Development of a Bioluminescent Prototype Using Panellus stipticus for Ecologically Friendly Artificial Light at Night Solutions with Internet of Things Integration
Ditulis oleh Hanna Khonsaul Adibah
Pada pertengahan akhir abad ke-20, Artificial Light at Night (ALAN) menjadi segmen integral sebagai penerang jalan, bangunan, representasi budaya, dan instalasi infrastruktur serta aspek estetika lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Holker et al (2022) di bawah naungan Leibniz-Insitute of Freshwater Ecology and Inland Fisheries dan Leibniz Insitute for Zoo and Wildlife Research menyatakan bahwa pencahayaan buatan berupa ALAN mengalami eskalasi sebesar 6% pertahun (0-20% tergantung daerahnya) serta diperkirakan akan terus meningkat hingga 60% pada tahun 2030. Bahkan, pada tahun 2016, sekitar 23% permukaan bumi mengalami tingkat kecerahan yang secara dramatis melebihi ambang batas alami pencahayaan di malam hari (Falchi et al., 2016).
Ekspansi spektrum biru yang dihasilkan oleh ALAN ke lingkungan diwaspadai dapat menyebabkan polusi cahaya yang berdampak pada terganggunya ritme sikardian dalam nukleus suprachiasmaticus (SCN) makhluk hidup khususnya hewan nokturnal dan tumbuhan. Terganggunya ritme sikardian menimbulkan perubahan perilaku vital hewan di malam hari yang meliputi pola makan, migrasi, serta reproduksi dalam waktu berjenjang dengan kematian sebagai dampak paling fatal (Stewart., 2021). Hal tersebut didukung oleh penelitian Holker et al (2022) bahwa sebanyak 30% vertebrata dan 60% invertebrata termasuk setengah dari hampir 900.000 spesies insekta saat ini aktif di malam hari.
Padahal, sebanyak 85% tanaman budidaya dan sekitar lebih dari 90% dari 250.000 spesies tanaman berbunga membutuhkan penyerbukan oleh hewan. Selain itu, keanekaragaman spesies hewan nokturnal juga bekontribusi dalam menjaga kesuburan dan struktur tanah, meningkatkan penyerapan nutrisi tumbuhan, bahkan dapat berperan sebagai musuh alami hama pertanian. Sehingga, apabila degradasi perilaku hewan nokturnal penyerbuk tanaman dibiarkan terus menerus terjadi, maka agroekosistem beserta interaksi kompleks di dalamnya akan mengalami distraksi yang berdampak pada penurunan produksi pertanian dan krisis ketahanan pangan di masa depan (Knop et al., 2017). Di sisi lain, 35% cahaya yang dipancarkan oleh ALAN cenderung terbuang sia-sia akibat desain lampu yang buruk dan tidak adaptif terhadap lingkungan sekitar. Akibatnya, cahaya tersebut terhambur dengan molekul air, debu,dan gas di atmosfer yang dapat menimbulkan skyglow sehingga visibilitas bintang dan objek langit lainnya berkurang (Gaston et al., 2014).
Maka, berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya, digagaslah suatu desain prototipe sistem pencahayaan ALAN berbasis bioluminensi dengan memanfaatkan jamur Panellus stipticus. Dibandingkan sistem pencahayaan ALAN pada umumnya yang menghasilkan spektrum biru, prototipe ini lebih lanjut akan menghasilkan spektrum hijau yang ramah terhadap insekta dan hewan nokturnal sehingga dapat berkontribusi pada ketahanan agroekosistem. Selain itu, desain modular berupa kapsul dan kanopi yang cenderung menghadap ke bawah, disertai dengan beberapa sensor seperti sensor cahaya dan sensor gerak diharapkan dapat memberikan solusi pencahayaan ALAN yang cerdas, efisien, adaptif, ramah lingkungan, dan hemat energi.
Panellus stipticus sendiri merupakan jamur dari divisi Basidiomycota yang mempunyai tubuh buah berbentuk kipas dengan permukaan tudung memiliki bercak dan tepi tudung tidak bergaris. Bilah Panellus stipticus bercabang ke tepi dengan perlekatan bilah menempel. Panellus stipticus dapat hidup pada suhu berkisar antara 15-25º C yang cocok dengan iklim tropis Indonesia dengan suhu seringkali berada pada rentang tersebut. Selain itu, kelembapan optimum untuk pertumbuhan Panellus stipticus berada pada rentang 80-90%. Panellus stipticus berpotensi sebagai pencahayaan alami pada ALAN akibat panjang gelombang ideal yang dimilikinya. Panellus stipticus mempunyai panjang gelombang pada rentang 520-530 nm dengan spektrum cahaya hijau kebiruan yang lembut sehingga relatif ramah serta tidak berbahaya terhadap insekta malam. Cahaya yang dihasilkan oleh Panellus stipticus relatif konsisten tanpa membutuhkan perlakuan tertentu sehingga dapat diaplikasikan pada pencahayaan alami ALAN (Medvedeva et al., 2014).
