GRASP : Inovasi Atap Hijau Ramah Lingkungan Berbasis Sensor Kualitas Udara untuk Konstruksi Berkelanjutan Di Perkotaan
Ditulis oleh Febi Febianti
PENDAHULUAN
Berdasarkan data world bank (2023), Indonesia tercatat menyumbang sekitar 2,3% dari emisi CO₂ global, menempatkannya di antara negara pengemisi tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Emisi per kapita di Indonesia tercatat sekitar 2,3 ton per orang, dengan emisi di sektor listrik dan industri yang masih tinggi. Emisi karbon yang tinggi ini disebabkan oleh pesatnya pembangunan dan urbanisasi. Menurut analisis Special Report on Emission Scenarios (SRES) dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), urbanisasi dan pertumbuhan populasi suatu wilayah dapat mengubah pola penggunaan lahan dan energi, yang berkontribusi pada peningkatan emisi karbon (Maria, 2021).
Urbanisasi yang pesat di kota-kota besar mendorong pembangunan infrastruktur secara masif untuk memenuhi kebutuhan hunian, transportasi, dan ruang komersial. Bangunan di perkotaan yang berukuran besar dan tidak dirancang dengan prinsip ramah lingkungan, menjadi sumber utama emisi karbon (Pihawiano et al., 2024). Sektor bangunan ini menghasilkan karbon tinggi yang diperoleh dari material konstruksi utama dalam bangunan berupa beton dan baja. Penggunaan bahan ini pada elemen-elemen struktural bangunan, termasuk atap, berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon karena tingginya kandungan karbon tertanam (embodied carbon) (Uda, 2021). Berdasarkan data dari AECOM (2020), komponen bangunan seperti struktur atap menyumbang lebih dari 60% emisi karbon tertanam pada konstruksi baru.
Emisi karbon tertanam dalam bangunan meliputi seluruh siklus hidup material, mulai dari produksi hingga pemasangan. Beton, yang banyak digunakan, memerlukan energi tinggi untuk menghasilkan semen melalui pembakaran batu kapur, yang melepaskan banyak CO₂ (Marzuky and Jogaswara, 2001). Baja juga berkontribusi besar karena proses produksinya melibatkan tanur tinggi (blast furnace) yang membutuhkan suhu sangat tinggi, yang dicapai dengan pembakaran kokas. Reaksi kimia dalam proses ini menghasilkan karbon dioksida sebagai produk sampingan (Kartika, 2021). Karena struktur atap memerlukan volume material yang kokoh dan berat untuk memastikan kekuatan dan stabilitas, pemilihan material ini menyumbang sebagian besar emisi karbon tertanam dalam proyek bangunan (Hartono et al., 2016)
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis menarik analisis solusi yang dapat diterapkan yaitu GRASP, konsep atap hijau ramah lingkungan yang dilengkapi dengan teknologi sensor untuk mendukung konstruksi berkelanjutan di perkotaan. Atap hijau ini memanfaatkan tanaman dan material yang ramah lingkungan guna mengurangi indeks emisi karbon. Dengan tambahan sensor kualitas udara, sistem ini dapat memantau polusi secara real-time dan menyediakan data lingkungan yang mendukung pengelolaan kota yang lebih hijau. Hal ini akan mewujudkan bangunan hijau dan bangunan cerdas sebagai solusi terhadap tantangan lingkungan yang harus dihadapi saat ini.
PEMBAHASAN
Atap yang tidak dirancang secara berkelanjutan sering kali tidak mampu mengelola suhu dengan baik, sehingga meningkatkan beban pendinginan dan pemanasan bangunan. Akibatnya, konsumsi energi menjadi lebih tinggi, yang umumnya dipenuhi oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil, menciptakan siklus yang memperburuk emisi karbon (Haykal and Lissimia, 2021). Untuk menurunkan tingkat emisi karbon di Indonesia, sangat penting untuk menerapkan inovasi yang tepat pada struktur atap bangunan, terutama di kawasan perkotaan. Dengan langkah ini, kita dapat mendukung upaya pembangunan berkelanjutan di Indonesia
Penulis merumuskan sebuah konsep terkait pembangunan struktur atap yang ramah lingkungan, serta dapat berkontribusi terhadap pengelolaan energi yang lebih efisien yaitu GRASP. GRASP merupakan inovasi green roof air sensing programe yang mengintegrasikan penggunaan material rendah emisi karbon dalam pembangunan atap hijau, sambil memasang sensor untuk memantau kualitas udara. Secara keseluruhan, GRASP menggabungkan prinsip keberlanjutan, teknologi, dan inovasi arsitektur untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan ramah lingkungan di perkotaan.
GRASP menerapkan green roof yang terdiri atas lapisan vegetasi, media tumbuh, lapisan drainase, lapisan anti air, dan lapisan beton yang menjadi dasar atap bangunan (Wibowo, 2017). Lapisan beton pada dasar green roof yang memiliki emisi karbon tinggi digantikan dengan Cross-Laminated Timber (CLT). Cross-Laminated Timber (CLT) adalah material kayu yang kuat seperti beton tetapi memiliki jejak karbon lebih rendah (Ramage et al., 2017). Kemudian GRASP ini dilengkapi dengan sensor gas MQ-7 dan MQ-2 untuk memantau kualitas udara. Sensor MQ-7 dirancang khusus untuk mendeteksi gas karbon monoksida (CO), sementara MQ-2 berfungsi untuk mendeteksi gas-gas di udara seperti hidrogen, metana, alkohol dan lain-lain (Sugiarso et al., 2019).
Gambar 1. Skema Cross Laminated Timber sebagai lapisan atap hijau (Desain penulis)
Vegetasi yang akan digunakan pada green roof adalah sedum, yang tahan terhadap kondisi cuaca ekstrem. Kecocokannya dengan lingkungan atap yang terpapar sinar matahari langsung dan fluktuasi suhu menjadikannya pilihan yang ideal. Selain itu, sedum efektif menyerap karbon dioksida dan polutan udara, yang berkontribusi pada peningkatan kualitas udara (Getter & Rowe, 2006).
Implementasi sistem monitoring polusi udara ini menggunakan Microcontroller NodemCU berbasis logika fuzzy. Perangkat dirancang terdiri dari tiga blok utama, yaitu input, proses, dan output (Virdaus and Ihsanto, 2021).
Gambar 2. Diagram Blok Rangkaian
(Sidik and Rahmad, 2021)
Mekanisme dari masing-masing blok adalah sebagai berikut :
a. Microcontroller NodeMCU berperan sebagai pusat kendali dari seluruh rangkaian.
b. Sensor MQ-2 dan MQ-7 berfungsi untuk mendeteksi keberadaan asap, gas, dan karbon monoksida (CO).
c. Power supply menyediakan energi atau tegangan yang dibutuhkan agar rangkaian dapat beroperasi dengan optimal.
d. Wi-Fi Direct berperan sebagai penghubung antara rangkaian dan smartphone.
e. Smartphone digunakan sebagai media output untuk menampilkan hasil pengolahan data dari rangkaian.
Implementasi perancangan ini akan menghasilkan perangkat yang mampu memonitor keadaan atau kualitas udara di sekitar, menjadi tiga kategori (aman, waspada, atau bahaya) (Purwanto et al., 2016).
Gambar 3. Flowchart Hardware
(Sidik and Rahmad, 2021)
Berdasarkan data dari sensor, sistem otomatisasi dapat mengontrol penyiraman dan pemeliharaan tanaman di atap hijau. Saat sensor mendeteksi kondisi tanah yang kering, mikrokontroler akan memberikan perintah kepada relay untuk mengaktifkan pompa air. Mekanisme ini membantu menjaga tanaman tetap sehat dan memungkinkan mereka berfungsi optimal sebagai penyerap polusi udara (Dwiyatno et al., 2022).
