A close-up of a pile of garbage

Description automatically generated

Mas Bejo: Manajemen Pengelolaan Sampah Berbasis Peningkatan Infrastruktur Hijau di Yogyakarta

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 29

Ditulis oleh Gilang Cahya Nusantara

Darurat sampah yang dialami di Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi suatu permasalahan yang perlu untuk diselesaikan. Darurat sampah di Yogyakarta dipicu oleh adanya penutupan TPA Piyungan pada Bulan April 2024 lalu. Budaya membuang sampah tanpa adanya pengelolaan mulai dari lingkup paling kecil berdampak pada ketergantungan pada fasilitas pembuangan sampah yang ada. Hal tersebut diperburuk dengan fasilitas pengelolaan sampah yang belum menunjang secara baik terhadap timbunan sampah yang ada, memicu timbunan sampah yang semakin parah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan Yogyakarta. TPA Piyungan dibangun pada tahun 1994 dan mulai beroperasi pada tahun 1996. Perencanaaan awal Pembangunan TPA Piyungaan diprediksi dapat menampung hingga tahun 2012, tetapi pada kenyataannya TPA tersebut terus dioperasikan hingga tahun 2024 dengan kapasitas pembuangan 500-600 ton sampah tiap harinya, tanpa adanya penanganan konkret terhadap timbunan sampah yang ada. Dampak yang ditimbulkan, TPA Piyungan mengalami overload atau kelebihan kapasitas serta munculnya berbagai permasalahan yang ada pada lingkungan, seperti permasalahan karena bau yang ditimbulkan serta air lindi yang ditimbulkan ketika musim hujan. Oleh karena beberapa permasalahan di TPA Piyungan, pada Bulan April 2024 lalu TPA Piyungan dinyatakan ditutup secara total.

A close-up of a pile of garbage

Description automatically generated

Sumber: https://www.balairungpress.com/

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023, sebagian besar timbunan sampah di TPA Piyungan terdiri dari sampah organik. Penelitian oleh Utami (2022) dan Purba (2022) menunjukkan bahwa timbunan sampah organik menyebabkan peningkatan gas ammonia (NH3) dan gas metana (CH4), yang berdampak negatif pada suhu sekitar. Timbunan sampah akan mengalami dinamika panas, terutama ketika gas hasil dekomposisi tidak dapat dilepaskan dengan mudah. Akibatnya, proses thermal akan semakin kuat diarasakan di sekitar lokasi timbunan sampah (Bogner, 2011). Timbunan sampah juga menyebabkan air lindi, terutama selama musim penghujan. Masuknya air lindi ke persawahan warga, yang mengurangi kesuburan tanaman, adalah salah satu masalah yang pernah dihadapi warga. Kandungan timbal atau Pb pada air lindi TPA Piyungan mencapai 40 mg/l, menurut penelitian tentang kandungan timbal pada air lindi (Rakhmadasari, 2007). Sesuai dengan batas maksimum baku mutu air kelas IV PP No.82 Tahun 2001 untuk pengelolaan dan pengendalian pencemaran air, kondisi tersebut termasuk dalam kategori yang cukup tinggi dengan ambang batas maksimum Pb pada lindi sebesar 1 mg/1.

Solusi pembentukan TPA baru sebagai Solusi untuk mengatasi darurat sampah di Yogyakarta, sedang banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Namun, solusi pembuatan TPA baru tanpa diikuti oleh adanya pengelolaan berkelanjutan serta upaya perubahan kebiasaan masyarakatnya, akan menimbulkan permasalahan yang sama di kemudian hari. Pembukaan TPA baru dapat dilakukan, tetapi upaya untuk mengelola sampah juga harus menjadi pertimbangan yang penting untuk dilakukan, mengingat saat ini sampah yang tertampung dalam TPA hanya menjadi timbunan sampah semata, yang justru berdampak negative pada lingkungan, seperti pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara, dan permasalahan lingkungan lainnya. Solusi berkelanjujan dengan “waste utilizion to build human circular economic” tertuang dalam konsep “Mas Bejo” yang disulkan dalam penelirian ini. Konsep ini dibangun dengan upaya perubahan timbunan sampah menjadi sesuatu yang lebih berguna, bermanfaat, dan dapat meningkatkan kondisi sosial masyarakat. Upaya yang dibangun oleh “Mas Bejo”, ialah dengan mengubah sampah menjadi energi listrik, dilanjutkan dengan pemanfaatan residu sebagai bahan konstruksi bangunan. Upaya tersebut juga dilakukan sebagai wujud kepedulian terhadap situasi krisis yang dialamiogyakarta, terutama terkait dengan kondisi infrastruktur di Yogyakarta, baik kondisi jalan, bangunan rumah warga di daerah pinggiran, serta akses penerangan jalan yang masih minim.