Panellus stipticus dibiakkan pada media tumbuh kayu keras seperti serbuk kayu pohon sengon atau pohon karet yang mengandung lignoselulosa dan bahan organik tambahan sebagai nutrisi bagi jamur. Media biakan disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC selama 20 hingga 30 menit. Sterilisasi dengan suhu dan waktu yang telah disebutkan merupakan ketentuan optimal untuk mencegah kontamintasi mikroorganisme asing yang berisiko dapat mengganggu pertumbuhan jamur. Kemudian, media biakan didinginkan dan diinokulasi dengan spora atau misellium murni Panellus stipticus pada ruangan yang steril. Setelah itu, Panellus stipticus diinkubasi pada suhu optimal 20-25ºC hingga misellium menyebar dan jamur mulai menghasilkan tubuh buah (Singh et al., 2023).
Panellus stipticus yang telah menghasilkan tubuh buah dan bioluminensi aktif dipanen dengan memisahkan tubuh buah dari media biakan. Tubuh buah Panellus stipticus dipotong kecil-kecil untuk mempercepat proses ekstraksi partikel bioluminensi dan ditempatkan pada larutan buffer dengan pH 7-7,5. Proses peletakan Panellus stipticus pada larutan buffer dilakukan untuk melarutkan enzim dan substrat dari jaringan jamur. Potongan Panellus stipticus yang dilarutkan dalam larutan buffer diaduk secara merata supaya komponen bioluminensi dapat tersebar secara efektif. Setelah itu, dilakukan inkubasi pada suhu optimal 20-25ºC dan dalam kondisi gelap untuk menjaga stabilitas senyawa bioluminensi. Panellus stipticus dipisahkan dari larutan buffer menggunakan filtrasi mikro untuk mengasilkan ekstrak komponen aktif bioluminensi yang lebih murni. Apabila dibutuhkan, kofaktor dapat ditambahkan untuk meningkatkan intensitas cahaya pada jamur. Ekstrak Panellus stipticus disimpan pada wadah transparan sebagai sumber cahaya untuk ALAN (Medvedeva et al., 2014).
Fabrikasi ALAN diawali dengan pembuatan tiang menggunakan baja ringan setebal 3 mm dan tinggi 4 m serta diameter sebesar 8 cm. Kompartemen sebagai lampu berbentuk kanopi transparan yang telah terisi ekstrak cahaya Panellus stipticus dipasang pada lengan penyangga di ujung tiang dengan sudut 45º supaya distribusi cahaya tersebar secara optimal dan menjangkau area yang membutuhkan tanpa menyebar ke area yang tidak perlu. Hal ini turut meminimalkan polusi cahaya dan mengurangi risiko gangguan terhadap sistem ekologi di sekitar area ALAN.
Selain itu, dipasang pula sensor cahaya BH1750 menggunakan metode I2C di sekitar kompartemen lampu untuk mendeteksi perubahan cahaya di sekitar dengan pengaturan cahaya yang presisi. Sensor cahaya BH1750 diintegrasikan dengan IoT melalui modul ESP8266 yang akan mengirimkan data hasil pengukuran ke sistem kontrol berbasis cloud untuk memberi sinyal mengenai penyesuaian gelap-terangnya lampu (Bano et al., 2024). Di sekitar ALAN juga dilakukan pemasangan sensor pergerakan Passive Infrared Sensor (PIR) untuk mendeteksi perubahan radiasi inframerah yang dipancarkan oleh aktivitas manusia, hewan, maupun kendaraan. Sensor PIR mampu mendeteksi pergerakan dalam jangkauan 5 hingga 10 m. Sensor PIR dihubungkan dengan modul IoT untuk mengirimkan data pergerakan ke sistem kontrol guna mematikan atau meredupkan lampu apabila tidak ada gerakan yang terdeteksi, begitu pula sebaliknya (Fandriana et al., 2019).
Sumber daya ALAN diperoleh melalui panel surya monokristalin dengan daya 250 watt energi per hari. Panel surya ini memiliki tingkat konversi energi lebih tinggi dibandingkan panel surya lainnya. Energi yang dihasilkan oleh panel surya disimpan dalam baterai gel dengan kapasitas 50Ah. Baterai gel mempunyai ketahanan terhadap suhu dan siklus pengisian serta pengosongan sehingga cocok untuk ALAN yang membutuhkan cadangan daya dalam jangka waktu panjang. Akan tetapi, panel surya dan baterai gel harus terhubung dengan charge controller untuk mencegah terjadinya overcharging atau pengosongan baterai berlebihan.
Inovasi ini unggul dalam aspek keberlanjutan dan ramah lingkungan serta aman terhadap ekologi. Hal tersebut karena pencahayaan yang digunakan dalam ALAN ialah ekstraksi cahaya Panellus stipticus sehingga mengurangi emisi karbon akibat eksploitasi sumber daya fosil. Selain itu, bioluminensi yang digunakan relatif menghasilkan cahaya lebih lembut daripada spektrum lainnya sehingga tidak mengganggu sensitifitas cahaya yang dimiliki oleh insekta malam. Penggunaan panel surya dengan baterai gel berperan dalam menyediakan energi yang berkelanjutan guna menekan biaya operasional. Integrasi IoT juga memungkinkan otomatisasi pengendalian jarak jauh supaya efesiensi energi dapat dioptimalkan.
Beberapa rekomentasi lembaga dan institusi yang dapat melakukan kerja sama dengan inovasi ini ialah BRIN, KLHK, dan WWF Indonesia. BRIN berperan menjadi mitra dalam riset potensi inovasi terkait yang dapat membantu pengembangan teknologi pencahayaan secara berkelanjutan. Sedangkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dapat memberikan regulasi dan advokasi mengenai implementasi ALAN ramah lingkungan di Indonesia sebagai bentuk dukungan institusi. Sementara itu, World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia dapat menjadi mitra guna memastikan teknologi pencahayaan ini dapat berkontribusi terhadap pelestarian alam dan ekologi di Indonesia.
Harapan terhadap inovasi ini amat besar, terutama dalam menciptakan solusi pencahayaan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Melalui penggabungan bioluminensi jamur Panellus stipticus terintegrasi Internet of Things (IoT), diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, meminimalkan polusi cahaya, serta memberikan alternatif yang lebih aman bagi ekologi dan insekta. Inovasi ini juga diharapkan dapat mendorong pengembangan desain pencahayaan perkotaan yang lebih hijau dan efisien. Selain itu, integrasi IoT memungkinkan pengaturan intensitas cahaya secara otomatis dan adaptif yang menciptakan sistem pencahayaan dengan lebih responsif terhadap kebutuhan. Melalui dukungan dari berbagai pihak, seperti lembaga penelitian, pemerintah, dan sektor swasta terkait, diharapkan inovasi ini dapat terealisasi secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Bano TM, Gusti AW, Ni LPT, Made SW, Ketut P, Nengah S. 2024. Perancangan alat ukur intensitas cahaya menggunakan sensor BH1750 berbasis mikrokontroller ATMega328P. Kappa Journal 8(1): 95-101.
Falchi F, Pierantonio C, Christopher DE, David MK, Abraham H. 2021. Limiting the impact of light pollution on human health, environment, an stellar visibility. Journal of Environmental Management 92(1): 2714-2722.
Fandriana A, Soebroto, Pugirkhan Y. 2019. Rancangan motion director dengan sensor PIR dan kamera menggunakan arduino uno berbasis SMS gateway pada antenna distribution unit catalizer di Bandara Halim Perdanakusuma. Jurnal Ilmiah Aviasi Langit Biru 12(1): 19-29.
Holker F. 2022. Light polution reduction: methods to reduce the enviromental impact of artificial light at night. Handbook of Advanced Lighting Technology. Springer Publisher, Cham.
Knop E, Leana Z, Remo R, Christopher G, Maurin H, Colin F. 2017. Artificial light at night as a new threat to pollination. Journal of Nature 21(3): 7666-7677.
Medvedeva SE, Artemenko KS, Krivosheenko AA, Rusinova AG, Rodicheva EK, Puzyr AP, Bondar VS. 2014. Growth and light emission of luminous basidiomycetes cultivated on solid media and submerged culture. Mycosphere 5(4): 565-577.
Singh B, Mukul MB, Shivangi T, Vinay KM, Vanita CK, Aisha K, Shailendra K, Belle DS, Gopa B. 2023. Research in Mycology. Blue Duck Publications, Srinagar.
Stewart AJA. 2021. Impacts of artificial lighting at nigt on insect conservation. Insect Conservation and Diversity 14(2): 161-166.