Penggunaan Teknologi Insulating Glass dan Perencanaan Green Building dalam Bangunan Menara BCA Jakarta
Ditulis oleh Delisa Putri Maharani
Dalam dunia arsitektur, kaca digunakan bukan hanya sebagai bahan ornamen atau bahan struktur bangunan, tapi juga sebagai pelindung dari aktivitas partikulat eksternal. Saat ini insulating glass atau kaca insulating mulai diterapkan dalam pembangunan green building di perkotaan. Lebih dari itu, kaca insulating juga memiliki dua lapis kaca yang menciptakan ruang kosong antara panel yang memiliki ketebalan beberapa milimiter. Ruang tersebut memiliki kelembapan yang rendah sehingga dapat membantu mengurangi panas matahari yang dihantarkan melalui jendela.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca menjadi penyebab dari penangkapan sinar matahari yang tidak memantul keluar, menyebabkan suhu bumi terus meningkat. (Peringatan Dies Natalis Institut Pertanian Stiper Yogyakarta ke-65). Pernyataan Dwikorita tersebut menegaskan bahwa peningkatan suhu menjadi salah satu masalah bagi penduduk Indonesia saat ini. Dalam desain arsitektur, diperlukan material yang membantu menjaga kesejukan dalam ruangan, sistem ventilasi udara, dan permukaan yang mampu memantulkan cahaya. Hadirnya insulating glass dirancang untuk menjaga bangunan tetap sejuk di musim panas dan hangat di musim dingin.
Insulated Glass adalah jenis kaca yang memiliki dua lapisan yang di tengahnya diisi oleh ruang udara atau gas inert atau argon. Ruang tersebut berfungsi memperlambat perpindahan panas sehingga membantu menstabilkan suhu dalam ruangan dan menghemat penggunaan energi listrik untuk pemanasan atau pendinginan. Selain itu, lapisan ganda ini juga memberikan perlindungan tambahan dari kerusakan, termasuk dari transmisi sinar ultraviolet dimana indeks UV kota Jakarta bisa mencapai 8-10.
Daerah Jakarta dan sekitarnya merupakan daerah yang memiliki suhu permukaan yang tinggi karena total emisi CO2 yang tinggi. Emisi CO2 yang tinggi akan menyebabkan suhu permukaan meningkat akibat fenomena gas rumah kaca. Kondisi panas ekstrem di Jakarta mempengaruhi kurangnya ruang hijau, pertumbuhan kota, dan meningkatnya aktivitas industri serta transportasi. Oleh karena itu, diperlukan solusi salah satunya dengan menggunakan lapisan Low-E (Low Emissitivy).
Dalam kasus Menara BCA Jakarta, selain menggunakan insulating glass juga menggunakan lapisan Low-E. Kaca ini adalah kaca bening yang telah dilapisi lapisan oksida metalik transparan. Lapisan ini dapat mengurangi jumlah panas dan sinar ultraviolet (UV) serta inframerah yang masuk ke dalam rumah secara signifikan. Lapisan oksida metalik pada kaca Low-E berbahan tipis bahkan tidak dapat dilihat dari mata manusia ketika cahaya melewati kata sambil memantulkan kembali panasnya. Dalam rekayasa termal, emisivitas permukaan material adalah keefektifannya dalam memancarkan energi sebagai radiasi termal dibandingkan dengan permukaan yang benar-benar hitam sehingga radiasi energi yang dikeluarklan lebih sedikit.
Menara BCA Jakarta berada di kawasan Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat, setinggi 230 meter dan memiliki 57 lantai. Merupakan gedung pertama di Indonesia yang meraih sertifikat GREENSHIP EB Platinum, yakni gedung ramah lingkungan berkategori prestisius pada tahun 2011 oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). Menara BCA telah melalui proses sertifikasi yang mencakup kualitas udara dan kenyamanan ruang, konversi air dan energi, efisisensi, kualitas udara serta kenyamanan ruang selama lebih dari satu tahun.
Menara ini menggunakan LED-light emitting diode, yang mampu menghemat listrik hingga 70% dan memasang lambu tabung T5 yang dilengkapi sensor cahaya guna mengukur tingkat pencahayaan saat ruangan gelap atau terang. Juga mampu menghemat konsumsi energi listrik 35% atau setara dengan penurunan emisi gas karbon dioksida (CO2) sebesar 6,360 ton/tahun. Dengan pengaturan suhu ruangan sekitar 25 derajat celcius atau bahkan lebih tinggi. Menara BCA juga menawarkan sejumlah fasilitas pendukung seperti penambahan parkir sepeda, alat pengukur kualitas udara, penambahan aerator pada wastafel, dan masih banyak lagi.
