Dari Limbah Menjadi Solusi: Peran Material Daur Ulang dalam Mewujudkan Bangunan Cerdas dan Hijau
Ditulis oleh Ummu Qiyadah
Kebutuhan akan bangunan hijau semakin menjadi prioritas di seluruh dunia. Menurut Badan Energi Internasional yang berbasis di Paris, operasional gedung menyumbang 30% dari konsumsi energi global dan 26% dari emisi terkait energi global. Meskipun emisi langsung dari sektor bangunan menurun pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, penggunaan energi di sektor ini masih meningkat 1% karena suhu yang ekstrem. Untuk memenuhi janji emisi nol-nol mereka, berbagai negara berlomba-lomba membangun sektor bangunan dan konstruksi yang sangat hemat energi dan tangguh. Pada bulan April 2022, Cina menerapkan Kode Umum untuk Efisiensi Energi Bangunan dan Pemanfaatan Energi Terbarukan. Pada tahun yang sama, Jepang juga merevisi peraturan bangunannya untuk mewajibkan kinerja tanpa energi untuk semua bangunan baru pada tahun 2030 dan untuk semua bangunan yang sudah ada pada tahun 2050. Di Amerika Serikat, American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers pada tahun 2023 menerbitkan, standar nol energi bersih dan nol karbon bersih untuk operasional bangunan.
Di Indonesia sendiri, gagasan mengenai bangunan hijau merupakan aspek yang semakin relevan namun masih tergolong baru dalam strategi mitigasi iklim Indonesia secara keseluruhan. Di Indonesia sendiri, sertifikasi bangunan hijau diberikan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) yang didirikan pada tahun 2009, GBCI baru mensertifikasi 98 bangunan hijau dan mendaftarkan 72 proyek konstruksi hijau pada tahun 2023 – jauh di bawah sekitar 4.600 bangunan (dengan luas lantai bruto 146 juta meter persegi) yang disertifikasi di bawah skema sertifikasi Green Mark di Singapura pada tahun yang sama. Dan ini menunjukan fakta bahwa bangunan hijau di Indonesia masih merupakan sektor yang baru berkembang, kemudian didukung lebih lanjut oleh laporan terbaru dari konsultan properti Knight Frank Indonesia, yang mencatat bahwa terjadi peningkatan 15% di area komersial hijau di Jakarta dari tahun 2022 hingga 2023 dengan total satu juta meter persegi. Namun, ada satu kenyataan yang tidak dapat disangkal yakni pasar real estat dan properti di Indonesia tetap kuat, dengan sektor real estat berkontribusi sebesar 2,42% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2023, tepat di bawah sektor makanan dan minuman. Seperti dikutip dari Statista, pasar real estat Indonesia akan mencapai nilai proyeksi sebesar US$9,53 triliun pada tahun 2024 dan tumbuh menjadi US$10,43 triliun pada tahun 2028, sebuah tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 2,28%.
Nilai Pasar Real Estat Indonesia (2020-2028)
(Dalam Tn Amerika Serikat )
Tahun | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 | 2024 | 2025 | 2026 | 2027 | 2028 |
Real Estat Komersial | 1,16 | 1,17 | 1,17 | 1,19 | 1,24 | 1,27 | 1,31 | 1,35 | 1,39 |
Real Estat Perumahan | 7, 63 | 7,82 | 7,98 | 8,09 | 8,29 | 8,48 | 8,66 | 8,85 | 9,04 |
Jumlah | 8,79 | 8,99 | 9,15 | 9,28 | 9,53 | 9,75 | 9,97 | 10,20 | 10,43 |
Sumber ; Data Statistik.
Jika pembangunan di Indonesia terus dilakukan tanpa adanya perhatian yang serius pada penggunaan material daur ulang dan prinsip bangunan hijau, maka akan banyak terjadi dampak negatif yang signifikan seperti ;
Peningkatan Limbah Konstruksi dan Polusi, Tanpa adanya inovasi daur ulang, limbah konstruksi akan terus meningkat, mencemari lingkungan dan memperparah krisis pengelolaan sampah. Limbah ini dapat mencemari air tanah dan ekosistem lokal, menimbulkan masalah kesehatan bagi penduduk sekitar, dan memperburuk polusi udara jika tidak dikelola dengan benar.
