungkap dinamika penggunaan energi harian yang tidak terlihat pada data tahunan maupun bulanan. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat mengidentifikasi pola jam sibuk dan jam kosong, serta memperkirakan kontribusi aktivitas manusia (okupansi) terhadap konsumsi energi listrik.
Hasil analisis sub-jam menunjukkan bahwa perubahan pola kerja, seperti penerapan kerja hybrid pasca-COVID, berdampak signifikan terhadap bentuk kurva konsumsi energi harian. Selain itu, tingkat variabilitas konsumsi energi dapat digunakan sebagai indikator keteraturan atau ketidakteraturan penggunaan bangunan. Dengan kata lain, analisis ini mampu membedakan apakah konsumsi energi tinggi disebabkan oleh kebutuhan operasional yang sah atau oleh ketidakefisienan dan pola penggunaan yang tidak terkendali.
Temuan Penting dari Studi Kasus
Beberapa temuan kunci dari paper ini antara lain:
- Banyak gedung yang terlihat efisien secara tahunan, tetapi ternyata kurang optimal saat dianalisis bulanan dan sub-jam
- Setelah pandemi COVID-19, konsumsi energi menurun, bukan karena efisiensi teknis, tetapi karena penurunan okupansi
- Bangunan lama dengan ventilasi alami menunjukkan perubahan besar akibat perubahan perilaku (misalnya jendela lebih sering tertutup)
Kesimpulan pentingnya adalah “Efisiensi energi tidak bisa dinilai hanya dari total konsumsi energi.”
Relevansi dan Pemanfaatan di Indonesia
Pendekatan dalam paper ini sangat relevan untuk Indonesia, dengan beberapa alasan berikut.
1. Iklim Tropis dan Tantangan Pendinginan
Indonesia memiliki iklim tropis dengan suhu dan kelembapan yang relatif tinggi sepanjang tahun. Kondisi ini menyebabkan konsumsi energi bangunan didominasi oleh sistem pendinginan dan peralatan listrik, seperti air conditioner (AC), ventilasi mekanis, kipas angin, serta berbagai perangkat elektronik pendukung aktivitas. Berbeda dengan negara beriklim sedang yang memiliki variasi musim dingin dan panas yang jelas, bangunan di Indonesia menghadapi tantangan utama dalam mengelola beban pendinginan secara terus-menerus, sehingga potensi pemborosan energi menjadi lebih besar apabila pengoperasian sistem tidak dikelola dengan baik.
Dalam konteks ini, model change-point menjadi sangat relevan untuk diterapkan. Model ini dapat digunakan untuk menentukan suhu ambang di mana penggunaan AC mulai meningkat secara signifikan, mengidentifikasi gedung dengan pengaturan pendinginan yang tidak efisien, serta membandingkan kinerja energi gedung lama dan gedung baru. Informasi tersebut sangat berguna untuk bangunan dengan tingkat hunian tinggi dan jam operasional panjang, seperti kampus, pusat perbelanjaan, dan gedung pemerintahan, karena memungkinkan pengelola mengambil keputusan berbasis data terkait pengaturan suhu dan strategi penghematan energi.
2. Kampus dan Gedung Pendidikan
Indonesia memiliki ribuan gedung pendidikan, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta, yang tersebar di berbagai wilayah dengan karakteristik bangunan yang beragam. Pola penggunaan gedung kampus umumnya bersifat musiman, mengikuti kalender akademik seperti masa perkuliahan, libur semester, dan kegiatan akademik khusus. Selain itu, banyak gedung kampus yang dibangun puluhan tahun lalu dan masih menggunakan sistem manajemen energi yang sederhana atau bahkan belum terdokumentasi dengan baik.
Pendekatan analisis multi-level yang diusulkan dalam paper ini dapat membantu mengatasi tantangan tersebut. Melalui kombinasi analisis tahunan, bulanan, dan sub-jam, pengelola kampus dapat mengidentifikasi gedung yang tetap boros energi meskipun sedang tidak digunakan secara optimal, menyesuaikan jam operasi AC dan pencahayaan dengan pola okupansi nyata, serta mendukung implementasi kebijakan kampus hijau. Pendekatan ini juga sejalan dengan upaya perguruan tinggi di Indonesia dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya terkait efisiensi energi dan pengurangan emisi.
