Cedsgreeb Bekerja Sama dengan Pemerintah Kota Medan dalam Menyelenggarakan Lokakarya Implementasi Bangunan Gedung Hijau dan Bangunan Cerdas
Medan, 6 Februari 2025 – Cedsgreeb bekerja sama dengan pemerintah kota Medan tepatnya Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Medan untuk meningkatkan kesadaran dan implementasi pembangunan berkelanjutan melalui lokakarya bertajuk “Implementasi Bangunan Gedung Hijau dan Bangunan Gedung Cerdas” yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta Medan. Acara tersebut dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, praktisi, pemerintah, dan pelaku industri konstruksi. Lokakarya bertujuan untuk memperkenalkan prinsip-prinsip bangunan hijau, manajemen energi, serta implementasi energi terbarukan dalam rangka mendukung pembangunan kota yang ramah lingkungan. Adapun rangkuman setiap sesi kegiatan adalah sebagai berikut.
Sesi I: Prinsip Dasar Bangunan Hijau
Dr. Eng. Mohammad Kholid Ridwan, S.T., M.Sc., IPU., GP., sebagai pembicara pertama, memaparkan prinsip dasar bangunan hijau. Menurut Dr. Kholid, bangunan hijau tidak sekadar identik dengan banyaknya pepohonan atau penggunaan cat hijau, melainkan lebih pada penerapan prinsip efisiensi energi, air, dan sumber daya lainnya yang memperhatikan kesehatan, kenyamanan, dan lingkungan hidup. “Bangunan hijau adalah bangunan yang berkawan baik dengan alam, tidak meninggalkan limbah atau polusi yang merusak lingkungan,” tegasnya.
Dr. Kholid juga menjelaskan bahwa Indonesia sebenarnya terlambat dalam menerapkan konsep bangunan hijau, yang baru dimulai secara serius sejak tahun 2021 melalui Peraturan Menteri PUPR No. 21 Tahun 2021. Beberapa sertifikasi bangunan hijau yang diakui secara internasional antara lain BREAAM, LEED, EDGE, dan GBCI (Green Building Council Indonesia). Sertifikasi tersebut memiliki kriteria penilaian yang berbeda, namun secara umum mencakup aspek pengelolaan tapak, efisiensi energi, konservasi air, kualitas udara dalam ruang, dan penggunaan material ramah lingkungan.
Contoh konkret penerapan bangunan hijau di Indonesia adalah gedung SGLC dan ERIC di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, yang dirancang dengan prinsip-prinsip bangunan hijau untuk mengurangi konsumsi energi seperti penggunaan kaca dengan konduktivitas termal yang rendah. “Kaca memang indah, tetapi boros energi. Pencahayaan alami hanya menyumbang 10% kebutuhan energi, sedangkan pendinginan mencapai 60-70% oleh karena itu dibutuhkan kaca dengan konduktivitas termal yang rendah,” jelas Kholid Ridwan.

Sesi II: Dasar Audit dan Manajemen Energi
Pada sesi kedua, Dr. Ir. Rachmawan Budiarto, S.T., M.T., IPU., membahas pentingnya audit dan manajemen energi dalam mencapai efisiensi energi. Menurut Dr. Rachmawan, langkah pertama dalam manajemen energi adalah memahami baseline konsumsi energi suatu bangunan. “Kita perlu mengenali pola konsumsi energi, baik dari peralatan seperti lampu, AC, maupun sistem pendingin,” ujarnya.
Dr. Rachmawan juga menekankan pentingnya perubahan perilaku (changing behaviour) sebagai langkah paling murah dalam penghematan energi. Selain itu, investasi awal seperti penggantian lampu LED atau sistem manajemen energi terintegrasi dapat memberikan dampak signifikan dalam jangka panjang. “Penghematan energi bukan berarti mematikan semua peralatan, tetapi mengoptimalkan penggunaannya,” tambahnya.
Sesi III: Implementasi Energi Terbarukan untuk Gedung
Sesi ketiga dipimpin oleh Irawan Eko Prabowo, S.T., M.Eng., yang membahas potensi energi terbarukan, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), untuk gedung-gedung di Medan. Menurutnya, potensi energi surya di Indonesia sangat besar, dengan radiasi matahari mencapai 4-5 kWh per hari. “PLTS tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga memberikan kemandirian energi dan penghematan biaya jangka panjang,” jelas Irawan.
Irawan juga menjelaskan dua sistem PLTS yang umum digunakan, yaitu grid-connected (terhubung dengan jaringan listrik PLN) dan stand-alone (dengan baterai). “Sistem hibrid, yang menggabungkan kedua sistem ini, dapat diatur prioritas penggunaannya sesuai kebutuhan,” tambahnya. Namun, Irawan mengingatkan bahwa keberhasilan PLTS sangat bergantung pada manajemen dan perawatan yang baik.
Diskusi dan Tanya Jawab

Sesi diskusi menghadirkan berbagai pertanyaan dari peserta, termasuk tentang penilaian jenis kaca dalam sertifikasi bangunan hijau. Kholid Ridwan menjelaskan bahwa mengurangi porsi kaca lebih efektif daripada mengganti jenis kaca, mengingat biaya kaca ramah lingkungan seperti Low-E yang cukup mahal. “Desain arsitektur yang kreatif dapat menggantikan keindahan kaca tanpa mengorbankan efisiensi energi,” ujarnya.
Pertanyaan lain datang dari perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Medan mengenai potensi panel surya di kota tersebut. Menurut Irawan, meskipun PLN telah menyediakan pasokan listrik yang cukup, PLTS tetap dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kehandalan pasokan energi, terutama bagi industri yang membutuhkan kontinuitas tinggi.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Meskipun konsep bangunan hijau dan energi terbarukan memiliki banyak manfaat, implementasinya masih menghadapi sejumlah tantangan. Biaya sertifikasi yang mahal, perubahan perilaku, dan kurangnya edukasi menjadi kendala utama. “Kultur masyarakat Indonesia belum sepenuhnya siap menerapkan konsep ini secara massal,” ujar Dr. Kholid Ridwan.
Namun, lokakarya ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk meningkatkan kesadaran dan kolaborasi antar-pemangku kepentingan dalam mewujudkan Kota Medan yang lebih hijau dan berkelanjutan. “Kita perlu bergerak bersama, tidak hanya sebagai individu atau perusahaan, tetapi sebagai komunitas yang peduli terhadap masa depan bumi,” tutup Kholid Ridwan.
Penutup
Lokakarya ini tidak hanya memberikan wawasan mendalam tentang prinsip bangunan hijau dan manajemen energi, tetapi juga membuka ruang diskusi untuk mengatasi tantangan implementasinya. Dengan komitmen bersama, Kota Medan diharapkan dapat menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.