Meningkatnya Emisi Karbon dan Dampak Perubahan Iklim, Industri konstruksi menyumbang sebagian besar emisi karbon global. Apabila tidak ada peralihan menuju material daur ulang dan desain berkelanjutan, emisi gas rumah kaca dari sektor ini akan terus meningkat dan mempercepat pemanasan global. Laporan dari Green Building Council Indonesia mengindikasikan bahwa bangunan hijau yang memanfaatkan material ramah lingkungan dapat mengurangi emisi secara signifikan, namun implementasinya masih minim.
Ketergantungan Tinggi pada Sumber Daya Alam yang Terbatas, Pembangunan yang terus menerus mengandalkan material mentah akan mempercepat eksploitasi sumber daya alam seperti pasir, batu, dan mineral, yang jumlahnya semakin terbatas. Dengan pertumbuhan populasi dan kebutuhan perumahan di Indonesia yang terus meningkat, tanpa penggunaan material daur ulang, krisis sumber daya akan menjadi ancaman yang sangat nyata di masa depan.
Degradasi Kualitas Hidup dan Ruang Kota, Tanpa adanya langkah-langkah menuju bangunan hijau, banyak kota yang akan menghadapi masalah kualitas udara yang memburuk, ruang hijau yang terbatas, dan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup penduduk perkotaan, menurunkan tingkat kesehatan masyarakat, serta mengurangi estetika dan kenyamanan kota.
Program pemerintah Indonesia melalui Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yakni Indonesia Green Affordable Housing Program (IGAHP) yang diluncurkan pada tahun 2023 .Program ini bertujuan untuk membangun 100.000 “rumah hijau” pada tahun 2024, dengan target jangka panjangnya untuk mencapai angka 100% perumahan tanpa emisi pada tahun 2050. Selain program itu, pemerintah juga telah bekerja sama dengan perusahaan seperti Plana, yang mengembangkan bahan bangunan berbasis limbah plastik untuk keperluan konstruksi. Inisiatif ini tidak hanya membantu mengurangi jumlah sampah plastik, tetapi juga menyediakan material yang lebih ekonomis untuk konstruksi bangunan hijau. Kolaborasi ini menjadi bagian dari solusi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya material daur ulang.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi terutama di kawasan urban juga upaya pemerintah dalam mengatasi limbah dan menciptakan lebih banyak bangunan hijau yang belum sepenuhnya bisa diimplementasikan secara maksimal baik oleh pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, salah satu solusi terbaik untuk mengatasi pencemaran dari limbah dan inovasi untuk membuat bangunan hijau lebih banyak terutama dikawasan perkotaan, padat penduduk ( Urban) adalah dengan melakukan pengembangan Biocomposite dengan limbah organik lokal. Biokomposit merupakan bahan yang dihasilkan oleh dua bahan atau lebih yang digabungkan menjadi satu, dengan bahan dasar yang berasal dari makhluk hidup atau bahan yang dapat diperbaharui. Biokomposit dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu biokomposit alami dan biokomposit sintetik atau yang dibuat manusia. Biokomposit alami pertama dijumpai pada kayu atau bahan berlignoselulosa lain. Sedangkan biokomposit yang kedua dapat dijumpai pada pengolahan kayu sederhana dengan menambahkan bahan lain, atau menggabungkan dua jenis kayu atau lebih.
Limbah organik dari pertanian, seperti sekam padi, ampas tebu,kulit jagung, serat kelapa, dan tandan kosong kelapa sawit, dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar biocomposite yang kuat dan tahan lama untuk bahan bangunan. Biocomposite berbahan limbah ini dapat diolah dengan teknologi tertentu untuk menghasilkan papan dinding, insulasi, atau material penyerap suara yang ramah lingkungan dan murah. Selain mengurangi limbah pertanian, inovasi ini juga bisa menciptakan alternatif pengganti kayu dan mengurangi ketergantungan pada material yang tidak terbarukan..
