Gedung Rakus Energi Lawan Gedung Cerdas dari Masa Depan
Ditulis oleh Kevin Kornelius
Mari kita mulai membuka mata, kita juga perlu untuk juur pada dunia. Bahwasannya bangunan bangunan yang ada pada saat ini, pada era indonesia yang sedang menghadapi urbanisasi ini. Banyak sekali bangunan bangunan yang tidak lebih dari tempat atau bahkan mesin pemboros dan penghabis energi yang diberikan iming iming lokasi hiburan dengan didandani cantik. Marilah kita ambil contoh dari pusat perbelanjaan, tempat yang sangat terang benderang di seluruh tempatnya. Ditambah dengan AC yang terus menerus menyala tanpa henti selayaknya sungai yang terus mengalir dari hulu ke hilir. Contoh lainnya juga seperti kantor yang megah dengan lampu yang menyala 24 jam tanpa henti. Hal tersebut menunjukan indikasi, yaitu bukti, bahwa cinta sejati manusia terhadap ketidakpedulian. Di tengah krisis energi dan perubahan iklim yang semakin didepan mata, kita tampaknya lebih tertarik membuat gedung gedung pencakar langit tanpa memedulikan energi yang akan dikonsumsi. Kita lebih tertarik membangun pusat perbelanjaan tanpa memedulikan efeknya pada lingkungan. Kita selayaknya sedang mengkonsumsi kopi tanpa ada henti dan batasnya. Pastinya hal tersebut tidaklah memberikan efek yang positif, namun hanya akan memberikan dampak negatif yang sangat signifikan.
Direktur Konservasi Energi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Gigih Udi Atmo sempat mengatakan dan menegaskan kembali bahwasannya gedung gedung besar serta gedung gedung pencakar langit perlu di pertegas dan diwajibkan untuk melakukan penerapan manajemen energi. Gigih menuturkan, semua aktivitas masyarakat modern membutuhkan energi, tak terkecuali di bangunan atau gedung, sebagaimana dilansir dari situs web Kementerian ESDM. “Namun, penggunaannya juga menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi pada pemanasan global. Hal ini tentu menjadi perhatian kita agar penggunaan energi dapat dilakukan secara efisien,” kata Gigih. Hal tersebut saja sudah membuktikan bahwasannya gedung memang menyumbang banyak sekali masalah untuk penghematan energi bagi umat manusia.
Bahkan, meski kita sudah mengetahui bahwasannya bangunan menyumbang sekitar 30% emisi karbon untuk global. Sayangnya masih banyak sekali yang merasa bahwa ini bukanlah suatu masalah besar. Tapi hanyalah masalah sepele yang dilebih lebihkan. Mungkin saja, emisi gas karbon tidak terlalu berdampak bagi sebagian orang yang tidak peduli, kecuali mungkin disaat banjir setinggi lutut mulai menggenangi rumah kita atau mungkin perlu di berikan cuaca yang ekstrem hingga kita melakukan sumpah serapah di setiap saatnya? Tetapi itu bukankah hal itu merupakan harga yang pantas dibayar untuk kenyamanan sesaat yang sangat didambakan dan diinginkan banyak orang?
Ironisnya, di tengah semua ini, solusi yang sudah ada didepan mata, yaitu bangunan cerdas dan hijau. Malah dianggap terlalu ribet atau mahal. Seakan akan lebih masuk akal untuk terus boros energi daripada berpikir sedikit kreatif dan mencari solusi cerdas. Sepertinya, memang sudah waktunya kita berhenti berpura pura dan mulai serius memikirkan bagaimana teknologi bisa membuat bangunan lebih pintar dan lingkungan lebih selamat.
Kita hidup di zaman di mana gedung-gedung lebih rakus energi daripada remaja kelaparan di restoran all-you-can-eat. Lampu tetap menyala sepanjang malam di kantor kosong, AC bekerja keras mendinginkan ruangan meski tak ada siapa pun di dalamnya, dan lift bergerak meski orang bisa naik dua lantai dengan tangga. Semua ini adalah bukti sahih bahwa manusia lebih suka membuang-buang energi daripada mencari cara untuk menggunakannya dengan bijak.
Penyebab dari kebiasaan ini bukan hanya kemalasan, tapi juga ketidaktahuan dan kurangnya penerapan teknologi yang tepat. Sebagian besar bangunan di Indonesia masih mengandalkan metode konvensional, tanpa sedikit pun memanfaatkan teknologi manajemen energi. Akibatnya, tagihan listrik melambung, energi terbuang sia-sia, dan polusi kian memburuk. Bayangkan, kita memiliki teknologi untuk menghentikan kebiasaan buruk ini, tetapi kita justru enggan beralih karena alasan klasik: terlalu mahal dan terlalu rumit. Padahal, biaya yang sebenarnya mahal adalah harga lingkungan dan masa depan.
Inovasi Bangunan Cerdas: Solusi yang Terlalu Pintar untuk Diabaikan
Jika kita mau sedikit lebih serius, solusi untuk masalah ini sebenarnya sudah ada: Internet of Things (IoT) dan Smart Building Management Systems. Teknologi ini memungkinkan bangunan untuk berpikir sendiri—ya, lebih pintar daripada beberapa pemilik gedung. Dengan menggunakan sensor pintar, sistem ini mampu mematikan AC atau lampu secara otomatis ketika ruangan kosong, serta menyesuaikan suhu dan pencahayaan sesuai kebutuhan.
Bahkan, teknologi canggih seperti Artificial Intelligence (AI) dapat memprediksi pola penggunaan energi sehingga manajemen gedung bisa mengambil keputusan yang lebih efisien. Contohnya, gedung bisa mengatur jadwal penggunaan lift atau pendingin udara agar tidak menghabiskan listrik ketika tidak diperlukan. Semua ini bukan fiksi ilmiah; ini adalah teknologi yang sudah ada, siap digunakan, dan terbukti bekerja di berbagai negara maju.
Sayangnya, di Indonesia, penerapan teknologi ini masih lebih jarang daripada orang yang berangkat kerja tepat waktu. Banyak pemilik gedung yang enggan berinvestasi karena dianggap terlalu mahal, tanpa menyadari bahwa biaya investasi ini bisa kembali dalam bentuk penghematan energi dalam beberapa tahun saja. Dalam istilah sederhana: lebih baik mencegah boros daripada menyesal di kemudian hari.
Manfaat Ekonomi dan Lingkungan: Dua Burung dengan Satu Batu
Mari kita berandai-andai sejenak: Apa jadinya jika seluruh gedung di Indonesia menerapkan teknologi bangunan cerdas? Jawabannya: Biaya operasional turun, tagihan energi berkurang, dan lingkungan sedikit bernapas lega.
Sistem manajemen pintar tidak hanya mengurangi konsumsi energi hingga 30%, tetapi juga meningkatkan efisiensi operasional. Dengan memonitor penggunaan energi secara real-time, pengelola gedung bisa mengambil tindakan cepat untuk mengatasi masalah sebelum menjadi bencana. Ini seperti memiliki asisten pribadi untuk gedung, yang selalu waspada dan siap menghemat energi kapan saja.
Selain manfaat ekonomi, penerapan bangunan cerdas juga berdampak positif bagi lingkungan. Emisi karbon bisa ditekan secara signifikan, mengurangi jejak ekologi yang ditinggalkan setiap bangunan. Bayangkan, jika gedung-gedung di Jakarta saja bisa berhemat energi sebanyak 20-30%, berapa banyak polusi yang bisa kita hindari setiap tahunnya?
Tantangan Implementasi: Bukan Masalah Teknologi, Tapi Kemauan
Jika teknologi sudah ada, mengapa kita masih belum beralih? Jawaban sederhananya adalah kurangnya kemauan dan pengetahuan. Banyak pemilik gedung dan kontraktor masih berpikir pendek, lebih memilih keuntungan cepat daripada manfaat jangka panjang. Tidak jarang juga kita mendengar alasan bahwa “biaya instalasi mahal”, padahal biaya listrik yang membengkak setiap bulan jauh lebih mahal dalam jangka panjang.
Selain itu, kurangnya edukasi tentang teknologi bangunan cerdas juga menjadi penghambat. Pekerja konstruksi dan pengelola gedung belum dibekali pengetahuan yang cukup untuk menerapkan sistem manajemen energi pintar. Akibatnya, mereka lebih memilih cara konvensional yang sudah usang dan tidak efisien.
Kesimpulan: Sudah Saatnya Kita Berubah atau Bersiap Tenggelam dalam Polusi
Dunia tidak akan menunggu kita. Jika kita tidak segera beralih ke bangunan cerdas, maka kita hanya akan memperburuk krisis energi dan lingkungan. Teknologi sudah ada, manfaatnya jelas, dan masa depan yang lebih hijau sudah di depan mata. Yang kita butuhkan sekarang hanyalah keberanian untuk berubah—dan mungkin sedikit kesadaran bahwa menjadi boros energi bukan lagi gaya hidup yang keren.
Sudah saatnya Indonesia memimpin dengan memberi contoh: bangunan hijau dan cerdas bukan hanya mimpi, tapi kebutuhan nyata. Jika kita tidak segera bertindak, kita hanya akan menjadi penonton dari perubahan yang terjadi di negara lain. Jadi, pertanyaannya sekarang adalah: Apakah kita mau menjadi bagian dari solusi, atau tetap nyaman dalam masalah?