Efisiensi Energi Melalui Bangunan: Integrasi Phase Change Material dalam Beton untuk Bangunan Hijau

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 34

Ditulis oleh Rezwa Putri Perdani.

Bangunan hijau merupakan bangunan yang ramah terhadap lingkungan, baik itu dalam tahap perancangan, pembangunan dan pengoperasiannya. Bangunan Hijau menilai bangunan berdasarkan standar yang ditetapkan oleh GREENSHIP. Dimana terdapat 6 kategori yang menentukan apakah bangunan tersebut termasuk bangunan hijau atau tidak. Kategori tersebut diantaranya adalah Tepat Guna Lahan, Efisiensi dan Konservasi Energi, Konservasi Air, Sumber dan Siklus Material, Kesehatan dan Kenyamanan dalam Ruangan, dan Manajemen Lingkungan Bangunan (Kamil dan Rahman, 2023).

Kebutuhan bangunan hijau kini semakin penting untuk mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, keterbatasan sumber daya, dan kerusakan lingkungan. Perubahan iklim dikarenakan adanya emisi CO2 di lapisan atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca yang menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi. Bangunan hijau dapat mengurangi emisi karbon, yang membantu memperlambat perubahan iklim, dan mengurangi konsumsi energi dan air dengan menggunakan bahan dan teknologi yang efisien.

Bangunan hijau memiliki peran penting dalam mendukung Sustainable Development Goals (SDGs). Dimana SDGs memiliki 17 tujuan yang saling terhubung demi mencapai target emisi nol pada tahun 2030. Dua tujuan utama yang berkaitan dengan bangunan hijau adalah SDG 7 yaitu Energi Bersih dan Terjangkau dan SDG 13 yaitu Aksi Iklim. SDG 7 berfokus pada peningkatan akses energi yang ramah lingkungan dan efisien. Dimana bangunan hijau ini dapat menjadi solusi untuk mengurangi konsumsi energi. Dan SDG 13 menekankan pada tindakan nyata untuk dekarbonisasi ataupun pengurangan karbon di berbagai sektor sehingga dapat menanggulangi perubahan iklim.

Perancangan bangunan yang sesuai dengan iklim tropis yang dimiliki Indonesia sangat penting untuk mengurangi pemakaian energi terutama dari pendingin ruangan. Dimana dapat dilakukan desain pasif bangunan, dimana desain pasif bangunan merupakan cara perancangan dengan meminimalkan beban pendinginan dengan mengurangi panas sinar matahari yang masuk sehingga beban pendinginan ruangan berkurang sehingga pada akhirnya pemakaian listrik juga berkurang (Chandra dan Purwanto, 2022).

Berdasarkan prinsip arsitektur hijau dan energi pasif, maka respon rancangan terhadap analisis pergerakan udara adalah Penempatan bukaan dominan pada sisi barat dan utara, Tatanan massa disesuaikan dengan aliran udara agar penghawaan alami lebih efisien dan Penataan vegetasi sebagai pengarah aliran udara. Sedangkan respon terhadap analisis lintasan matahari adalah Penyesuaian orientasi bangunan terhadap arah matahari agar bidang yang terpapar tidak terlalu besar, Penempatan bukaan yang strategis agar hunian mendapatkan cahaya matahari berlimpah dan Pemilihan model atau jenis bukaan pada hunian yang dapat mengatasi panas yang diterima namun tetap menerima cahaya masuk (Nugraha dkk., 2023).

Desain bangunan dapat mempengaruhi efisiensi energi dan penggunaan sumber daya lainnya. Efisiensi energi pada bangunan adalah kemampuan bangunan untuk menggunakan energi secara efisien dan mengurangi konsumsi energi yang tidak perlu, sehingga dapat mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan. Penggunaan teknologi maju secara aktif dan pasif dapat mendukung untuk efisensi energi dan mengurangi konsumsi energi. Penggunaan material inovatif seperti Phase Change Material (PCM) dan aerogel dapat dikombinasikan dengan material tradisional (Belussi et al., 2019 dalam Hendrawati, 2023).