3. Bangunan Pemerintah dan Audit Energi
Pemerintah Indonesia secara aktif mendorong pelaksanaan audit energi, penerapan bangunan hijau, dan peningkatan efisiensi belanja energi negara. Upaya ini tidak hanya bertujuan untuk menekan konsumsi energi dan biaya operasional, tetapi juga untuk memberikan contoh penerapan praktik berkelanjutan pada sektor publik. Namun, dalam praktiknya, audit energi sering kali dipersepsikan sebagai proses yang kompleks, mahal, dan sulit dipahami oleh pengambil keputusan non-teknis.
Kerangka analisis yang diusulkan dalam paper ini menawarkan pendekatan yang lebih sederhana dan aplikatif. Framework ini memanfaatkan data meter listrik yang umumnya sudah tersedia di gedung-gedung pemerintah, tanpa memerlukan simulasi energi yang rumit. Hasil analisisnya pun dapat disajikan dalam bentuk indikator yang mudah dipahami, sehingga tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga komunikatif dan relevan untuk mendukung pengambilan keputusan kebijakan dan perencanaan anggaran.
4. Smart Meter dan Digitalisasi Energi
Seiring dengan perkembangan teknologi, Indonesia mulai mengadopsi berbagai inisiatif digitalisasi energi, seperti pemasangan smart meter, penerapan Building Management System (BMS), dan pengembangan sistem pemantauan energi berbasis digital. Teknologi ini menghasilkan data konsumsi energi dengan resolusi waktu yang tinggi, yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan bangunan.
Paper ini menunjukkan bahwa data tersebut tidak cukup hanya dikumpulkan, tetapi perlu dianalisis secara sistematis agar dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang nyata. Metode analisis multi-level memungkinkan data dari smart meter diolah menjadi informasi yang bermakna, seperti pola penggunaan energi harian dan dampak perilaku pengguna. Ke depan, pendekatan ini dapat diintegrasikan ke dalam dashboard energi, pengembangan digital twin bangunan, serta sistem peringatan dini untuk mendeteksi pemborosan energi secara cepat dan akurat.
5. Kebijakan Energi dan Net-Zero Indonesia
Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060, dengan sektor bangunan sebagai salah satu fokus utama pengurangan emisi. Mengingat besarnya jumlah bangunan eksisting dan panjangnya umur operasional bangunan, kebijakan di sektor ini perlu dirancang secara hati-hati agar efektif dan tepat sasaran. Ketergantungan pada data konsumsi energi tahunan semata berisiko menghasilkan kebijakan yang tidak mencerminkan kondisi operasional bangunan yang sebenarnya.
Pendekatan analisis bertingkat yang diusulkan dalam paper ini dapat membantu pemerintah dalam memetakan prioritas retrofit bangunan secara lebih akurat. Dengan memahami kapan, bagaimana, dan mengapa energi dikonsumsi, kebijakan yang dihasilkan dapat berbasis bukti (evidence-based policy), bukan asumsi. Pendekatan ini juga membantu menghindari kesalahan penilaian kinerja energi bangunan dan mendukung perumusan strategi jangka panjang menuju sistem bangunan yang lebih efisien dan rendah karbon di Indonesia.
Kesimpulan
Paper Gonzalez, dkk. (2025) memberikan kontribusi penting dengan menegaskan bahwa analisis kinerja energi bangunan tidak dapat dilakukan secara satu dimensi, melainkan harus bersifat multi-level agar mampu menangkap kondisi operasional yang sebenarnya. Studi ini menunjukkan bahwa model yang sederhana, transparan, dan mudah diinterpretasikan sering kali lebih berguna dibandingkan model kompleks yang bersifat black box, terutama dalam konteks pengambilan keputusan praktis. Selain itu, paper ini menekankan bahwa perilaku manusia dan pola okupansi memiliki peran yang sama pentingnya dengan teknologi dan sistem bangunan dalam menentukan tingkat konsumsi energi.
Bagi Indonesia, pendekatan yang ditawarkan dalam paper ini merupakan solusi yang praktis, skalabel, dan relevan dengan kondisi iklim tropis serta karakteristik bangunan publik yang beragam. Dengan memanfaatkan data energi yang sebenarnya sudah tersedia, seperti data meter listrik dan sistem pemantauan gedung serta menganalisisnya secara lebih cerdas dan bertahap, Indonesia dapat mempercepat transisi menuju bangunan yang lebih efisien, berkelanjutan, dan rendah emisi, sejalan dengan target pembangunan nasional dan komitmen jangka panjang menuju net-zero emission.
Referensi
Gonzalez-Carreon, K. M., Manfren, M., Ridett, E., & James, P. A. (2025). From annual benchmarks to dynamic behaviour: A scalable multi-level analysis framework for energy performance in buildings. Energy and Buildings, 116894.