Gambar 4. Skema pengintegrasian sensor terhadap pengaturan ventilasi
(Desain penulis)
Dengan mengintegrasikan kedua sensor, pengelola bangunan juga dapat menyesuaikan ventilasi dan pengaturan kualitas udara dalam bangunan secara efisien. Selain itu, data yang dikumpulkan dapat dianalisis untuk mengidentifikasi tren polusi di daerah perkotaan, yang berkontribusi pada perumusan kebijakan pengelolaan kualitas udara yang lebih baik. Penggunaan sensor ini tidak hanya membantu menjaga kesehatan penghuni, tetapi juga mendukung upaya keberlanjutan dengan memberikan informasi penting untuk pengurangan emisi (Santoso, 2024).
Mekanisme keberlanjutan dari gagasan tersebut dapat diwujudkan melalui tiga tahap utama: material, pemantauan, dan pemeliharaan. Pertama, pemilihan material rendah emisi berupa cross laminated timber (CLT) yang akan mengurangi jejak karbon bangunan sekaligus meningkatkan durabilitasnya. Kedua, pemasangan sensor kualitas udara pada atap hijau memungkinkan pemantauan polusi secara real-time, sehingga data dapat digunakan untuk strategi pengurangan polusi dan perencanaan hijau yang adaptif. Selain itu, keberlanjutan jangka panjang ditingkatkan melalui sistem pemeliharaan otomatis berbasis IoT yang memantau dan menjaga kondisi atap hijau secara efisien, mendukung efisiensi energi, peningkatan kualitas udara, serta penyerapan karbon optimal bagi lingkungan perkotaan.
KESIMPULAN
Pesatnya urbanisasi mendorong pembangunan infrastruktur besar yang sering tidak ramah lingkungan, sehingga menjadi sumber utama emisi karbon. Sektor bangunan menghasilkan emisi tinggi, terutama dari beton dan baja yang digunakan dalam struktur bangunan. Material ini menyumbang emisi karbon tinggi karena mengandung lebih dari 60% emisi karbon tertanam pada struktural bangunan seperti atap. Hal tersebut dapat diatasi dengan GRASP, yang mengintegrasikan penggunaan material rendah emisi karbon dalam pembangunan atap hijau, sambil memasang sensor untuk memantau kualitas udara. Dengan demikian, akan tercipta lingkungan perkotaan yang lebih efisien, berkelanjutan, dan responsif terhadap kualitas udara, untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik. Pada lapisan atap hijau dapat diganti dengan Cross-Laminated Timber (CLT) berupa material kayu yang kuat seperti beton tetapi memiliki jejak karbon lebih rendah. Sensor gas MQ-7 dan MG-811 dapat digunakan secara efektif pada atap hijau untuk memantau kualitas udara dengan mendeteksi gas karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO₂), sehingga dapat mendukung konstruksi berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyatno, S. et al. (2022) ‘S Smart Agriculture Monitoring Penyiraman Tanaman Berbasis Internet of Things’, PROSISKO: Jurnal Pengembangan Riset dan Observasi Sistem Komputer, 9(1), pp. 38–43. Available at: https://doi.org/10.30656/prosisko.v9i1.4669.
Getter, K.L., Rowe, D.B., 2006. The role of green roofs in sustainable development. HortScience 41 (5), 1276e1285.
Haykal, M. and Lissimia, F. (2021) ‘Implementasi Konsep Eko-Arsitektur pada Bangunan Oasia Hotel Singapore’, Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, 10(2), pp. 100–109. Available at: https://doi.org/10.32315/jlbi.v10i02.63.
Hartono, W., Sugiyarto, S., & Shapeka, S. (2016). Pemilihan Alternatif Jenis Konstruksi Rangka Atap Dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Matriks Teknik Sipil, 4(2).
Kartika, W. (2021), Studi Pemanfaatan Limbah CO2 Menjadi CO2Cair dengan Teknologi CO2 Purification di Indutri Baja, Jurnal Jaring SainTek (JJST), 3(2), pp. 51–58.