Phase Change Material (PCM) merupakan bahan penyimpanan energi dengan densitas penyimpan energi termal lebih tinggi dan mampu menyerap atau melepaskan sejumlah besar energi pada suhu konstan dengan mengalami perubahan fasa. Phase Change Material (PCM) dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Phase Change Material (PCM) organik, anorganik, dan campuran senyawa eutektik dapat menghasilkan suhu perubahan fasa yang berbeda (Chrisraftiano dkk., 2023).

Phase Change Material (PCM) dapat berasal dari material organik seperti parafin, asam lemak, hingga gula alkohol. (Kosny et al., 2013 dalam Setiawan dan Sari, 2023). Phase Change Material (PCM) juga dapat berasal dari material anorganik seperti logam atau garam hidrat. Sebagian Phase Change Material (PCM) memiliki sifat yang transparan pada fasa cair dan translucent pada fasa padat (Setiawan dan Sari, 2023).

Optimalisasi energi yang diperlukan untuk mendinginkan ruangan telah terbukti melalui peningkatan kapasitas penyimpanan energi termal dari lapisan bangunan dan penambahan Phase Change Material (PCM) pada material konstruksi. Umumnya, energi termal disimpan dalam bentuk panas sensibel pada material bangunan seperti batu bata, beton, semen, dan kayu (Al-Yasiri and Szabó, 2021 dalam Elhamy and Mokhtar, 2024). Dengan mengalami perubahan fase pada suhu yang relatif konstan, bahan penyimpan panas laten mampu menampung energi termal secara efektif. Oleh karena itu, menambahkan Phase Change Material (PCM) ke dalam elemen bangunan membantu mengatur kenyamanan termal di dalam ruangan sekaligus meningkatkan kapasitas material dalam menyimpan panas (Rathore et al., 2022 dalam Elhamy and Mokhtar, 2024).

Kombinasi bahan bangunan dan Phase Change Material (PCM) adalah cara yang efisien untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan energi termal pada komponen bangunan. Teknik penggabungan dengan enkapsulasi-Phase Change Material (PCM) bentuk komposit adalah metode yang paling sederhana, praktis dan ekonomis. Phase Change Material (PCM) dimasukkan ke dalam bahan bangunan dengan metode yang berbeda tapi yang paling menjanjikan dengan cara penggabungan langsung, perendaman dan enkapsulasi (Umar, 2020).

Metode penggabungan langsung dilakukan dengan menggabungkan Phase Change Material (PCM) dalam bentuk cair atau bubuk dengan bahan konstruksi seperti beton dan telah ditemukan beton penyimpan energi panas untuk konservasi energi dalam fondasi bangunan. Tetapi metode ini memiliki kekurangan yaitu Phase Change Material (PCM) dapat berinteraksi langsung dengan bahan bangunan dan adanya risiko bocor yang dapat menyebabkan pencemaran. Sedangkan metode enkapsulasi dapat mencegah terjadinya kebocoran tersebut dan mencegah interaksi langsung dengan bahan bangunan.

Penelitian menjelaskan bahwa penggunaan enkapsulasi Phase Change Material (PCM) pada batako berongga dapat menurunkan konduktivitas termal hingga 19,5%, dan untuk penggunaan Phase Change Material (PCM) dalam box pada dinding bagian dalam dapat menurunkan temperatur permukaan dinding bagian dalam hingga 30 derajat celcius. Sedangkan penyimpanan energi dingin mengunakan Phase Change Material (PCM) sangat baik diaplikasikan pada bangunan karena memiliki suhu lebur yang baik. Berdasarkan studi numerik dan eksperimen yang dilakukan, penggunaan Phase Change Material (PCM) pada bangunan dapat mengurangi beban puncak AC (Ariwibowo dkk., 2022).

Penggunaan Phase Change Material (PCM) dalam bangunan memiliki beberapa kelemahan diantaranya biaya produksi yang mahal karena belum diproduksi secara besar, kompatibilitas dan stabilitas yang masih bervariasi, lalu adanya risiko degradasi sehingga dapat mempengaruhi keamanan bangunan lalu ketahanannya untuk digunakan secara berkelanjutan.

Untuk saat ini, yang mempunyai sifat paling unggul diantara ketiga kategori Phase Change Material (PCM) adalah campuran senyawa eutektik diantara Phase Change Material (PCM) organik dan anorganik. Dimana Phase Change Material (PCM) organik memiliki konduktivitas termal yang lemah yang dapat menyebabkan risiko kebakaran yang tinggi lalu Phase Change Material (PCM) anorganik memiliki sifat korosif dan tidak stabil secara termal. Tetapi Phase Change Material (PCM) dengan campuran senyawa eutektik ini memiliki kekurangan diantaranya titik liburnya berada pada suhu 16-26 derajat celcius sehingga kurang nyaman digunakan sebagai material bangunan.

Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk meningkatkan stabilitas dan daya tahan Phase Change Material (PCM) dalam bangunan sehingga dapat diterapkan pada bangunan sehingga dapat mengurangi konsumsi energi yang dapat menurunkan emisi CO2 di udara. Pemerintah maupun instansi lainnya juga dapat memberikan dukungan kepada peneliti dalam mengembangkan Phase Change Material (PCM) yang lebih baik lagi kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ariwibowo, A., Irsyad, M., dan Amrul. 2022. Kajian Eksperimental Penggunaan PCM Berbasis Minyak Kelapa Untuk Mengurangi Beban Termal AC Sebagai Upaya Penghematan Energi. MOTIVECTION:Journal of Mechanical, Electrical and Industrial Engineering. 4(1):35-44.

Chandra, B., dan Purwanto, L. M. F. 2022. Korelasi Pemahaman Green Building (Bangunan Gedung Hijau/Arsitektur Hijau) Terhadap Penerapan Desain Arsitektur di Era Digital. JoDA-Journal of Digital Architecture. 1(2):72-78.

Chrisratiano, D., Fitri, S. P., dan Wardhana, E. M. 2023. Analisis Kinerja Sistem Refrigerasi Hybrid Menggunakan Phase Change Material pada Eco Reefer Container Kapasitas ½ Ton. Jurnal Teknik ITS. 12(3):158-164.

Elhamy, A. A., and Mokhtar, M. 2024. Phase Change Materials Integrated Into the Building Envelope to Improve Energy Efficiency and Thermal Comfort. Future Cities and Environment. 10(1):1-16.

Hendrawati, D. 2023. Peran dan Peluang Selubung Bangunan dalam Efisiensi Energi pada Banguan Hijau. Seminar Karya & Pameran Arsitektur Indonesia 2023. 6(2):8-17.

Kamil, M.S., dan Rahman, A. 2023. Bangunan Hijau pada Pusat Tanaman Hias di Kota Rantau. Jurnal Tugas Akhir Mahasiswa Lanting. 12(1):75-84.

Nugraha, B., Mulyadi, R., Ishak, R. A., Martosenjoyo, T., Beddu, S.,dan Dahniar. 2023. Apartemen Hijau dengan Pendekatan Pasif di Kota Makassar. Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI). ISSN 2986-173X. https://doi.org/10.32315/ti.11.d009.

Setiawan, L., dan Sari, W. E. 2023. Implementasi Phase Change Material pada Double Skin Facade sebagai Upaya Mencapai Kenyamanan Termal Ruang dalam Bangunan pada Konteks Kota Bandung. Jurnal RISA (Riset Arsitektur). 7(1):16-30.

Umar, H. 2020. Penggunaan Material Berubah Fasa Sebagai Penyimpan Energi Termal pada Bangunan Gedung. Jurnal Polimesin. 18(2):105-115.

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 3.7 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 3

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment