Perancangan Produksi Green Hydrogen Tenaga Panas Surya Rendah Emisi Sebagai Solusi Efektif Permasalahan Dekarbonisasi di Indonesia
Ditulis oleh: Fauzan Bara Putra
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia telah mengambil komitmen untuk mencapai Net-Zero Carbon Emission (NZE) pada tahun 2060. Cita-cita ini sudah diimbangi keberadaan roadmap jalan transisi energi dan strategi menuju NZE 2060 sektor energi oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia. Sayangnya hingga tahun 2022, konsumsi energi primer Indonesia masih sangat didominasi oleh batubara. Dari perhitungan emisi CO2 berdasarkan IPCC, total proyeksi emisi CO2 dalam tiga skenario proyeksi energi lebih rendah dari target emisi dalam NDC untuk sektor energi (Kementrian ESDM, 2020). Hal ini mempertanyakan komitmen Indonesia untuk bertransisi ke energi terbarukan.
Sebagai negara terluas dan terpadat di ASEAN dengan sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki potensi tinggi untuk sumber daya energi terbarukan. Tenaga surya yang konstan sepanjang tahun, energi panas bumi yang melimpah, dan sumber energi ramah iklim lainnya seperti biogas dan biomassa mendukung potensi tersebut. Namun, intermittency adalah permasalahan besar pada penggunaan energi terbarukan. Sumber energi terbarukan tidak dapat diandalkan untuk menghasilkan energi sepanjang waktu karena terikat pada faktor cuaca. Oleh karena itu, diperlukan sistem penyimpanan energi yang baik untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan pada kondisi apapun.
Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah penggunaan hidrogen sebagai penyimpan energi terbarukan. Hidrogen dapat berperan sebagai penyimpanan energi jangka panjang pengganti baterai dengan kapasitas yang jauh lebih besar dan waktu penggunaan lebih panjang. Selain itu, hidrogen juga dapat berperan sebagai carrier energi untuk disalurkan melalui sistem perpipaan jarak jauh, penghubung antara sektor panas dan listrik, bahan bakar kendaraan, serta berperan sebagai reagent di beberapa industri.
Berdasarkan proses produksinya, hidrogen dapat dibedakan menjadi gray, blue, turquoise, pink, dan green hydrogen. Berbeda dengan jenis hidrogen lainnya, green hydrogen dihasilkan menggunakan energi terbarukan dengan emisi CO2 yang sangat rendah. Sayangnya, tingkat produksi green hydrogen di Indonesia masih sangat rendah dipengaruhi karena mahalnya biaya produksi. Metode
elektrolisis yang biasanya digunakan membutuhkan supply energi listrik yang tinggi. Oleh karena itu, mayoritas industri masih menggunakan gray hydrogen yang harganya murah tetapi menghasilkan emisi CO2 sangat tinggi. Thermochemical Water Splitting Cycles (TWSCs) adalah metode yang memanfaatkan energi panas matahari untuk memproduksi hidrogen. Penggunaan teknologi TWSCs bersama sistem Consentrated Solar Power (CSP) dan Thermal Energy Storage (TES) sebagai sumber dan penyimpan panas memungkinkan produksi green hydrogen berkelanjutan di Indonesia karena rata-rata Direct Normal Irradiation (DNI) yang dimiliki Indonesia khususnya pada daerah Nusa Tenggara mencukupi kebutuhan produksi hidrogen dengan siklus sulfur-iodine 24 jam setiap harinya..
B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dijawab pada penelitian ini adalah:
- Bagaimana metode proses produksi green hydrogen berkelanjutan di Indonesia yang efisien dari segi teknis dan ekonomi?
- Bagaimana kelayakan dan potensi Indonesia sebagai produsen hidrogen berkelanjutan?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini antara lain:
- Menganalisa metode produksi green hydrogen berkelanjutan dan efektif dengan produk yang dapat bersaing di pasaran.
- Menganalisa skenario proses produksi green hydrogen yang berkesinambungan dari sudut pandang analisis tekno-ekonomi.
PEMBAHASAN
.
A.Diagram Alir Penelitian
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
B. Tinjauan Pustaka
- Siklus Thermochemical
Thermochemical Water Splitting Cycles (TWSCs) adalah metode untuk memecah air menjadi hidrogen dan oksigen menggunakan sumber panas dan reaksi kimia. Dalam siklus ini, molekul air dipecah menjadi atom hidrogen dan oksigen melalui beberapa tahap reaksi kimia yang dibantu oleh sumber panas.
1.1 Jumlah Step Reaksi TWSCs
Terdapat metode dua, tiga, atau empat step TWSCs yang dapat dipilih sebagai metode pemecahan air. Meningkatnya kuantitas langkah berbanding lurus dengan kompleksitas sistem. TWSCs dua step biasanya membutuhkan suhu reaksi di atas 2000 K. Kebutuhan suhu dapat dikurangi hingga kurang dari 1200 K pada beberapa TWSCs tiga step,
dan kurang dari 800 K pada beberapa TWSC empat step. Pemilihan step reaksi harus disesuaikan dengan kesesuaian temperatur dari sumber panas CSP serta siklus yang dipilih.
Gambar 2. Klasifikasi TWSCs berdasarkan jumlah step reaksi (Sumber: Li et al., 2022)
1.2 Siklus Kimia
Terdapat beberapa siklus yang dapat digunakan untuk sistem TWSCs seperti S-I, Ge𝑂2/GeO, Ce𝑂2/𝐶𝑒2𝑂3, 𝐹𝑒3𝑂4/FeO, 𝑀𝑛3𝑂4/MnO,
𝐶𝑜3, dan sebagainya (Lampiran 1). Siklus S-I dan Zn/ZnO adalah siklus yang paling banyak diteliti. Seluruh siklus TWSCs memiliki kelebihan dan kekurangan yang unik. Tidak semua TWSCs cocok untuk desain terintegrasi dengan energi matahari.
2. Model Solar Thermal Collection and Storage
2.1 Teknologi Consentrated Solar Power (CSP)
Concentrated Solar Power (CSP) pada sistem ini berperan sebagai sumber energi bagi TWSCs. Oleh karena itu, harus ditentukan sistem pengumpulan panas matahari yang sesuai dengan sistem TWSCs dan lokasi pembangunan proyek. Berdasarkan cara pengumpulan panas matahari, CSP dapat dibedakan menjadi 4 tipe yaitu Linear Fresnel Reflector (LFR), Parabolic Trough Collector (PTC), Solar Power Tower (SPT), dan Solar Parabolic Dishes (SPD).
.
Gambar 3. Klasifikasi CSP berdasarkan sistem pengumpulan panas matahari (Sumber: Li et al., 2022)
PTC dan LFR adalah CSP dengan suhu kerja sedang dan tinggi sehingga memenuhi persyaratan suhu rendah dan menengah TWSCs. PTC memiliki kesiapan komersial yang tinggi, biaya lebih rendah, dan mudah untuk diterapkan pada skala besar. Mempertimbangkan persyaratan teknis untuk produksi hidrogen skala besar, PTC lebih cocok daripada LFR untuk integrasi dengan TWSCs. SPT dan SPD adalah CSP dengan rasio konsentrasi dan suhu kerja yang tinggi dan sangat tinggi. Suhu kerja kedua teknologi dapat mencapai di atas 800°C, sehingga memenuhi persyaratan suhu tinggi TWSCs. Sistem SPD memiliki keunggulan pemasangan yang fleksibel dan suhu kerja yang tinggi. Kerugiannya terletak pada kapasitas daya yang kecil pada tiap unitnya sehingga membutuhkan biaya yang lebih besar. Hal tersebut mengakibatkan SPT lebih sesuai untuk diintegrasikan dengan TWSCs.
2.2 Thermal Energy Storage (TES)
Thermal Energy Storage (TES) berperan sebagai sistem penyimpanan panas sehingga memungkinkan produksi hidrogen berkelanjutan skala besar. TES dapat dibagi menjadi sistem penyimpanan panas langsung dan tidak langsung. Penyimpanan panas langsung menggunakan jenis fluida perpindahan panas dan media penyimpanan panas yang sama, menghilangkan proses pertukaran panas antara bahan yang berbeda dan mengurangi biaya penukar panas. Penyimpanan panas tidak langsung harus memerhatikan pemilihan fluida perpindahan panas.
.
Gambar 3. Klasifikasi TES untuk penyimpanan (a) langsung dan
(b) tidak langsung (Sumber: Li et al., 2022)
3. Analisis Teknis Integrasi
Dilakukan untuk mengintegrasikan kemampuan dan klasifikasi tiap bagian menjadi kesatuan proses untuk menghasilkan produksi green hydrogen yang efektif dan efisien.
4. Analisis Ekonomi
Analisis ekonomi dilakukan untuk memeriksa kelayakan ekonomi proyek.
4.1 Menghitung Biaya Investment
Biaya modal proyek adalah biaya yang dikeluarkan untuk memulai suatu proyek, termasuk biaya untuk membeli tanah, peralatan, dan perlengkapan, mengurus perizinan, membangun fasilitas, dan memasang utilitas. Biaya modal ini dicatat sebagai pengeluaran di tahun 0 alir kas.
4.2Menghitung Biaya Operasi dan Pemeliharaan
Biaya operasi tahunan proyek didominasi oleh biaya tetap (fixed cost) karena tidak ada biaya yang bergantung kepada produksi hidrogen yang dihasilkan.
4.3 Menghitung Levelized Cost of Hydrogen (LCOH)
LCOH adalah metode untuk menghitung biaya produksi hidrogen yang mencakup seluruh biaya modal dan operasi. Metode ini memungkinkan rute produksi hidrogen yang berbeda untuk dibandingkan dengan cara yang serupa. Perhitungan LCOH dilakukan melalui rumus pada Lampiran 3.
5. Analisis Kelayakan
Melakukan perancangan lokasi, timeline, manajemen resiko, indikator kinerja utama, serta dampak untuk mengkalkulasikan kelayakan proyek selama rentang waktu 20 tahun. Hasil analisis kelayakan akan menjadi tolak ukur kesiapan proyek untuk diimplementasikan.
C. Hasil dan Diskusi
- Desain Sistem Keseluruhan
1.1 Detail Model
Tabel 1. Detail pemilihan komponen
.
Komponen | Jenis |
Siklus Thermochemical | |
Jumlah Step Reaksi | Three Step |
Siklus | Siklus S-I (Sulfur – Iodin) |
Model Solar Thermal Collection and Storage | |
. Teknologi CSP |
Parabolic trough collector dan solar power tower |
TES | Molten salt |
1.2 Reaksi Kimia Utama
Terdapat tiga reaksi kimia utama pada produksi green hydrogen
siklus S-I yaitu
Sulfur dan yodium didaur ulang dan membentuk zat antara reaksi seperti asam sulfat dan asam hidroiodik (HI). Pers. (1) merupakan reaksi dekomposisi asam yang terjadi pada suhu sekitar 850°C. Reaksi ini menghasilkan reaktan untuk reaksi bunsen (Pers. (2)), di mana asam
sulfat dari reaksi Bunsen didekomposisi menjadi air, oksigen, dan sulfur dioksida.
Pers. (2) merupakan reaksi Bunsen eksotermik yang berlangsung pada suhu sekitar 120°C. Air, sulfur dioksida, dan iodin akan direaksikan sehingga menghasilkan asam sulfat dan HI. HI diproses melalui reaksi dekomposisi HI (Pers. (3)) sehingga menghasilkan hidrogen. Reaksi ini berlangsung pada suhu 300°C (Cumpston et al., 2020).
1.3 Desain Operasi Proses Kontinu
Proyek ini dirancang untuk beroperasi selama 24 jam walaupun pasokan energi matahari tidak berlangsung sepanjang waktu. Terdapat dua mode operasi yaitu operasi siang hari selama 8 jam (08.00 – 16.00) dan operasi malam hari selama 16 jam (16.00 – 08.00).
.
Gambar 4. Diagram Proses Operasi Kontinu Proyek
Gambar 4 menunjukkan flowsheet proses yang menggambarkan aspek desain untuk memastikan operasional secara berkelanjutan dari siklus S-I.
- Penyimpanan SO2: Tangki silinder menerima sulfur dioksida di outlet bagian dekomposisi asam. Sulfur dioksida yang disimpan digunakan dalam reaksi Bunsen ketika sistem CSP dan bagian dekomposisi asam offline pada malam hari.
- Penyimpanan H2SO4: Tangki silinder menerima asam sulfat di outlet bagian konsentrasi asam. Asam sulfat disimpan ketika bagian dekomposisi asam sedang offline.
- Thermal energy storage: Dua tangki garam cair memasok energi panas ke dekomposisi HI dan bagian konsentrasi asam secara terus
- menerus pada malam hari. Reaksi Bunsen tidak memerlukan energi panas karena bersifat eksotermik.
- Solar tower: Menara surya dengan medan heliostat terarah, menara memasok panas proses yang diperlukan ke bagian dekomposisi asam pada siang hari.
- Solar parabolic trough: Bidang besar yang memasok energi panas ke tangki panas garam cair
- Penyimpanan H2O: Tangki silinder menerima air dari bagian dekomposisi asam dan dari luar sistem. Tangki air bertindak sebagai penyangga untuk menyimpan air yang dihasilkan dari bagian dekomposisi asam yang dioperasikan secara intermittent.
- Switch: Switch diterapkan pada beberapa aliran proses untuk menunjukkan aliran yang dapat beroperasi sebentar-sebentar karena batas operasional temporal dari pasokan energi panas.
2.Desain Sistem Thermal Energy Supply (TES)
Solar Tower menyediakan panas suhu tinggi yang dibutuhkan oleh bagian dekomposisi asam. Parabolic trough system menyediakan panas proses suhu rendah yang dibutuhkan oleh bagian dekomposisi HI.
2.1 Sistem Parabolic
Sistem Parabolic berkapasitas 113 MWth sesuai dengan iradiasi matahari (Lampiran 5) dan parameter plant (Lampiran 6). Bagian ini dimodelkan dalam perangkat lunak Systen Advidor Model (SAM) NREL. Heat transfer fluid (HTF) yang dipilih adalah garam cair, yang memungkinkan suhu outlet lebih tinggi dibandingkan dengan media lain seperti thermal oil.
2.2 Sistem Solar Tower
Gambar 5. Tata letak Heliostat untuk Sistem Solar Tower
(Sumber: Cumpston et al., 2020)
Tata letak bidang heliostat dioptimalkan untuk meminimalkan total biaya investasi yang terdiri dari biaya menara, penerima, cermin, dan tanah. Tata letak bidang yang dioptimalkan digambarkan pada Gambar 5. Tata letak ini terarah karena geometri rongga penerima membatasi sudut penerimaannya.
3. Desain Plant
3.1 Bagian Konsentrasi Asam
Bagian ini berfungsi untuk memurnikan asam sulfat yang berasal dari reaksi Bunsen dari 57%wt menjadi 98%wt. Proses ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan korosi dalam tangki penyimpanan. Gambar 6 menjelaskan proses pada bagian ini.
Gambar 6. PFD Bagian Konsentrasi Asam (Sumber: Cumpston et al., 2020)
3.2 Bagian Dekomposisi Asam
Bagian ini berfokus pada dekomposisi asam sulfat pekat menjadi sulfur dioksida dan air. Proses ditunjukkan pada gambar 7 menggunakan reaktor suhu tinggi yang dialiri dengan udara panas dari sistem CSP.
Gambar 7. Proses Flowsheet Bagian Dekomposisi Asam (Sumber: Cumpston et al., 2020)
4. Analisis Ekonomi
Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 4, produk yang dihasilkan menggunakan metode pada proyek ini menghasilkan price gap sebagai berikut
Tabel 2. Perhitungan price gap
.
No | Komponen | Harga |
1 | Harga produksi green H2 di Indonesia saat ini | Rp82.500,00 |
2 | LCOH | Rp16.265,00 |
Price gap | 80.28% |
.
Perhitungan dan analisis ekonomi yang dilakukan dengan hasil price gap sebesar 80.2% membuktikan bahwa metode ini layak diterapkan dan menguntungkan dari segi ekonomi bagi produksi masa depan green hydrogen di Indonesia.
5. Analisis Teknis
Proyek ini diproyeksikan dapat menurunkan 110 Mt emisi CO2 tiap tahunnya (Lampiran 11). Dekarbonisasi tersebut dihasilkan dari produksi 11 Mt H2 dengan energi panas 193 MW yang didapatkan melalui CSP untuk memenuhi seluruh kebutuhan energi. 80 MW dihasilkan dari sistem power tower yang digunakan untuk menggerakkan reaktor dekomposisi asam. Panas yang tersisa (113 MW) dipasok oleh sistem parabolic trough dan digunakan untuk meningkatkan konsentrasi asam, pemisahan sulfur dioksida, dan dekomposisi HI. Kebutuhan panas spesifik yang dihitung untuk bagian proses yang dipertimbangkan tercantum dalam Lampiran 7. Efisiensi solar-to-heat dari sistem menara surya dan sistem palung parabola masing-masing 30,6% dan 69,4% (diambil dari Visual HFLCAL dan SAM). Angka tersebut menghasilkan efisiensi solar-to-hydrogen sebesar 6,0% yang tergolong cukup besar dibandingkan teknologi PV lainnya.
6. Analisis Kelayakan
6.1 Perancangan Lokasi
Sesuai dengan kebutuhan tingkat iradiasi surya, proyek ini dapat dibangun di daerah Nusa Tenggara Timur (Lampiran 8). Penentuan lokasi ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh (Rijanto, 2013) sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Penelitian dilakukan melalui pengembangan teknologi PT dengan TES tangki ganda skala pilot. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa daerah NTT memiliki potensi untuk diterapkan teknologi CSP.
6.2 Timeline
Dengan proyeksi timeline yang diharapkan dalam tabel (Lampiran 9), solusi ini dapat memangkas hingga 110 Mt CO2 mulai tahun 2024.
6.3 Manajemen Risiko
Penilaian risiko dianalisis untuk meminimalkan risiko bahaya dalam operasi penerapan solusi ini, serta perencanaan mitigasi risiko untuk mencegah bahaya. Penilaian risiko dapat dilihat pada Lampiran 10.
6.4 Indikator Kinerja Utama
Indikator kinerja utama digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan dalam solusi ini yang diterapkan dalam 3 tahun. Proyeksi ini digunakan sebagai target obyektif dari strategi implementasi dan dapat dilihat pada Lampiran 12.
KESIMPULAN
A.Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat ditarik adalah
- Faktor penyinaran sepanjang tahun dan tingginya DNI membuat Indonesia berpotensi sebagai produsen green hydrogen metode TWSCs dengan sistem penerima panas CSP model parabolic trough collector dan solar power tower serta sistem penyimpan panas molten salt.
- Pemodelan produksi hidrogen dengan siklus S-I menghasilkan sistem yang efisien sehingga dapat mencapai total produksi 11 Mt hidrogen setiap tahunnya dengan harga 80.2% lebih murah dibandingkan harga hidrogen rata-rata di Indonesia.
- Produksi green hydrogen ini dapat mengurangi emisi CO2 akibat produksi gray hydrogen hingga 110 Mt CO2 setiap tahunnya.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, saran yang dapat dilakukan adalah
- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesesuaian kesediaan lahan dengan kebutuhan lahan pembangunan proyek
- Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan persen konversi hidrogen dengan berbagai siklus maupun penambahan katalis
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS). (2023). Nilai ekspor dan impor hidrogen Indonesia 2023. https://www.bps.go.id
Bennett, S., Alonso, A. P., Pavan, F., Greenfield, C., Fajardy, M., & Evangelopoulou, S. (2023). Towards hydrogen definitions based on their emissions intensity. International Energy Agency. https://doi.org/10.1787/44618fd1-en
Boretti, A. (2022). Which thermochemical water-splitting cycle is more suitable for high-temperature concentrated solar energy? International Journal of Hydrogen Energy, 47(47), 20462–20474. https://doi.org/10.1016/j.ijhydene.2022.04.159
Cumpston, J., Herding, R., Lechtenberg, F., Offermanns, C., Thebelt, A., & Roh,
K. (2020). Design of 24/7 continuous hydrogen production system employing the solar-powered thermochemical S–I cycle. International Journal of Hydrogen Energy, 45(46), 24383–24396. https://doi.org/10.1016/j.ijhydene.2020.05.185
ESMAP, & Solargis. (2021). Global Solar Atlas. https://globalsolaratlas.info/map?c=-9.988246,123.323844,8&s=-10.144286,12 4.281973&m=site
Google. (n.d.). Google maps. https://www.google.com/maps/place/Nusa+Tenggara+Tim.
IESR (2022). Green Hydrogen in Indonesia: Stakeholders, Regulations and Business Prospects. Institute for Essential Services Reform.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). (2020). Indonesia energy outlook 2019.
https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-indonesia-energy-outlook
-2019-english-version.pdf
Khan, H. A., Jaleel, A., Mahmoud, E., Ahmed, S., Bhatti, U. H., Bilal, M., & Hussain. (2021). Development of catalysts for sulfuric acid decomposition in the sulfur–iodine cycle: A Review. Catalysis Reviews, 64(4), 875–910. https://doi.org/10.1080/01614940.2021.1882048
Li, X., Sun, X., Song, Q., Yang, Z., Wang, H., & Duan, Y. (2022). A critical review on integrated system design of solar thermochemical water-splitting cycle for hydrogen production. International Journal of Hydrogen Energy, 47(79), 33619–33642. https://doi.org/10.1016/j.ijhydene.2022.07.249
Liberatore, R., Lanchi, M., Giaconia, A., & Tarquini, P. (2012). Energy and Economic Assessment of an industrial plant for the hydrogen production by water-splitting through the sulfur-iodine thermochemical cycle powered by concentrated solar energy. International Journal of Hydrogen Energy, 37(12), 9550–9565. https://doi.org/10.1016/j.ijhydene.2012.03.088
Mehrpooya, M., Ghorbani, B., Ekrataleshian, A., & Mousavi, S. A. (2021). Investigation of hydrogen production by sulfur‐iodine thermochemical water splitting cycle using renewable energy source. International Journal of Energy Research, 45(10), 14845–14869. https://doi.org/10.1002/er.6759
Rijanto, E., Aiman, S., & Santoso, A. (2013). Development of CSP plants in wallacea region: Solar Intensity Resource Assessment and CSP plant design specification. Energy Procedia, 32, 232–241. https://doi.org/10.1016/j.egypro.2013.05.030
Safari, F., & Dincer, I. (2020). A review and comparative evaluation of thermochemical water splitting cycles for hydrogen production. Energy Conversion and Management, 205, 112182.
https://doi.org/10.1016/j.enconman.2019.112182
Yilmaz, F., & Selbaş, R. (2017). Thermodynamic performance assessment of solar based sulfur-iodine thermochemical cycle for hydrogen generation. Energy, 140, 520–529. https://doi.org/10.1016/j.energy.2017.08.121