Optimalisasi Limbah Sekam Padi sebagai Beton Self-healing Memanfaatkan Bakteri Bacillus sebagai Upaya Pengembangan Bangunan Hijau

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 23

Ditulis oleh Melia Anggraeni

  Indonesia memiliki posisi geologis yang terletak pada pertemuan tiga lempeng besar dan dilalui oleh Ring of Fire yang mengakibatkan seringnya terjadi gempa bumi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan selama 3 tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah gempa yang terjadi di Indonesia yakni dari angka 8.000 per tahun menjadi 10.000 gempa tiap tahunnya dengan rata-rata kekuatan magnitudo 4-5 skala richter. Setiap kali terjadi gempa, banyak bangunan yang mengalami retak atau bahkan runtuh akibat ketidakmampuannya menahan guncangan. Menurut Lessy, (2022) gempa yang terjadi pada tahun 2021 memiliki riwayat kerusakan bangunan dan korban jiwa yang paling tinggi dibandingkan gempa yang terjadi sebelumnya. Berdasarkan data dari Sushanti et al., (2021) sebanyak 222.564 unit bangunan di NTB rusak akibat gempa yang terjadi dalam kurun waktu bulan Juli hingga Agustus pada tahun 2018 dengan kekuatan magnitudo 5 skala richter menimbulkan kerugian secara material. Dampak dari gempa bumi terhadap struktur pada bangunan biasanya dimulai dari munculnya retakan kecil pada dinding, kolom, atau balok beton yang kemudian dapat berkembang menjadi kerusakan yang lebih parah dan jika tidak segera ditangani dapat memperburuk kondisi bangunan serta meningkatkan risiko kegagalan struktur saat terjadi gempa berikutnya. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan rutin pada bangunan yang sayangnya membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang lama hingga menjadi seperti semula. Berdasarkan Standar Perencanaan Struktur bangunan tahan gempa di Indonesia saat ini (SNI 03-1726-2012) menyatakan bahwa struktur bangunan harus memenuhi beberapa batas ketahanan untuk mencegah terjadinya keruntuhan atau kegagalan struktur akibat gempa salah satunya adalah saat terjadi gempa sedang (31-70%), struktur bangunan tidak boleh mengalami kerusakan structural (Kuncoro, 2024). Maka dari itu diperlukan inovasi dalam material konstruksi yang lebih kuat dan memiliki daya tahan tinggi.

Banyak bangunan di Indonesia yang berbahan dasar beton yang memiliki sifat kuat terhadap tekanan tinggi, mudah dibentuk, daya tahannya besar, dan memerlukan biaya yang murah (Feng et al., 2020). Beton biasanya terbuat dari perpaduan semen, agregat kasar (kerikil atau batu pecah), agregat halus (pasir), air, dan admixtures yang memiliki sifat rapuh sehingga rentan terhadap getaran dan guncangan yang mengakibatkan adanya retakan mikro (Qureshi et al., 2016). Saat terjadi suhu, kelembaban, dan kondisi kimia yang ekstrim, beton rentan mengalami penyusutan dan retak sehingga dapat mempengaruhi ketahanan suatu bangunan. Selain itu, dalam produksi beton menyumbang sebanyak 8% dari total emisi karbon dioksida (CO2) global dan menjadikannya sebagai salah satu kontributor terbesar emisi gas rumah kaca dari sektor industri (IEA, 2018). Pada proses produksi semen secara konvensional melibatkan proses pembakaran batu kapur yang membutuhkan suhu dan energi yang tinggi sehingga menghasilkan CO2 sebagai produk samping dalam jumlah besar akibat dekomposisi pada kalsium karbonat menjadi kalsium oksida. Emisi ini dapat berdampak langsung terhadap perubahan iklim sehingga proses produksi beton secara konvensional dapat menjadi perhatian serius bagi lingkungan. Melihat bahayanya terhadap lingkungan, diperlukan bahan alternatif dan metode yang lebih ramah lingkungan pada produksi material konstruksi yang dapat mengurangi jejak karbon demi keberlanjutan industri konstruksi.

Limbah sekam padi merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai pengganti semen pada pembuatan beton karena memiliki kandungan silika yang tinggi (Chindaprasirt & Rukzon, 2018). Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki jumlah sekam padi yang melimpah. Total produksi padi di Provinsi Jawa Timur pada 2021 sekitar 9,91 juta ton GKG (Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2021). Pada proses penggilingan beras sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Dari proses penggilingan padi biasanya diperoleh sekam sekitar 20-30%, dedak antara 8-12% dan beras giling antara 50-63,5% data bobot awal gabah (Isworo Pujotomo, 2017). Selama ini limbah sekam padi yang ada akan dibuang atau dibakar yang dapat menghasilkan emisi karbon dan polusi udara. Penelitian dari Ganesan et al (2018), menyatakan bahwa abu sekam padi memiliki kandungan silika amorf yang bertindak sebagai pozzolan yang bereaksi dengan kalsium hidroksida dan membentuk kalsium silikat hidrat (C-S-H) untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan dari beton (Ramasamy & Sukunar, 2019). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan abu sekam padi sebagai pengganti sebagian semen (10-20%) dapat meningkatkan kekuatan tekan beton dan membuat beton lebih tahan terhadap retak (Ganesan et al., 2018). Selain itu, penggunaan sekam padi dalam beton juga dapat mengurangi limbah agroindustri sekaligus mengurangi penggunaan jumlah semen sehingga akan berkontribusi dalam menurunkan jejak karbon.

Penelitian menunjukkan bahwa dengan menambahkan bakteri Bacillus pada beton akan menciptakan beton yang memiliki kekuatan tinggi dan juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki retakan yang terjadi secara alami melalui proses mineralisasi biologis (Jalal et al., 2019). Bakteri Bacillus yang ditambahkan dalam beton dapat menghasilkan endapan kalsium karbonat (CaCO3) ketika terpapar air yang masuk dalam retakan tersebut. Selanjutnya akan terjadi proses metabolisme pada bakteri yang menghasilkan enzim urease yang memecah urea atau senyawa nitrogen lain dalam beton menjadi amonia dan CO2. Kemudian ion kalsium yang ada dalam campuran beton maupun yang larut dari agregat akan bereaksi dengan CO2 yang dihasilkan sehingga membentuk endapan kalsium karbonat (Jonkers & Schlangen, 2015). Endapan ini nantinya secara bertahap akan mengisi celah-celah yang terbentuk sehingga menutup retakan dan membentuk lapisan keras yang dapat mengembalikan dan menjaga keutuhan struktur beton. Selain itu, akibat lain dari proses metabolisme tersebut akan meningkatkan pH di sekitar bakteri sehingga dapat melindungi beton dari degradasi atau kerusakan (Li & Zhu, 2020). Proses alami dari bakteri ini tidak hanya dapat memperbaiki retakan, namun juga dapat mengurangi kebutuhan akan perawatan beton yang berulang dan intensif sehingga dapat mengurangi dampak lingkungan dari produksi dan pemakaian bahan bangunan.

Oleh karena kebermanfaatannya ini, penulis berinisiatif mengusulkan gagasan yang sekaligus dapat diimplementasikan yaitu “Optimalisasi Limbah Sekam Padi sebagai Beton Self-healing Memanfaatkan Bakteri Bacillus sebagai Upaya Pengembangan Bangunan Hijau” untuk memenuhi kebutuhan bangunan hijau dan cerdas yang berkelanjutan dan tahan lama. Inovasi ini merupakan salah satu upaya mendukung SDGs poin ke 9 dan 12. Integrasi teknologi self-healing dan bahan ramah lingkungan dari limbah sekam padi menjadi kombinasi yang inovatif untuk konstruksi masa depan yang berpotensi untuk mengurangi biaya pemeliharaan struktur dan memperpanjang umur beton serta dapat menjadikannya solusi berkelanjutan dalam menghadapi tantangan lingkungan dan struktur bangunan. Namun, untuk implementasi produk ini secara umum kepada masyarakat dibutuhkan sinergitas antara beberapa stakeholder, sehingga penulis menggunakan model Pentahelix sebagai strategi pengimplementasiannya. Melalui adanya inovasi ini, diharapkan penggunaan beton yang diproduksi konvensional dapat diminimalisir, sehingga mengurangi kerusakan lingkungan. Selain itu, adanya inovasi ini diharapkan menjadi contoh positif bagi masyarakat untuk berinovasi dengan hal-hal yang kurang dimanfaatkan seperti limbah sekam padi di lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Chindaprasirt, P., & Rukzon, S. 2018. Utilization of Rice Husk Ash in High-Performance Concrete. Sustainable Construction Materials and Technologies, Vol 12(2): 201-208.

Feng, J., Sun, W., Wang, L., Chen, L., Xue, S., & Li, W. 2020. Terminal Ballistic and Static Impactive Loading on Thick Concrete Target. Construction and Building Materials. Vol 251. 118899

Feng, J., B. Chen., W. Sun., & Y. Wang. 2021. Microbial induced calcium carbonate precipitation study using Bacillus subtilis with application to self-healing concrete preparation and characterization. Construction and Building Materials Journal. Vol 280: 122460.

Ganesan, K., Rajagopal, K., & Thangavel, K. 2018. Rice Husk Ash Blended Cement: An Innovative Approach. Construction and Building Materials. Vol 155: 733-744

IEA. 2018. Technology Roadmap: Low-Carbon Transition in the Cement Industry. International Energy Agency.

Jalal, M., Fathi, M., & Khoshnazar, R. 2019. The Effects of Bacillus Subtilis Bacteria on Self-Healing Performance of Concrete with Rice Husk Ash. Construction and Building Materials. Vol 235, 117810

Javeed, Y., Y. Goh., K.H. Mo., S. P. Yap., & B. F. Leo. 2024. Microbial self-healing in concrete: A comprehensive exploration of bacterial viability, implementation techniques, and mechanical properties. Journals of Materials Research and Technology. Vol 29: 2376-2395

Kuncoro, M.A., dan Maulana, L. 2024. Aplikasi Pendataan Rumah Rusak Terdampak Gempa Cianjur Menggunakan Metode Kanban. Media Jurnal Informatika. Vol 16(1).

Lessy, Diana F., Arry, A., & Firman, Noor H. 2022. Penerapan Business Intelligence Untuk Menganalisa Data Gempa Bumi di Indonesia Menggunakan Tableau Public. Jurnal Sistem Komputer dan Informatika. Vol 4(2): 302-309

Li, X., & Zhu, T. 2020. Role of Calcium Carbonate Deposition by Bacillus in Concrete Crack Healing. Construction and Building Materials. Vol 250, 118835.

Lu, S., M. Chen., Y. Dang., L. Cao., J. He., & J. Zhong. 2019. Bacterial self healing cement based materials: Mechanism at nanoscale. AIP Advances 9: 105312

Nath, P., & Sarker, P. K. 2017. Use of Rice Husk Ash in Concrete. Construction and Building Materials. Vol 30(6), 691-701.

Qureshi, T.S., & Al-Tabbaa, A. 2016. Self-healing of Drying Shrinkage Cracks in Cement-based Materials Incorporating Reactive Mgo. Smart Materials and Structure. Vol 25(8): 1-16

Ramasamy, V., & Sukumar, S. 2019. Influence of rice husk ash on the properties of concrete. Journal of Cleaner Production. Vol 211, 731-742.

Simanjuntak, P. 2020. Evaluasi Kerusakan Bangunan Akibat Gempa di Indonesia. e-Journal CENTECH. Vol 1(1): 44-53

Sushanti, A.R.M., Ridha, R., Yuniarman, A., & Hamdi, A.I. 2021. Strategi Penanggulangan Kerusakan Rumah Tinggal Pasca Bencana Gempa Bumi di Kawasan Permukiman. Seminar Nasional Planoearth #02. Universitas Muhammadiyah Mataram.

Wang, J., et al. 2019. Self-Healing Concrete Using Microbial Technology: Potential Applications in Green Construction. Journal of Cleaner Production. Vol 223, 1-12.

Wiktor, V., & Jonkers, H. M. 2018. Bacillus Bacteria for Self-Healing in Cementitious Materials. Advances in Cement Research. Vol 30(4), 189-204.

Xu, J., et al. 2020. Effectiveness of Bio-Self-Healing Concrete: A Study on Crack Widths and Healing Duration. Materials. Vol 13(12), 2786.

Zhu, Q., et al. 2017. A Study on the Pozzolanic Properties of Rice Husk Ash and Its Potential Use in Concrete. Journal of Materials Science Research. Vol 6(4), 56-64.

.

.

.

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 5 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 1

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment