Hutan Vertikal: Solusi Hijau Untuk Lingkungan Urban yang Berkelanjutan
Ditulis oleh Nur Ainina Susanti
Hutan Vertikal: Solusi Hijau Untuk Lingkungan Urban yang Berkelanjutan
Di tengah hiruk-pikuk urbanisasi yang merajalela, jejak karbon manusia semakin mencolok di setiap kota besar, termasuk Indonesia. Pertumbuhan populasi global yang diperkirakan mencapai 8,5 miliar pada 2030 dan naik lagi menjadi 9,7 miliar pada 2050 menurut laporan Prospek Populasi Dunia 2022, mencerminkan kebutuhan ruang hidup dan infrastruktur yang semakin mendesak. Di Indonesia, proyeksi serupa terlihat dengan Badan Pusat Statistik memperkirakan jumlah penduduk mencapai 328,93 juta jiwa pada tahun 2050, yang berarti peningkatan lebih dari 22% dari sensus 2020 yang mencatat populasi sebesar 269,58 juta jiwa. Sayangnya, peningkatan ini membawa dampak lingkungan yang kian parah, mulai dari peningkatan emisi karbon, polusi udara yang tak terkendali, hingga hilangnya lahan hijau.
Bukti nyata dari dampak ini terpampang di kota-kota besar seperti Jakarta, di mana kualitas udara sudah berada di tingkat berbahaya, mencatat indeks kualitas udara sebesar 155 AQI pada 2024, menurut IQAir. Dalam kategori ini, udara dianggap “tidak sehat” bagi semua kelompok usia. Pencemar utama berasal dari kendaraan bermotor, kegiatan industri, dan pembakaran sampah, yang menghasilkan partikel halus seperti PM2.5. Data tahun 2019 menunjukkan bahwa konsentrasi PM2.5 di Jakarta mencapai 42,2 µg/m³, empat kali lipat di atas batas tahunan aman WHO, yaitu 10 µg/m³, serta melampaui standar nasional yang ditetapkan dalam PP No. 41 Tahun 1999, yaitu 15 µg/m³.
Partikel PM2.5, yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar dan debu dari kegiatan konstruksi, merupakan ancaman bagi kesehatan. Mereka sangat kecil sehingga dapat masuk jauh ke dalam paru-paru, memicu gangguan pernapasan seperti asma, hingga penyakit jantung. Selain itu, dampak urbanisasi juga terlihat dalam bentuk penurunan lahan hijau, yang memicu fenomena pulau panas perkotaan (urban heat island). Menurut Tursilowati (2012), fenomena ini meningkatkan suhu kota secara signifikan, dan seiring urbanisasi, efek pemanasan global semakin parah. Dengan demikian, perlu adanya solusi arsitektur inovatif yang mampu menanggulangi masalah lingkungan ini—salah satunya adalah konsep hutan vertikal.
Hutan vertikal menjadi angin segar di tengah laju urbanisasi yang tak terkendali. Dalam dunia arsitektur hijau, konsep ini berfungsi untuk menanam pohon, semak, dan tanaman merambat di dinding atau balkon gedung bertingkat, sehingga menciptakan ruang hijau yang menjulang tinggi. Contoh inspiratif adalah “Bosco Verticale” di Milan, Italia, yang telah sukses membuktikan manfaat lingkungan dari konsep ini. Bosco Verticale terdiri dari dua menara apartemen yang didesain untuk menampung lebih dari 900 pohon, 5.000 semak, dan 11.000 tanaman penutup tanah, mampu menyerap polusi udara, menurunkan suhu, dan meningkatkan kualitas hidup penduduk kota. Dengan konsep ini, Milano berhasil menghadirkan solusi hijau yang tidak hanya estetis tetapi juga berfungsi ekologis, menjadikan Bosco Verticale sebuah contoh unggul bagi kota-kota di dunia yang tengah mencari solusi serupa.
Gambar 1. Bosco Verticale
Sumber: iStock
Di Indonesia, dengan keterbatasan lahan perkotaan yang terus berkembang, penerapan hutan vertikal dapat menjadi jawaban atas kebutuhan ruang hijau tanpa harus mengorbankan area yang luas. Konsep ini menawarkan manfaat yang jauh lebih besar daripada sekadar estetika. Menurut Nowak et al. (2014), tanaman memiliki kemampuan menyerap polutan seperti karbon dioksida dan memproduksi oksigen, yang sangat penting dalam kondisi kota-kota besar yang dipenuhi polusi. Vegetasi yang ditanam di hutan vertikal juga berfungsi sebagai penyerap panas, menurunkan suhu sekitar bangunan, dan dengan demikian mengurangi kebutuhan energi untuk pendinginan. Oberndorfer et al. (2007) mencatat bahwa vegetasi di sekitar bangunan dapat menurunkan suhu, yang berkontribusi pada pengurangan emisi karbon melalui pengurangan penggunaan energi.
Hutan vertikal, selain mendukung penyerapan karbon, juga meningkatkan keanekaragaman hayati di perkotaan. Penelitian oleh Aronson et al. (2014) menegaskan bahwa ruang hijau di perkotaan mampu menjadi habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna, yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan. Dengan menyediakan tempat tinggal bagi burung, serangga, dan spesies lain, hutan vertikal tidak hanya menciptakan lingkungan yang sejuk dan hijau tetapi juga menghidupkan kembali ekosistem yang hilang akibat pembangunan.
Implementasi dan Tantangan Hutan Vertikal di Indonesia
Implementasi hutan vertikal di Indonesia tentunya menghadapi tantangan, baik dari segi teknis, biaya, maupun edukasi masyarakat. Penerapan hutan vertikal memerlukan struktur bangunan yang kuat untuk menahan beban vegetasi. Jenis pohon yang ditanam juga harus dipilih dengan cermat, mengingat tidak semua jenis pohon cocok untuk tumbuh di lingkungan terbatas seperti balkon. Pohon yang dipilih harus memiliki ukuran kecil hingga sedang, dengan lingkar batang maksimal 50-80 cm dan tinggi sekitar 3-4 meter, agar tidak membebani bangunan.
Untuk penanaman pohon, beberapa jenis seperti pohon tanjung dan kiara payung menjadi pilihan ideal karena ukuran dan kemampuannya menyerap karbon yang tinggi. Jenis pohon ini bisa ditanam di balkon dengan ukuran yang bervariasi: balkon besar bisa menampung hingga 12 tanaman, sementara balkon kecil hanya cukup untuk 2-4 tanaman. Di bagian puncak gedung, biasanya disediakan lahan untuk menanam pohon buah seperti jambu air dan mangga, yang dapat tumbuh lebih besar dan membutuhkan ruang yang lebih luas. Selain pohon, tanaman seperti ivy, peace lily, dan dracaena yang dikenal mampu menyerap polutan menjadi pilihan ideal untuk menghijaukan hutan vertikal.
Keberhasilan hutan vertikal juga ditunjang oleh sistem irigasi dan perawatan yang baik. Di Bosco Verticale, sistem penyaringan air memungkinkan penggunaan kembali air limbah gedung untuk menyiram tanaman, sehingga penggunaan air dapat dioptimalkan. Irigasi berkelanjutan melalui teknologi irigasi tetes dan sistem pengumpulan air hujan dapat diterapkan di kota-kota besar di Indonesia yang seringkali menghadapi tantangan kekurangan air. Vallejo-Gómez et al. (2023) mengungkapkan bahwa teknologi pintar yang digunakan untuk manajemen vegetasi mampu mendukung penghematan air dan menjaga kesehatan tanaman melalui pemantauan kondisi tanaman secara real-time.
Perawatan hutan vertikal, selain membutuhkan teknologi, juga memerlukan keterlibatan penghuni gedung. Tanggung jawab untuk memantau dan merawat tanaman dapat ditangani secara kolaboratif oleh penghuni. Mereka tidak hanya berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan tetapi juga merasakan langsung dampak positif dari tinggal di lingkungan hijau yang sehat. Dengan demikian, konsep hutan vertikal membawa masyarakat perkotaan untuk lebih dekat dengan alam, menciptakan kesadaran kolektif akan pentingnya keberlanjutan lingkungan.
Manfaat Hutan Vertikal bagi Masyarakat dan Lingkungan
Hutan vertikal tidak hanya memberikan manfaat ekologis tetapi juga psikologis bagi masyarakat perkotaan. Kehadiran tanaman dan ruang hijau di sekitar tempat tinggal dan tempat kerja meningkatkan kualitas hidup dengan menyediakan udara bersih dan lingkungan yang lebih sejuk. Menurut penelitian, paparan terhadap alam, bahkan dalam bentuk ruang hijau kecil di perkotaan, dapat meningkatkan kesejahteraan mental, mengurangi stres, dan meningkatkan produktivitas. Dalam konteks yang lebih luas, hutan vertikal juga menambah nilai estetika bagi kota dan dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin melihat inovasi arsitektur hijau.
Dengan adopsi konsep ini, kota-kota di Indonesia dapat membangun reputasi sebagai kota yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, sebuah citra yang semakin penting dalam era modern yang sadar akan perubahan iklim. Selain itu, dengan penerapan hutan vertikal, Indonesia bisa berperan aktif dalam mengurangi emisi karbon global, sekaligus memberikan contoh nyata bagi negara-negara lain yang menghadapi masalah serupa.
Masa Depan Hutan Vertikal di Indonesia
Untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan urbanisasi yang semakin cepat, kota-kota besar di Indonesia harus segera merencanakan dan mengimplementasikan konsep hutan vertikal. Kebijakan yang mendukung arsitektur hijau, serta insentif bagi pengembang untuk menerapkan desain ramah lingkungan, akan menjadi langkah awal yang penting. Edukasi masyarakat mengenai manfaat hutan vertikal juga perlu digalakkan agar konsep ini dapat diterima dengan baik oleh semua lapisan masyarakat. Selain itu, kerja sama dengan arsitek dan pakar lingkungan diperlukan untuk memastikan bahwa desain hutan vertikal tidak hanya efektif secara estetika tetapi juga fungsional dalam jangka panjang.
Hutan vertikal bukan sekadar tren arsitektur, tetapi sebuah langkah nyata menuju masa depan yang lebih hijau. Di tengah keterbatasan lahan, hutan vertikal menawarkan solusi yang menjulang tinggi, menghadirkan keindahan dan kesejukan di tengah-tengah kota yang panas dan padat. Dengan menerapkan konsep ini, Indonesia dapat melangkah lebih dekat menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan, menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan layak bagi generasi mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Aronson, M. F. J., La Sorte, F. A., Nilon, C. H., Katti, M., Goddard, M. A., Lepczyk, C. A., … & Warren, P. S. (2014). A global analysis of the impacts of urbanization on bird and plant diversity reveals key anthropogenic drivers. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 281(1780), 20133330.
Badan Pusat Statistik. (2023). Penduduk Indonesia diproyeksi mencapai 328,93 juta pada 2050. Diakses dari https://dataindonesia.id/varia/detail/bps-penduduk-indonesia-diproyeksi-capai-32893-juta-pada-2050.
Halodoc. (2022). Mengenal 8 Tanaman yang Mampu Mengisap Polusi Udara. Diakses dari https://www.halodoc.com/artikel/mengenal-8-tanaman-yang-mampu-mengisap-polusi-udara?srsltid=AfmBOoqCRY7_MtyrH-ZXzjARozj-NalqKqSnA1PoHi5JQCzVlZfYCePF
IQAir. (2024). Kualitas udara di Jakarta. Diakses dari https://www.iqair.com/id/indonesia/jakarta?srsltid=AfmBOop2nDxz2iJ_gS2rzn0sS7iK9qjI8Rp5GpmlGlNaJJGbrL6z9CA3.
Nowak, D. J., Hirabayashi, S., Bodine, A., & Greenfield, E. (2014). Tree and forest effects on air quality and human health in the United States. Environmental Pollution, 193, 119-129.
Oberndorfer, E., Lundholm, J., Bass, B., Coffman, R. R., Doshi, H., Dunnett, N., Gaffin, S., Köhler, M., Liu, K. K. Y., & Rowe, B. (2007). Green roofs as urban ecosystems: Ecological structures, functions, and services. BioScience, 57(10), 823-833.
Tursilowati, L., Sumantyo, J. T. S., Kuze, H., & Adiningsih, E. S. (2012). Relationship between urban heat island phenomenon and land use/land cover changes in Jakarta-Indonesia. Journal of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences, 3(5), 701-706.
United Nations. (2022). Peluncuran Laporan Prospek Populasi Dunia 2022. Diakses dari https://indonesia.un.org/id/189877-peluncuran-laporan-prospek-populasi-dunia-2022.
Vallejo-Gómez, David & Osorio, Marisol & Hincapié, Carlos. (2023). Smart Irrigation Systems in Agriculture: A Systematic Review. Agronomy. 13. 10.3390/agronomy13020342.
Artikel yg sangat menarik berguna sebagai referensi urban farming….
Artikel yg sangat menginspirasi.