Batako Ringan Dari Kulit Jagung
Limbah kulit jagung dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan komposit batako sehingga menghasilkan batako ringan yang memiliki nilai tinggi. Pada gagasan ini penggunaan kulit jagung dalam bentuk serbuk halus dipilih agar dalam proses pencampuran bahan menjadi lebih mudah dan ikatan antar partikel penyusun batako menjadi lebih kuat. Kemudian mencampurkan semua bahan seperti serbuk kulit jagung, semen, pasir dan air lalu setelah semuanya tercampur merata dilakukan proses pencetakan dan pengepresan komposit batako dengan metode pemadatan. Wadah pencetak berupa silider berdiameter dan tinggi 10x20cm. Proses pemanasan sampel batako dengan memanfaatkan panas matahari selama kurang lebih 28 hari. Batako yang telah dikeringkan selama 28 hari ditandai dengan berubahnya warna dari abu-abu gelap menjadi abu-abu terang sampai putih. Hal ini menunjukkan bahwa semen telah mencapai tingkat kekerasan yang maksimal.
.
Gambar 1.1 Komposit batako ringan setelah dipanaskan selama 28 hari
Batako Ringan Dari Sekam Padi
Meningkatnya standar hidup Masyarakat terhadap kebutuhan ruang musik dan film atau yang kita kenal dengansebutan home-theatre dalam rumah. Hal ini menyebabkan kebisingan disekitar bangunan meningkat. Diperlukan suatu bahan bangunan dalam pembuatan dinding ruangan yang dapat mengurangi tingkat kebisingan suara. Sekam padi mempunyai karakteristik emisi akustik yang dipengaruhi oleh jenis sekam padi, kelembaban, modulus elastisitas, dan kandungan bahan yang terkandung pada sekam padi dapat mengahsilkan batako ringan yang kuat secara mekanik dan mampu menyerap tingkat kebisingan suara.
Diawali dengan proses pembersihan sekam padi lalu mencampurkan dengan bahan lain seperti semen, air dan pasir lalu setelah tercampur merata dimasukan kedalam cetakan yang berbentuk silinder dengan tinggi 4 cm dan berdiameter 5 cm lalu dipanaskan menggunakan sinar matahari selama 28 hari. Pada usia 28 hari semen mempunyai nilai kekerasan maksimum, hal ini ditandai dengan adanya perubahan warna semen dari gelap menjadi lebih terang. ..
Kesimpulan
Dari gagasan yang telah dianalisis menunjukan bahwa inovasi penggunaan material daur ulang, yaitu biokomposit dari limbah organik lokal, berpotensi besar dalam konstruksi bangunan hijau di Indonesia. Material seperti sekam padi, ampas tebu, dan kulit jagung dapat diolah menjadi bahan bangunan yang sangat ramah lingkungan, dan minim biaya produksi sehingga dapat terjangkau dapat menghasilkan bahan bangunan seperti papan dinding dan batako ringan yang tahan lama. Selain mengurangi jumlah limbah, biokomposit ini dapat menjadi alternatif pengganti material tidak terbarukan, sekaligus mendukung upaya pengurangan emisi karbon dalam sektor konstruksi terutama di wilayah perkotaan. Gagasan ini tidak hanya berkontribusi pada pelestarian lingkungan, tetapi juga mampu menghadirkan solusi konstruksi yang ekonomis dan lebih efisien. Pada proses pengimplementasiannya, sangat dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat untuk bisa merealisasikan bangunan hijau secara lebih luas di Indonesia..
Daftar Pustaka.
Djoefrie, B dan Dewi, K. (2021). Pencegahan, Pengendalian dan Pemanfaatan Limbah Organik. Bogor : IPB Press.
Mahendra, R., & Santoso, Y. (2020). Penggunaan Material Daur Ulang dalam Arsitektur Hijau, 7(1), 45-56.
Prabarini, F. (2022). Bio-Based Material: Dari Alam, Dengan Alam dan Untuk Alam.
Retrieved November 02, 2024, from https://archinesia.com/bio-based-material-dari-alam-dengan-alam-dan-untuk-alam/
Taylor, M. (2023). Trash to treasure: Indonesian firm turns plastic into bricks. Retrieved November 02, 2024, from https://www.context.news.
Verma, Rangappa, & Siengchin, (2023). Biopolymer-Based Composites: An Eco-Friendly Alternative from Agricultural Waste Biomass. Journal of Composite Science, 7(6), 242.
Wibowo, S., & Purwanto, H. (2018). Green Project Life Cycle dalam Penerapan Bangunan Hijau, 98-111.