Pemanfaatan Alga Hijau (Chlorophyceae) Sebagai Penghasil Energi Biofuel Dalam Penerapan Arsitektur Green Building Untuk Mendukung SDGs Indonesia 2045
Ditulis Oleh Muhammad Hafizzudin Romadani.
Pendahuluan
Perubahan iklim saat ini menjadi tantangan yang sangat serius di tingkat global. Fenomena cuaca ekstrem, seperti badai, angin kencang, hujan deras, serta pergeseran pola musim tanam, semakin sering terjadi. Selain itu, risiko terjadinya badai tropis, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, hingga kerusakan pada ekosistem laut, seperti terumbu karang yang semakin rusak dan punahnya berbagai spesies ikan, semakin meningkat. Menurut (Vifi, 2020) krisis air bersih juga semakin mengancam, disertai dengan penyebaran penyakit parasitik seperti malaria dan demam berdarah dengue (DBD), serta peningkatan kasus alergi, gangguan pernapasan, dan radang selaput otak (ensefalitis). Menurut sebagian besar ilmuwan, fenomena-fenomena ini dipicu oleh pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 30% bangunan di seluruh dunia memiliki masalah terkait kualitas udara dalam ruangan. Oleh karena itu, dikembangkannya konsep arsitektur hijau (green architecture) sebagai pendekatan dalam perancangan bangunan yang bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Arsitektur hijau berkontribusi dalam mengatasi isu lingkungan, khususnya terkait pemanasan global. Bangunan yang menyumbang lebih dari 30% emisi karbon dioksida secara global, merupakan salah satu kontributor utama terhadap fenomena pemanasan global.
Menurut (Maria, 2012) Pembangunan Gedung Hemat Energi, atau yang dikenal sebagai green building, terus diupayakan sebagai salah satu langkah untuk menghadapi perubahan iklim global. Dengan penerapan konsep efisiensi energi yang optimal, konsumsi energi gedung dapat berkurang hingga 50% hanya dengan tambahan investasi sebesar 5% dari biaya pembangunan standar. Melalui peningkatan biaya sebesar 5% tersebut, penghematan energi sebesar 50% dapat dicapai. Green building dirancang dengan perencanaan energi modern. Selain desain yang dirancang untuk meminimalkan masuknya sinar matahari — sehingga mengurangi kebutuhan penggunaan pendingin ruangan (AC) — atap gedung juga dapat dilengkapi dengan panel surya yang menghasilkan energi untuk digunakan di dalam gedung. Dalam perencanaannya, beberapa perspektif penting dapat dipertimbangkan, di antaranya adalah passive design, active design, kondisi udara dalam ruangan, manajemen, serta layanan dan pemeliharaan.
Fotosintesis terjadi pada semua mahluk hidup yang memiliki zat hijau atau klorofil. Proses fotosintesis melibatkan kemampuan klorofil dalam menyerap CO2 dan sinar matahari kemudian diubah menjadi biomassa berupa karbohidrat dalam bentuk selulosa, pati dan gula. Alga hijau termasuk organisme yang mampu melakukan fotosintesis dan menghasilkan biomassa sehingga berpotensi menghasilkan energi bahan bakar berupa biodiesel, bioethanol, dan biohidrogen dari proses fermentasi biomassa. Menurut Jaya et al. (2018), alga hijau Spirogyra sp memiliki kandungan karbohidrat 33-64% sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol dan biofuel. Proses penghasilan energi dari biomassa berupa karbohidrat dan selulosa sendiri tergantung dari proses fermentasi bioreaktor yang digunakan.
Alga hijau sebagai organisme memiliki kekayaan cadangan dan tersebar luas di dunia. Selain itu, mikro-alga yang memiliki ukuran skala mikro, reproduktivitas cepat, kemampuan beradaptasi di lingkungan, penyerapan karbon yang sangat baik dan tingkat konversi yang tinggi dianggap sebagai sumber daya hayati ketiga dan biofuel generasi keempat dengan potensi besar. Produksi bahan bakar dari alga hijau menjadi alternatif untuk mengatasi kelangkaan energi dan mengurangi penggunaan energi fosil sehingga mendukung konsep energi besih dan terjangkau.
Gagasan
Kerusakan lingkungan dan alam yang saat ini terjadi menjadi faktor penting yang harus ditangani. Climate change atau perubahan iklim terus menerus menjadi penyebab terjadinya pemanasan global. Hal ini terjadi akibat berkembangnya penggunaan teknologi industri dan transportasi yang memberikan kontribusi sebagai penyumbang karbon dioksida (CO2) diatmosfer bumi.
Perlunya sumber alternatif pengganti energi fosil untuk menghasilkan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan. Salah satu sumber yang berpotensi untuk dikembangkan dalam menghasilkan energi berasal dari biomassa. Potensi sumber daya biomassa Indonesia berkisar 49.810 MW yang berasal dari tumbuhan hijau. Limbah biomassa yang dapat dijadikan sumber energi seperti limbah sekam padi, tongkol jagung, limbah sawit dan tebu yang dapat diolah menjadi bioenergi melalui proses fermentasi (Kasmaniar et al., 2023).
Alga hijau sebagai tumbuhan air mempunyai pola pertumbuhan yang cepat, kemampuan beradaptasi yang baik, dapat menyerap karbon serta mampu diolah menjadi produk biofuel generasi keempat menggantikan limbah biomassa pangan. Potensi alga hijau menjadi biofuel karena kemampuannya menghasilkan biomassa seperti bietanol dan biodiesel dengan volume produksi terbesar dapat menggantikan bahan bakar fosil dalam hal mengurangi emisi gas CO2.
Gambar 1. Konsep energi Biomassa
Alga hijau sendiri menghasilkan bahan-bahan organik tersebut melalui proses fotosintesis memanfaatkan kemampuannya menyerap sinar matahari melalui klorofil untuk menghasilkan zat tepung dan gula. Proses penghasilan bioenergi dari alga melalui fermentasi untuk mengubah bahan organik kompleks menjadi biofuel melalui proses fermentasi menggunakan rancangan green bioreactor fasade.
Gambar 2. Detail green bioreakor fasade
Rancang green bioreaktor fasade digunakan sebagai media kultivasi alga hijau. Kebutuhan nutrisi didapat dari pompa makanan dan medium untuk pertumbuhannya. Alga hijau memanfaatkan sinar matahari untuk melakukan fotosintesis dibantu dengan sistem sensor, sistem agitasi dan distributor udara selama proses fotosintesis berlangsung. Mekanisme kerja green bioreaktor dalam menghasilkan biofuel yaitu dilakukan pengeringan bejana dengan mengeluarkan air sehingga diperoleh biomassa kering alga hijau. Selama proses pengeringan berlangsung sistem pada green bioreaktor diatur pada mode pengeringan dan selanjutnya akan dilakukan proses penghasilan energi melalui fermentasi.
Gambar 3. Eksterior The BIQ House
Dalam arsitektur kontemporer perkotaan, penggunaan fasad kaca pada bangunan sangat diminati karena memiliki nilai estetika yang tinggi. Namun, dampak lingkungan dari fasad kaca menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait peningkatan panas yang masuk ke dalam gedung dan efek cuaca panas yang tidak diinginkan. Sistem berbasis ganggang telah diajukan sebagai alternatif berkelanjutan yang dapat mengintegrasikan bioreaktor ganggang dalam fasad kaca. Fasad berbasis ganggang ini mampu mentransmisikan cahaya sekaligus berfungsi sebagai dinding pelindung, sehingga berpotensi menggantikan fasad kaca dengan memberikan fungsi termal dan struktural yang lebih baik. Dirancang untuk meningkatkan kualitas udara, fasad ganggang memproduksi oksigen dan menyerap karbon dioksida (CO₂) melalui proses fotosintesis alga. Bioreaktor ini terletak di antara dua panel akrilik, di mana ganggang tumbuh dalam medium cair yang kaya nutrisi. Wadah bioreaktor ini dirancang agar mampu menyediakan energi sekaligus memberikan dukungan struktural yang baik. Melalui fasad ini, dimungkinkan untuk memantau pencahayaan dan ventilasi harian secara optimal..
Kesimpulan
Memproduksi bioenergi dari alga termasuk cara paling efisien karena keuntungan utama dari sistem ini dimana lebih efisien dalam melestarikan foton, dapat dipanen hampir sepanjang tahun menunjukkan bahwa tersedia bahan-bahan yang berkelanjutan, oleh karena itu pemanfaatan alga hijau sebagai penghasil energi baru terbarukan dalam penerapan arsitektur green building untuk menjawab dan mendukung (Sustainable Develompmen Goals) SDGs Indonesia 2045.
Keuntungan berupa energi seperti biofuel yang dihasilkan memiliki angka oktan yang tinggi, ramah lingkungan, ketersediaan hasil yang melimpah, penggunaan energi rendah dan menghasilkan emisi rendah. Untuk produksi bioetanol sendiri dapat dilakukan secara mandiri di rumah oleh masyarakat, biaya lebih murah dan yang paling pening ketersediaan alga hijau di alam dalam jumlah besar dan melimpah.
Kemajuan teknologi dalam desain arsitektur seharusnya mampu mendukung upaya penghematan energi untuk merespons isu perubahan iklim, baik di Indonesia maupun di dunia secara lebih luas. Teknologi saat ini memungkinkan penggabungan berbagai disiplin ilmu untuk menciptakan inovasi baru. Dalam konteks ini, biofaçade adalah salah satu contohnya, di mana panel bioreaktor dapat berfungsi sebagai pelindung (shading) sekaligus penghasil energi terbarukan yang bersumber dari alga. Dengan memanfaatkan prinsip fotosintesis sederhana dan siklus karbon, terciptalah teknologi shading yang memiliki fungsi ganda.
DAFTAR PUSTAKA.
Abizar. Rahmah, S. W. 2020. Alga Hijau (Chlorophyceae) Yang Ditemukan Di Sungai Sumatera Barat. Jurnal Biologi dan Pendidikan Biologi.
Jaya, D., Rahayu, S., dan Sudiyono, P. (2018). Pembuatan Bioetanol Dari Alga Hijau Spirogyra sp.. Jurnal Eksergi. 15(1): 16‒19.
Kasmaniar., Syaifuddin, Y. Nelly., Fitriliana., Susanti., Filia, H., dan Aidil, R. (2023). Pengembangan Energi Terbarukan Biomassa dari Sumber Pertanian, Perkebunan dan Hasil Hutan: Kajian Pengembangan dan Kendalanya. Jurnal Serambi Mekah. 8(1): 4957‒4964.
Sudarwani, M. M. 2012. Penerapan Green Architecture Dan Green Building Sebagai Upaya Pencapaian Sustainable Architecture. Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Pandanaran.
Triana, Vifi. 2008. Pemanasan Global. Editorial. Jurnal Kesehatan Masyarakat, FK Unand.
Widyakusuma, A. 2024. Inovasi Arsitektur Dalam Bentuk Fasad Cerdas Bangunan Untuk Mengatasi Polusi Udara Jakarta. Jurnal Trave. Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Borobudur.
Zagi, N. Z. 2017. Studi Penerapan Solarleaf – The Bioreactor Facade sebagai Solusi Alternatif Arsitektur Tanggap Iklim dan Energi. Program Studi Magister Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung.
.