A screenshot of a website

Description automatically generated

Gambar 1. Berita minimnya penerangan jalan umum di Yogyakarta

Sumber: Harian Jogja

Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa masih banyak lokasi di Yogyakarta yang membutuhkan adanya perhatian terutama terkait dengan infrastruktur, seperti infrastruktur penerangan jalan, rumah layak huni, serta jalan. Berdasarkan data Bappeda tahun 2023 dan 2024, tercatat bahwa jumlah kecelakaan di DIY mencapai 6868 kejadian pada tahun 2023 dan 5307 kejadian pada tahun 2024. Selanjutnya, berdasarkan data dari Ombutsman DIY, ditemukan masih banyak titik yang masih membutuhkan perhatian terkait dengan penerangan jalan, karena memicu terjadinya kecelakaan. Kemudian, terkait dengan rumah tidak layak huni di DIY, peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2022 ke tahun 2023, yang mana jumlahnya meningkat dari 27.735 rumah menjadi 74.055 rumah. Terkait dengan kondisi infrastruktur jalan di DIY juga membutuhkan perhatian khusus, karena masih ditemukan jalan yang mengalami rusak berat, rusak ringan, dan kondisi tidak mantap dengan kerusakan yang tergolong panjang. Berdasarkan contoh beberapa kasus terkait dengan infrastruktur di DIY, menunjukkan bahwa infrastruktur di DIY membutuhkan perhatian secara mendalam.

Konversi limbah sampah menjadi energi listrik atau sering dikenal dengan istilah “waste to energy” atau WTE merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi situasi dan kondisi persampahan di Yogyakarta yang sangat memprihatinkan. Konsep tersebut pernah dilakukan oleh beberapa negara maju, seperti Singapura, Jerman, Jepang, Swiss, Amerika, Cina, dan Perancis. Konsep “Mas Bejo” diadopsi dari konsep WTE yang sudah berjalan di negara maju. Sebagai contoh, yaitu konsep WTE yang berjalan di Amerika, yang mana dapat mengonversi limbah sampah menjadi energi yang minim polusi, menghasilkan energi listrik melimpah, hemat penggunaan lahan, hemat biaya, dan menjadi potensi energi baru dan terbarukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Psomopoulus et al. (2009), tiap 1 metrik ton sampah yang dibakar untuk menghasilkan energy listrik, dapa menghasilkan energi listrik sebesar 600 Kwh, yang mana dapat mengurangi ¼ ton pembelian batu bara berkualitas tinggi. Awal berdirinya WTE di Amerika, juga sering dihadapkan dengan isu lingkungan terkait dengan pembakaran sampah yang dilakukan. Namun, dengan adanya inovasi pengolah limbah asap yang dilakukan, WTE tersebut dapat menjadi pembangkit listrik terbersih (Mukherjee et al., 2020).

Teknologi pembakaran yang diikuti dengan pengolahan limbah udara, membuat konsep WTE berhasil dijalankan di Amerika. Proses WTE diawali dengan penyortiran limbah sampah oleh fasilitas pengolah limbah sampah, untuk memisahkan sampah yang tidak bisa di daur ulang dan sampah yang dapat di daur ulang. Di Indonesia, proses tersebut sebenarnya dapat dilakukan dengan melakukan pemilahan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R). Sampah yang dapat di daur ulang dilakukan pemisahan untuk di daur ulang, sedangkan sampah yang tidak dapat di daur ulang dibawa ke TPA untuk dilakukan konversi limbah sampah menjadi energi. Sampah yang terkumpul di TPA selanjutnya dilakukan proses pembakaran, dengan konsep pembakaran ramah lingkungan, dengan system pengendali emisi seperti dry scrubbers, activated carbon injection, dan Selective Non-Catalytic Reduction (SNCR) yang membantu mengurangi emisi berbahaya seperti dioxin, furan, NOx, SOx, dan merkuri sesuai standar Maximum Achievable Control Technology (MACT) dari EPA. Uap yang dihasilkan selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin yang terhubung dengan generator listrik, yang mana tiap ton sampah yang dimasukkan, dapat menghasilkan sekitar 600 Kwh listrik.

Gambar 3. Sistem konversi pengolahan limbah sampah menjadi energi listrik di Amerika. (a) Brescia, (b) Martin GmbH, (c) SEMASS

Sumber: Themelis, (2003)