Yang menarik dari gedung ini adalah bagaimana Menara BCA mengolah air bekas wudhu menjadi bahan outdoor AC, sehingga total buangan air lebih sedikit, sekitar 40 liter, dibanding total buangan air biasanya. Ini juga mampu menyerap air yang jatuh untuk digunakan kembali. Juga menggunakan air dari sumber alternatif yaitu air hujan, sungai, dan kondensat AC.
Menurut guru besar kesehatan masyarakat Unversitas Indonesia Haryoto Kusnoputranto, ruangan yang memilki kualitas udara buruk akan menimbulkan gejala gangguan kesehatan atau Sick Building Syndrom (SBS). Gejalanya antara lain sakit kepala, pusing, sesak napas, bersin, batuk, pegal-pegal, iritasi mata, pilek, bahkan sampai depresi. Untuk memenuhi standar kesehatan itulah, beberapa bangunan yang bersertifikat in memilki sensor karbon dioksida di dalam ruangan. Untuk mengatur karbon dioksida agar tak melebihi standar dalam ruangan sebesar 1000 ppm, serta mengatur sirkulasi udara. Untuk menjadi lebih ramah lingkungan, diperlukan biaya yang besar. Pengelola Grand Indonesia menyebut bahwa nilai investasi awal pembangunan Menara BCA sebesar 700 miliar, dan itu naik beberapa persen karena adanya tambahan peralatan yang ramah lingkungan.
Direktur Grand Indonesia Sawitri Setiawan menyebutkan, tambahan investasi itu akan segera kembali dalam beberapa tahun dan tidak akan mempengaruhi minat menyewa para calon penyewa. Dikarenakan semakin hari banyak penyewa yang mewanti-mewanti pengelola gedung agar mendapatkan sertifikat ramah lingkungan. Sertifikat Greenship membantu menaikkan tingkat hunian (occupancy rate) 85% pada tahun 2010 menjadi 95% di tahun 2012. Dengan tarif sewa menara BCA sekitar US$ 20/m2 per bulan. Kenaikan sertifikasi juga diakui GBCI, tetapi mereka memastikan investasi itu akan kembali dalam lima tahun karena berbagai penghematan yang berhasil dilakukan.
Berdasarkan data yang dipaparkan GBCI, perkiraan total luas gedung komersial di Jakarta tahun 2012 mencapai 9,44 juta m2. Jika gedung-gedung ini mampu menghemat penggunaan listrik sebesar 15% saja dari 250 kWh/m2 per tahun sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI), maka dalam satu tahun emisi karbon akan berkurang sebesar 315.414 ton. Yang setara dengan kompensasi pohon oleh penanaman empat juta pohon. Pembangunan dan sertifikasi gedung ramah lingkungan di Jakarta menetapkan target pengurangan CO2 sebesar 5,5 juta ton per tahun pada 2030, melalui program sektor komersial. Untuk mencapai target penurunan emisi pada tahun 2020 dan 2030, Gubernur Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau. Aturan tersebut diberlakukan mulai bulan April 2013 dan mewajibkan pembangunan gedung baru dengan luas lantai di atas 5000 m2 untuk mengadopsi desain ramah lingkungan.
Pada konsep desain ramah lingkungan, penggunaan Insulating Glass dan trik penghematan serta Sertifikasi sangatlah penting untuk menunjang Green Building. Untuk lebih meningkatkan kinerja, arsitek dan desainer dapat memilih sistem kaca yang menggabungkan gas mulia di antara panel kaca, contohnya gas argon atau kripton. Perpindahan panas yang dihasilkan melalui insulating glass lebih sedikit. Tentunya, harus memperhatikan protokol yang ada dan nilai insulasi yang tepat, sehingga memungkinkan kinerja jangka panjang. Insulating glass adalah pilihan yang tepat untuk green building karena menjaga suhu ruangan tetap stabil, mengurangi konsumsi energi, dan mendukung keberlanjutan desain ramah lingkungan. Maka dari itu, insulating glass merupakan pilhan yang tepat untuk memulai konsep green building pada bangunan di perkotaan.