Maria, I. (2021). Pengaruh Pertumbuhan Penduduk dan Perubahan Iklim terhadap Ketersediaan Air. Online Journal Unja,2(2), 135–140.
Marzuky, F.P. and Jogaswara, E. (2001) ‘Potensi Semen Alternatif Dengan Bahan dasar Padalarang dan Fly Ash Suralaya untuk Konstruksi Rumah Sederhana’, Sustainability Dalam Bidang Material, Rekayasa Dan Konstruksi Beton, (July), pp. 107–129.
Pihawiano, A.T. et al. (2024) ‘Analisis Emisi Karbon Pada Material Bangunan Gedung Tujuh Lantai dengan Metode BIM’, Jurnal Serambi Engineering, IX(1), pp. 8229–8236.
Purwanto, F.E., Munadi, R., & Sunarya, U. (2016). Perancangan Dan Implementasi Sistem Monitoring Gas Berbahaya Pada Mobil Berbasis Logika Fuzzy Menggunakan Mikrokontroler. Proceedings of Engineering, vol. 3, no. 3, 2016.
Ramage, M.H. et al. (2017) ‘The wood from the trees: The use of timber in construction’, Renewable and Sustainable Energy Reviews, 68(February), pp. 333–359. Available at: https://doi.org/10.1016/j.rser.2016.09.107.
Santoso, M. U. (2024). Desain Rumah Pintar: Mengintegrasikan Teknologi untuk Kehidupan yang Lebih Efisien dan Nyaman. WriteBox, 1(3).
Sidik, M.F. And Rahmad, I.F. (2021) ‘Monitoring Kondisi Udara Di Kota Medan Dengan Pendekatan Fuzzy Logic Berbasis Internet Of Things (Iot)’, It (Informatic Technique) Journal, 8(1), P. 73. Available At: Https://Doi.Org/10.22303/It.8.1.2020.73-80.
Sugiarso, B.A. Et Al. (2019) ‘Aplikasi Sensor Polusi Udara’, Jurnal Teknik Elektro dan Komputer, 8(3), pp. 193–200.
Uda, S.A.K.A. (2021) ‘Embodied Energy and Embodied Carbon Consumption Analysis of 36-Type Simple House Building Materials’, Teknik, 42(2), pp. 160–168. Available at: https://doi.org/10.14710/teknik.v42i2.34268.
Virdaus, M.S.S. and Ihsanto, E. (2021) ‘Rancang Bangun Monitoring Dan Kontrol Kualitas Udara Dengan Metode Fuzzy Logic Berbasis Wemos’, Jurnal Teknologi Elektro, 12(1), p. 22. Available at: https://doi.org/10.22441/jte.2021.v12i1.005.
Wibowo, A. P. 2017 “Kriteria Rumah Ramah Lingkungan (Eco-Friendly House)”, Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran, dan Ilmu Kesehatan, 1(1) :1-10
Lampiran
Analisis Swot
Berikut beberapa faktor SWOT dalam menganalisis GRASP
Tabel Analisis SWOT GRASP
Strength | Weakness |
Mengurangi emisi karbon Pemasangan sensor untuk pemantauan kualitas udara yang real-time. Mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah perkotaan. |
Biaya awal yang tinggi untuk pengadaan material dan teknologi sensor. Terkadang ada resistensi dari pihak pengembang terhadap perubahan material |
Opportunity | Threat |
Permintaan yang meningkat untuk solusi konstruksi ramah lingkungan di tengah perubahan iklim. Potensi kolaborasi dengan pemerintah dan lembaga untuk mendapatkan insentif dalam penggunaan teknologi hijau. |
Persaingan dari metode konstruksi tradisional yang sudah mapan. Ketidakpastian ekonomi yang dapat mempengaruhi investasi dalam infrastruktur ramah lingkungan. |
Analisis Manfaat
Peningkatan Kualitas Udara
Green roof berfungsi sebagai filter alami di area perkotaan dengan polusi tinggi. Sensor kualitas udara yang terpasang mengoptimalkan peran tanaman dalam menyerap CO₂, NOx, dan polutan lainnya. Selain itu, pemantauan kualitas udara secara real-time memungkinkan respons cepat terhadap perubahan polusi di sekitar gedung..
Penghematan Energi dan Efisiensi Biaya
GRASP dapat mengurangi kebutuhan energi untuk pendinginan atau pemanasan bangunan karena efek isolasi yang diberikan oleh green roof. Hal ini mengurangi konsumsi energi secara keseluruhan. Adapun sensor kualitas udara dan sistem otomatis berbasis IoT memastikan perawatan atap hijau hanya dilakukan saat diperlukan, yang turut mengurangi biaya operasional.
Kontribusi pada Kesehatan dan Kenyamanan Lingkungan
Vegetasi pada atap hijau melakukan evapotranspirasi, menghasilkan oksigen dan mengurangi suhu di sekitarnya, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi penghuni dan masyarakat sekitar. Dengan adanya teknologi sensor, atap hijau ini dapat lebih responsif terhadap fluktuasi kualitas udara, menghasilkan lingkungan yang lebih sehat dan ramah bagi manusia.
Pengurangan Jejak Karbon Bangunan
Dengan memanfaatkan sensor dan IoT untuk mengoptimalkan fungsi atap hijau, inovasi ini membantu mengurangi jejak karbon bangunan. Sistem ini mendorong penggunaan material dan teknologi yang ramah lingkungan, sejalan dengan prinsip konstruksi berkelanjutan. Penggunaan energi terbarukan dan optimalisasi proses perawatan atap hijau juga memperkuat kontribusi dalam mengurangi emisi karbon.
Analisis Biaya
Perhitungan HPP pada perumahan
Misalkan luas atap adalah 50 m², dan biaya per m² sebagai berikut:
Cross-Laminated Timber (CLT) : Rp.785.000/m2 x 50 = Rp. 39.250.000
Tanaman sedum untuk atap hijau : Rp. 45.000/m2 x 50 = Rp. 2.250.000
Media Tumbuh dan Lapisan Drainase : Rp. 52.000/m2 x 50 = Rp. 2.600.000
Sensor gas (MQ-7 dan MQ-2) : Rp. 37.000
Microcontroller NodeMCU : Rp. 30.000
Relay untuk mengontrol pompa : Rp. 37.000
Pekerja Konstruksi : Rp. 100.000/jam, 50 jam x 100.000 = Rp. 5.000.000 x 3 orang = Rp. 15.000.000
Pekerja Instalasi Sensor : Rp. 200.000/jam, 5 jam x 200.000 = Rp. 1.000.000 x 1 orang = Rp. 1.000.000
Peralatan Konstruksi ( pompa air, pipa, alat pemeliharaan) : Rp.4.500.000
Transportasi : Rp.3.000.000
Pemeliharaan Sensor dan Sistem Otomatisasi : Rp. 1.500.000/tahun
Total Biaya (Material + Tenaga Kerja + Peralatan) = ( 44.204.000 + 16.000.000 + 4.500.000) = Rp. 64.704.000
Maka, HPP pembangunan atap rumah hijau untuk luas 50 m² adalah sekitar Rp. 64.704.000 dan biaya pemeliharaan tahunan diperkirakan sekitar Rp. 1.500.000
Perhitungan HPP pada gedung perkantoran
Misalkan luas atap adalah 100 m², dan biaya per m² sebagai berikut:
Cross-Laminated Timber (CLT) : Rp.785.000/m2 x 100 = Rp.78.500.000
Tanaman sedum untuk atap hijau : Rp. 45.000/m2 x 100 = Rp.4.500.000
Media Tumbuh dan Lapisan Drainase : Rp. 52.000/m2 x 100 = Rp. 5.200.000
Sensor gas (MQ-7 dan MG-811) : Rp. 37.000
Microcontroller NodeMCU : Rp. 30.000
Relay untuk mengontrol pompa : Rp. 37.000
Pekerja Konstruksi : Rp. 100.000/jam, 100 jam x 100.000 = Rp. 10.000.000 x 10 orang = Rp. 100.000.000
Pekerja Instalasi Sensor: Rp. 200.000/jam, 10 jam x 200.000 = Rp. 2.000.000 x 2 orang = Rp. 4.000.000
Peralatan Konstruksi : Rp.4.500.000
Transportasi : Rp.3.000.000
Pemeliharaan Sensor dan Sistem Otomatisasi : Rp. 2.000.000/tahun
Total Biaya (Material + Tenaga Kerja + Peralatan) = ( 88.304.000 + 104.000.000 + 7.500.000) = Rp.195.304.000
Maka, HPP pembangunan atap gedung hijau untuk luas 100 m² adalah sekitar Rp. 195.304.000 dan biaya pemeliharaan tahunan diperkirakan sekitar Rp. 2.000.000
Stakeholder yang mendukung
Pemerintah
Pemerintah, baik di tingkat lokal maupun nasional, memiliki peran penting dalam mendukung inisiatif ini melalui kebijakan dan regulasi yang mendorong pembangunan berkelanjutan. Langkah-langkah seperti pemberian insentif pajak untuk bangunan hijau atau penerapan standar efisiensi energi dapat mempercepat implementasi atap hijau serta penggunaan sensor untuk memantau kualitas udara di daerah perkotaan. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan dukungan berupa pendanaan untuk penelitian dan pengembangan teknologi ini.
Pengembang Properti dan Kontraktor Konstruksi
Pengembang properti dan kontraktor konstruksi memiliki peran penting dalam perancangan dan pembangunan bangunan yang dilengkapi dengan atap hijau. Mereka merupakan pengguna awal teknologi ini, bertujuan untuk mengintegrasikan atap hijau sebagai bagian dari desain yang ramah lingkungan dalam proyek baru sekaligus mempertimbangkan keberlanjutan dalam perawatannya untuk jangka panjang.
Pemilik Bangunan dan Pengelola Gedung
Pemilik bangunan, baik perusahaan, instansi pemerintah, maupun individu akan mendapatkan manfaat langsung berupa pengurangan biaya operasional dalam jangka panjang serta perbaikan kualitas udara. Mereka juga menjadi pengguna utama dari sistem sensor kualitas udara yang terpasang, yang menyediakan data secara real-time untuk pemantauan dan pengelolaan lingkungan yang lebih sehat.
Produsen Material Konstruksi dan Teknologi
Produsen bahan konstruksi seperti Cross-Laminated Timber (CLT) dan pemasok tanaman untuk atap hijau, seperti sedum, memiliki peran kunci dalam menyediakan material berkualitas yang mendukung keberlanjutan bangunan. Di sisi lain, produsen sensor gas, termasuk jenis MQ-7 dan MG-811, juga merupakan bagian penting dari ekosistem ini. Mereka menyediakan teknologi yang memungkinkan pemantauan kualitas udara dengan efisiensi dan akurasi tinggi, mendukung tujuan konstruksi hijau.
Lembaga Penelitian dan Universitas
Lembaga penelitian dan universitas memainkan peran penting dalam melakukan riset dan pengembangan terkait teknologi atap hijau dan sensor kualitas udara. Mereka memberikan dukungan ilmiah dan teknis untuk memastikan bahwa inovasi ini dapat diterapkan secara efektif dan memberikan hasil optimal dalam memperbaiki kualitas udara serta mengurangi jejak karbon bangunan.
Masyarakat dan Organisasi Lingkungan
Masyarakat dan organisasi lingkungan merupakan pendukung utama karena atap hijau berperan dalam meningkatkan kualitas udara dan mengurangi polusi, yang memiliki dampak langsung pada kesehatan publik. Organisasi lingkungan juga berkontribusi melalui advokasi dan kampanye untuk memperluas penggunaan teknologi ini serta mendukung kebijakan yang mengarah pada pembangunan berkelanjutan.