Meningkatkan Akses Community Learning Place Melalui Konstruksi Bangunan Hijau Terintegrasi dengan Prinsip Sustainability untuk Pemenuhan Tujuan SDGs ke-11
Ditulis oleh Fatiyah Dzihni Mudhiah
I. Pembukaan: Membangun Kesadaran
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kita dihadapkan pada sebuah krisis yang kian mendesak: limbah plastic. Alam membutuhkan waktu antara 500—1.000 tahun untuk menguraikan satu sampah plastik, dan Bumi terancam tertutup plastik dalam beberapa dekade mendatang jika tidak ada upaya serius untuk mengelola limbah plastik.
Menurut (Gazal & Gheewala, 2020), plastik adalah senyawa polimer yang dibuat melalui proses sintesis, umumnya berasal dari bahan baku petrokimia, dengan karakteristik massa molekul tinggi dan kemampuan plastisitas. Polimer yang membentuk plastik dibedakan menjadi dua jenis: polimer sintetis dan polimer alami. Polimer sintetis, yang berasal dari sumber yang tidak dapat diperbaharui, menyumbang 99% dari total produksi plastik, sementara polimer alami, yang berasal dari sumber biologis seperti jagung, tebu, pati, dan singkong, hanya menyumbang 1% (Gonzalez et al., 2024).
Mengutip dari (Alisjahbana & Murniningtyas, 2021), “Perkembangan produksi kemudian dipicu oleh peningkatan dan gaya hidup konsumsi masyarakat yang telah mengakibatkan produksi sampah melimpah di berbagai negara.” Sayangnya, produksi sampah yang melimpah ini tidak diimbangi dengan pengelolaan yang berkelanjutan, sehingga sampah menumpuk dan berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang. Fenomena penumpukan sampah plastik yang terbuat dari bahan sintetis menuntut kita untuk meningkatkan usaha dalam proses pendaur ulangnya. Hal ini penting agar plastik tidak hanya digunakan sekali dan kemudian dibuang, sehingga tidak berakhir sebagai polusi di lautan. Daur ulang adalah proses di mana bahan yang tidak terpakai atau limbah dimanfaatkan kembali untuk membuat produk baru (Mwanza, 2021).
II. Solusi Inovatif: Bangunan Hijau Terintegrasi sebagai Ruang untuk Belajar dan Berkembang
Salah satu cara untuk memanfaatkan limbah plastik adalah melalui open-loop recycling, yaitu proses pendaurulangan limbah menjadi produk baru, termasuk sebagai bahan konstruksi bangunan. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi jumlah limbah, tetapi juga memberikan alternatif yang lebih berkelanjutan dalam pembangunan. Dalam konteks ini, rancangan bahan bangunan dari material limbah plastik memerlukan perhatian dan pertimbangan matang, termasuk jenis plastik yang akan digunakan, tata cara pengolahannya, proses pembuatannya, dan pemanfaatannya.
Oleh karena itu, diperlukan gagasan sistematis yang terstruktur untuk mewujudkan inovasi konstruksi bangunan hijau terintegrasi sebagai Community Learning Place (CLP) dengan menerapkan prinsip keberlanjutan. CLP yang berkonsep bangunan hijau terintegrasi merupakan inovasi konstruksi yang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dalam pembangunannya. Bangunan ini dirancang dengan prinsip eco-friendly serta implementasi zero-waste. Dengan menggunakan plastik yang telah diolah menjadi berbagai elemen bangunan, seperti bata, genteng, plafon, dan furniture pelengkap, kita dapat menciptakan bangunan hijau yang terintegrasi, sekaligus memberikan solusi terhadap masalah limbah plastik.
.
.
Kokohnya sebuah bangunan sangat bergantung pada material penyusunnya. Fondasi dan tembok merupakan area terpenting dalam berdirinya suatu bangunan. Pembuatan dua komponen tersebut membutuhkan bata. Umumnya, bata terbuat dari tanah liat atau campuran semen dan pasir, tetapi demi upaya pelestarian lingkungan kini hadir produk baru yaitu bata yang terbuat dari plastik, dikenal dengan istilah ecobricks. Berdasarkan pelatihan praktik yang dilakukan oleh (Widyawati et al., 2023), ecobricks terbuat dari campuran sampah plastik, seperti botol plastik PET (Polyethylene terephthalate), arang batok kelapa, dan oli bekas. Proses pembuatannya meliputi:
1. Mencacah sampah plastik.
2. Membakar batok kelapa hingga menjadi arang.
3. Menumbuk arang dari batok kelapa hingga halus.
4. Memanaskan drum dan memasukkan potongan sampah plastik, kemudian tunggu hingga mencair.
5. Menambahkan arang yang telah ditumbuk halus, lalu aduk hingga tercampur rata.
6. Mengoleskan oli pada cetakan bata.
7. Tuangkan campuran cairan plastik dan arang ke dalam cetakan, lalu tekan hingga memadat.
8. Tunggu hingga mengeras (kurang lebih 15 menit).
.
.
Pemilihan arang dari batok kelapa dalam pembuatan ecobricks ini dikarenakan arang batok kelapa tidak memiliki unsur kimia alumina, sehingga mengurangi plastisitas pada plastik dan mengurangi absorptivitas air (Artiani & Handayasari, 2018), sehingga bata dapat membangun tembok yang kuat, kokoh, dan anti lembab.
Fungsi bangunan adalah sebagai tempat berlindung dari terik cahaya dan dinginnya hujan. Oleh karena itu, dibutuhkan konstruksi atap yang baik. Atap bangunan tersusun atas genteng dan plafon. Dengan mengusung konsep eco-friendly, kini hadir inovasi pembuatan genteng beton dari campuran limbah plastik PET (Polyethylene terephthalate). Kriteria pemilihan limbah PET yang digunakan adalah yang tahan panas, kaku, dan keras. Pengolahan limbah PET dilakukan dengan mencacah dan menjadikannya sebagai campuran agregat halus. Proses pembuatannya meliputi:
1. Mengumpulkan dan membersihkan limbah PET dari kontaminan.
2. Menghancurkan limbah PET yang sudah bersih menjadi partikel halus (agregat halus).
3. Mencampurkan agregat halus dari PET dengan bahan lain seperti semen, agregat kasar (bisa dari batu pecah), dan air. Proporsi campuran sangat penting untuk memastikan kualitas dan kekuatan genteng.
4. Mencetak campuran tersebut menjadi bentuk genteng menggunakan cetakan.
5. Memadatkan genteng yang sudah dicetak untuk menghilangkan udara dan memastikan kekompakan material.
6. Mengeringkan genteng untuk mengurangi kadar air sebelum proses curing.
7. Merawat genteng beton dalam kondisi lembab selama beberapa hari untuk memastikan hidrasi semen yang optimal, yang akan meningkatkan kekuatan genteng.
Pemilihan material genteng dengan campuran PET karena jaringan PET memiliki sifat jernih, kuat, dan fleksibel, dengan dimensi yang stabil. Selain itu, material ini tahan terhadap api, tidak beracun, serta memiliki permeabilitas yang rendah terhadap gas, aroma, dan air (Nugroho et al., 2017).
Selain dari karakteristik PET mendukung, genteng beton yang menggunakan limbah PET ini juga lebih ringan dibandingkan dengan genteng beton biasa. Penelitian menunjukkan bahwa variasi campuran limbah PET dari 0% hingga 40% dapat mengurangi berat genteng beton hingga 13,8%. Oleh karena itu, penggunaan genteng beton dari limbah PET dalam konstruksi dapat membantu mengurangi beban pada bangunan. Di sisi lain, bangunan yang lebih ringan dapat mereduksi tingkat penurunan tanah yang berdampak pada hilirisasi air tanah.
Untuk menunjang aktivitas sosial di dalam bangunan hijau terintegrasi ini, diperlukan prasarana yang mendukung, seperti furniture, termasuk meja dan kursi. Meja yang dibuat menggunakan limbah plastik PE (Polyethylene), yang biasanya digunakan sebagai pembungkus makanan, dicacah menjadi bagian-bagian kecil dan disusun di atas papan seperti mozaik. Proses ini dilengkapi dengan bahan pengikat untuk memastikan kekuatan dan ketahanan. Setelah dirampungkan, permukaan meja dipernis agar tampak mengkilap dan halus, menjadikannya ramah lingkungan sekaligus estetis.
Sementara itu, untuk pembuatan kursi, limbah plastik PE juga dicacah menjadi partikel halus, kemudian dicampur dengan aditif seperti pewarna atau bahan penguat. Campuran ini dimasukkan ke dalam cetakan untuk membentuk kursi yang tidak hanya fungsional, tetapi juga menarik secara visual. Dengan demikian, penggunaan limbah plastik dalam pembuatan furniture tidak hanya mendukung keberlanjutan, tetapi juga meningkatkan nilai estetika dan kenyamanan di dalam bangunan hijau terintegrasi.
.
.
III. Kesimpulan: Menuju Masa Depan yang Berkelanjutan
Dengan fokus pada pendidikan, pengelolaan limbah plastik, dan pengembangan ekonomi kreatif, CLP diharapkan menjadi pusat pemberdayaan bagi semua anggota komunitas, serta mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-11, yaitu menciptakan kota dan komunitas yang berkelanjutan.
Rencana ini akan direalisasikan melalui serangkaian program konkret, seperti pelatihan pengelolaan limbah, workshop daur ulang, dan kursus untuk anak-anak dan orang dewasa. Dalam tahap implementasi, kita akan menjalin kemitraan dengan organisasi lokal dan lembaga pendidikan untuk menyediakan sumber daya dan tenaga pengajar yang berpengalaman. Selain itu, akan ada program insentif untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan daur ulang, seperti penyediaan fasilitas pengumpulan limbah plastik yang mudah diakses.
Kami juga akan mengadakan kampanye kesadaran lingkungan yang melibatkan anak-anak dan keluarga, menggunakan media sosial dan acara komunitas untuk menyebarluaskan informasi tentang pentingnya pengelolaan limbah. CLP akan menjadi tempat di mana masyarakat bisa berkolaborasi dalam proyek-proyek kreatif, seperti menciptakan produk dari limbah plastik yang dapat dipasarkan, sehingga dapat memperkuat ekonomi lokal.
Dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam setiap tahap, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, kita akan menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama terhadap lingkungan. Melalui kolaborasi dan inovasi, kita dapat bersama-sama menciptakan solusi yang efektif untuk tantangan lingkungan yang dihadapi saat ini. Mari kita wujudkan masa depan yang lebih baik, di mana keberlanjutan bukan hanya menjadi tujuan, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari kita. CLP akan menjadi fondasi bagi generasi mendatang dalam membangun kesadaran dan aksi nyata untuk menjaga Bumi kita, sekaligus mewujudkan komunitas yang lebih aman, inklusif, dan berkelanjutan sesuai dengan tujuan SDGs ke-11.
.
DAFTAR PUSTAKA
Alisjahbana, A. S., & Murniningtyas, E. (2021). Sustainable Transport, Sustainable Development. In Sustainable Transport, Sustainable Development. https://doi.org/10.18356/9789210010788
Artiani, G. P., & Handayasari, I. (2018). Penggunaan Serbuk Arang Tempurung Kelapa Ditinjau Terhadap Nilai Permeabilitas Tanah Sebagai Inti Bendung ( Studi Kasus Bendungan Gondang Karanganyar , Jawa Tengah ). Jurnal Konstruksia, 10, 1–8.
Gazal, A. A., & Gheewala, S. H. (2020). Plastics, microplastics and other polymer materials-A threat to the environment. By Journal of Sustainable Energy and Environment Journal of Sustainable Energy & Environment, 11, 113–122.
Gonzalez, D. D., Feit, S., & Azoulay, D. (2024). Plastic Polymers under the Full Life Cycle Approach.
Mwanza, B. G. (2021). Introduction to Recycling (Issue November). Springer Singapore. https://doi.org/10.1007/978-981-16-3627-1_1
Nugroho, F. T., Husaen, M. F., & Prabowo, E. W. R. (2017). Pembuatan Genteng Beton Berkonsep Eco-Friendly Materials Menggunakan Abu Sekam Padi dan Limbah Polyethylene Terephthalate (PET). Pusat Pengembangan Pendidikan Vokasi (PTM-PTB-PTIK), 75–83.
Widyawati, F., Bahtiar, S., Desiasni, R., Suhaimi, L., Yanuar, E., & Widiantara, I. P. (2023). Pelatihan Pembuatan Ecobrick Sebagai Upaya dalam Penanggulangan Sampah Plastik di SMKN 2 Sumbawa Besar. Bima Abdi: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 3(1), 22–29. https://doi.org/10.53299/bajpm.v3i1.262
.
.
.
Alhamdulillah, sangat mengedukasi 👍🏽
Sangat bagus dan menambah wawasan
Ide yang angat luar biasa, semoga bisa terwujud untuk pembangunan yang ramah lingkungan