Hasil konversi sampah menjadi energi listrik juga menghasilkan sisa abu pembakaran. Abu sisa pembakaran biasanya hanya didiamkan begitu saja. Padahal, abu sisa pembakaran memiliki potensi dalam pengembangannya sebagai bahan konstruksi, baik itu dalam bentuk beton, konblok, maupun batako. Penelitian review terkait dengan pemanfaatan abu sisa hasil pembakaran pernah dilakukan oleh Jinyoung et al. (2014) yang mana memanfaatkan abu sisa hasil pembakaran dari limbah sampah menjadi campuran bahan konstruksi. Dalam penelitian Cho et al.(2020) di jelaskan mengenai pemanfaatan abu dalam pembuatan hot mix alsphalt (HMA), yang mana penggantian agregat halus sebanyak 60% pada material HMA menunjukkan tingkat ketahan yang lebih tinggi terkait dengan kompresi, rutting, retak, dan deformasi, dibandingkan dengan bahan baku tradisional. Selanjutnya, pada penelitian tersebut juga menjelaskan mengenai pencampuran abu hasil pembakaran sampah dengan semen dalam kegiatan konstruksi. Dalam kegiatan konstruksi biasanya dilakukan pencampuran antara semen Portland dan Supplementary Cementitious Materials (SCMs) yang berfungsi untuk meningkatkan kekuatan pada konstruksi yang dihasilkan. Selanjutnya, dilakukan percobaan untuk mengganti SCMs dengan abu sisa hasil pembakaran, karena memiliki kandungan oksida kalsium dan silika tinggi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa abu sisa hasil pembakaran yang telah mengalami proses pemisahan magnetic menunjukkan adanya kekuatan tekan yang tinggi. Pemisahan magnetic untuk stabilisasi logam residu dalam abu sisa pembakaran dapat dilakukan dengan berbagai hal, seperti solidifikasi atau stabilisasi dengan semen, pelapukan, karbonasi, perlakukan thermal, serta memberikan perlakukan kimia dengan agen pengkelat, ferosulfat, dan fosfat. Adsopsi oksida dan hidroksida Al dan Fe dinilai plaing efektif untuk membentuk oksoanion (Todorovic & Ecke, 2006).

Berdasarkan adopsi program yang dilakukan oleh negara maju serta beberapa riset yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diharapkan dapat menjadi percontohan bagi Yogyakarta untuk mengembangkan program “Mas Bejo” yang mana mengembangkan Manajemen Pengelolaan Sampah Berbasis Peningkatan Infrastruktur Hijau di Yogyakarta. Diharapkan melalui program tersebut, dapat terwujud ”waste utilizion to build human circular economic” pemanfaatan sampah untuk membangun ekonomi sirkular di masyarakat, yang mana dari sampah diubah menjadi suatu potensi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, yang mana dalam hal ini disajikan dalam bentuk energi listrik dan peningkatan infrastruktur bangunan berbasis abu sisa pembakaran sampah. Peningkatan kondisi masyarakat juga diharapkan dapat meningkat melalui adanya program tersebut.

Daftar Pustaka

Bappeda Provinsi DIY. (n.d.). Data Dasar – Dinas Perhubungan DIY. Diakses pada 5 November 2024 dari https://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar?id_skpd=10

Bappeda Provinsi DIY. (n.d.). Panjang Jalan Berdasarkan Kondisi. Diakses pada 5 November 2024 dari https://bappeda.jogjaprov.go.id/dataku/data_dasar/index/219-panjang-jalan-berdasarkan-kondisi

Bogner, J. E., Spokas, K. A., & Chanton, J. P. (2011). Seasonal greenhouse gas emissions (methane, carbon dioxide, nitrous oxide) from engineered landfills: Daily, intermediate, and final California cover soils. Journal of environmental quality, 40(3), 1010-1020.

Harian Jogja. (2024, Juli 30). Ribuan titik di DIY masih belum tersentuh penerangan jalan umum, anggaran seret. Diakses dari https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2024/07/30/510/1183111/ribuan-titik-di-diy-masih-belum-tersentuh-penerangan-jalan-umum-anggaran-seret.

Jinyoung, K., Kazi, T., & Hyun, N. B. (2014). Material Characterization of Municipal Solid Waste Incinerator (MSWI) Ash As Road Construction Material. In American Society of Civil Engineers.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2023). Fasilitas TPA dan TPST. Diakses pada 5 November 2024, dari https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/public/home/fasilitas/tpa-tpst

Mukherjee, C., Denney, J., Mbonimpa, E. G., Slagley, J., & Bhowmik, R. (2020). A review on municipal solid waste-to-energy trends in the USA. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 119, 109512.

Psomopoulos, C. S., Bourka, A., & Themelis, N. J. (2009). Waste-to-energy: A review of the status and benefits in USA. Waste management, 29(5), 1718-1724.

Purba, D. A. (2022). Analisis Kadar Gas Metan (Ch₄) Terhadap Faktor Lingkungan Di Tpa Piyungan, DI Yogyakarta. (Skripsi, Universitas Islam Indonesia). Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Rakhmadasari, R. (2007). Penurunan konsentrasi timbal (pb) pada lindi tpa piyungan dengan metode elektrokoagulasi. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia.

Themelis, N.J., 2003. An overview of the global waste-to-energy industry. Waste Management World (July–August), 40–47.

Todorovic, J., & Ecke, H. (2006). Treatment of MSWI residues for utilization as secondary construction minerals: a review of methods. Minerals & Energy-Raw Materials Report, 20(3-4), 45-59.

Utami, H. J. (2022). Analisis Kadar Gas Amonia (NH₃) terhadap Faktor Lingkungan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan Yogyakarta (Skripsi, Universitas Islam Indonesia). Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

.

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 0 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 0

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment