Membangun Masa Depan Ramah Lingkungan dengan Menerapkan Material Daur Ulang Pada Konstruksi Bangunan Hijau
Ditulis oleh Aulia Febri Khairani
Pendahuluan
Isu pemanasan global kini menjadi perhatian serius di seluruh dunia. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, terdapat peningkatan emisi gas seperti karbon dioksida (CO₂), klorofluorokarbon (CFC), dan metana di atmosfer, yang berkontribusi pada kerusakan lapisan ozon atau sering disebut sebagai bahan perusak ozon (BPO). Semakin tinggi penggunaan BPO, semakin besar pula upaya yang dibutuhkan untuk mengendalikan pemanasan global. Selain itu, eksploitasi sumber daya alam turut berperan dalam memperparah pemanasan global. Salah satu langkah yang efektif dalam mengurangi dampak pemanasan global adalah melalui konservasi energi, termasuk dalam sektor konstruksi bangunan.
Berge (2009) menyatakan bahwa sektor industri konstruksi adalah konsumen sumber daya alam terbesar kedua di dunia, setelah industri pangan. Oleh karena itu, para pelaku di industri bangunan memiliki peran yang amat pentimg dalam mengurangi dampak lingkungan yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global[1].
Green Building adalah konsep yang mendukung pembangunan rendah karbon melalui kebijakan dan program yang meningkatkan efisiensi energi, air, dan material bangunan, serta memperluas penggunaan teknologi rendah karbon. Penerapan Green Building tidak hanya memberikan manfaat bagi lingkungan, tetapi juga menawarkan nilai ekonomis dengan menekan biaya operasional dan pemeliharaan bangunan. Green building juga merupakan sebuah konsep properti yang berperan dalam mengurangi dampak pemanasan global[2]. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2010, bangunan ramah lingkungan (green building) merupakan bangunan yang menerapkan prinsip-prinsip lingkungan dalam perancangan, konstruksi, operasional, dan pengelolaan, dengan fokus utama pada pengendalian dampak perubahan iklim. Prinsip ini menekankan pentingnya pelestarian fungsi lingkungan. Salah satu aspek penting adalah pemilihan material, yang berperan dalam efisiensi energi dan ramah lingkungan. Penggunaan material bangunan yang tepat, yaitu green material atau material ramah lingkungan, menghasilkan bangunan berkualitas dan ramah lingkungan, terutama melalui pemanfaatan material yang ekologis.
Green Material memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar material ramah lingkungan. Sementara material ramah lingkungan umumnya berkaitan dengan produk material itu sendiri yakni material yang tidak berpotensi merusak lingkungan atau membahayakan kesehatan saat digunakan dan dibuang. Green Material mencakup lebih banyak aspek. Selain mempertimbangkan aspek ramah lingkungan dari produk itu sendiri, Green Material juga menilai keberlanjutan sumber material, proses produksi, distribusi, dan instalasinya. Selain itu, Green Material mendukung efisiensi energi (baik listrik maupun air), meningkatkan kesehatan dan kenyamanan, serta mempermudah pengelolaan dan perawatan bangunan.
Pembahasan
a). Material daur ulang
Penggunaan material daur ulang dalam konstruksi bangunan hijau adalah langkah penting menuju lingkungan yang lebih berkelanjutan. Konsep green building berfokus pada mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya. Dalam konteks ini, pemilihan material ramah lingkungan, terutama material daur ulang, menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan keberlanjutan tersebut.
Material daur ulang/ material bekas menurut Ervianto (2012) menyatakan bahwa material bekas merupakan sisa material konstruksi serta limbah dari aktivitas seperti konstruksi, pembongkaran, dan pembersihan lahan di awal proyek. Untuk mengurangi dampak aktivitas konstruksi terhadap lingkungan, prinsip daur ulang material bekas dapat diterapkan[3]. Dalam jangka pendek, penggunaan material bekas dapat menghemat biaya pembangunan, sedangkan dalam jangka panjang, hal ini mendukung program pelestarian lingkungan yang berorientasi pada efisiensi energi.
Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2010 mengenai Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan, pada Bab II pasal 4, suatu bangunan dapat dianggap sebagai bangunan ramah lingkungan jika memenuhi beberapa kriteria, antara lain:
- Penggunaan material bangunan yang ramah lingkungan
- Tersedianya fasilitas, sarana, dan prasarana untuk konservasi sumber daya air dalam bangunan
- Tersedianya fasilitas, sarana, dan prasarana untuk konservasi dan diversifikasi energi
- Penggunaan bahan yang tidak merusak lapisan ozon dalam bangunan
- Tersedianya fasilitas, sarana, dan prasarana untuk pengelolaan air limbah domestik pada bangunan
- Tersedianya fasilitas untuk pemilahan sampah
- Memperhatikan aspek kesehatan bagi penghuni bangunan
- Tersedianya fasilitas, sarana, dan prasarana untuk pengelolaan lahan yang berkelanjutan
- Tersedianya fasilitas, sarana, dan prasarana untuk mengantisipasi bencana
Dari peraturan ini, terlihat bahwa aspek material memegang peranan penting dalam menentukan kriteria suatu bangunan ramah lingkungan. Subkriteria penggunaan material mencakup penggunaan material bangunan yang bersifat eco-label dan material lokal.
b.) Konsep bangunan hijau
Konsep bangunan ramah lingkungan, atau green building, menjadi pendorong utama perubahan dalam industri konstruksi. Lebih dari sekadar desain arsitektur yang estetis, green building mengadopsi pendekatan holistik yang mencakup keberlanjutan sumber daya alam, efisiensi penggunaan lahan, pengurangan dampak lingkungan, perhatian terhadap kualitas udara dalam ruangan, serta prioritas pada kesehatan dan kenyamanan penghuni. Penerapan konsep green building dimulai sejak tahap perencanaan, dengan mempertimbangkan orientasi bangunan terhadap sinar matahari dan pola aliran udara untuk ventilasi dan pencahayaan alami yang optimal.
Selanjutnya, pemilihan material ramah lingkungan seperti bambu, kayu bersertifikat, atau bahan daur ulang dengan penilaian siklus hidup (life cycle assessment/LCA) yang rendah menjadi langkah penting. Pada tahap konstruksi, upaya untuk meminimalkan limbah dilakukan melalui efisiensi dalam pengadaan material, termasuk desain modular atau prefabrikasi.
Berbagai fitur, seperti sistem pengolahan air limbah, teknologi penghematan air dan listrik, serta penanaman vegetasi pada bangunan, turut berkontribusi dalam mengurangi jejak ekologis selama masa operasi green building. Dengan demikian, pembangunan green building secara komprehensif mencerminkan upaya industri konstruksi dalam mengadopsi metode yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perubahan paradigma ini diharapkan dapat mendorong inovasi lebih lanjut dalam konstruksi hijau di masa depan.
c) Penerapan material daur ulang dalm kontruksi bangunan hijau
Berikut ini beberapa contoh penerapan material daur ulang dalm kontruksi bangunan hijau :
1. Bengkel kerja ‘Rempah’ di Solo
Jenis pertama ini adalah bengkel kerja ‘REMPAH’ di Solo, yang dimiliki oleh Pak Paul. Nama *Rumah Karya, REMPAH* mengandung arti “REMUKAN SAMPAH,” dan bangunan ini terbuat dari sekitar 90% material limbah yang berasal dari gudang.
Banyak batang baja dengan berbagai dimensi panjang dimanfaatkan sebagai rangka utama bangunan tanpa perlu diubah atau dipotong. Hal ini menunjukkan bahwa material yang ada dapat disusun dengan sentuhan kreativitas yang harmonis. Potongan-potongan kayu ditempelkan apa adanya sehingga membentuk dinding yang artistik. Sementara itu, untuk lantai di bagian atas, digunakan anyaman bambu dan styrofoam atau polystyrene, yang dilapisi dengan plester semen. Ini merupakan langkah berani namun dilakukan dengan perhitungan yang cermat; perbedaan karakter material tersebut dapat menyatu dengan kokoh dan bahkan mampu menampung beban hingga 10 sak semen.
2. Dinding dengan material botol bekas
(sumber: http://rooang.com/2014/06/sampah-material-alternatif-untuk-dinding/)
Sementara itu, jenis yang kedua mencakup pemanfaatan material non-bangunan untuk konstruksi, seperti botol, kaleng, dan sejenisnya. Contoh yang relevan adalah rumah tinggal Ridwan Kamil, yang menggunakan botol sebagai material dinding rumahnya. Begitu pula dengan Kuil Wat Lan, yang juga memanfaatkan botol untuk membangun dinding kuil tersebut.
3. Berbagai macam material plastik yang di jadikan blok dinding
sumber: http://rooang.com/2014/06/sampah-material-alternatif-untuk-dinding/
Jenis ketiga Peter Lewis, seorang warga Selandia Baru, berhasil mengembangkan sebuah mesin yang dinamakan mesin Byfusion. Mesin ini memiliki kemampuan untuk mengolah berbagai jenis sampah plastik menjadi bongkahan bata. Dalam waktu 30 hingga 45 detik, mesin ini dapat mengubah 10 kg sampah plastik menjadi satu buah bata yang sangat keras, sebanding dengan kekuatan batu.
4. Bangunan dari kontainer pertama di Indonesia terletak di Batu, Malang.
sumber: https://zainuri.files.wordpress.com/2013/07/2030077-perpustakaan-dari-kontainer-bekas-620×310.jpg
Keempat, Satu hal menarik lainnya adalah penggunaan kontainer truk yang tidak terpakai sebagai konstruksi bangunan yang praktis, langsung jadi, dan ramah lingkungan. Terdapat banyak cara untuk membangun rumah yang berkelanjutan. Material rumah yang disebutkan sebelumnya terbukti lebih ekonomis dan tidak merusak lingkungan. Kita juga dapat berkreasi dengan memanfaatkan barang-barang bekas yang ada di sekitar kita. Apabila lebih banyak masyarakat yang mengadopsi penggunaan material daur ulang, kita dapat menghemat energi sekaligus menjaga kelestarian alam. Ini juga dapat mendorong gerakan masyarakat untuk mendukung arsitektur hijau.
Kesimpulan
Penerapan material daur ulang dalam konstruksi bangunan hijau merupakan strategi penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan. Dengan memanfaatkan material bekas dan limbah, industri konstruksi tidak hanya dapat mengurangi volume sampah yang dihasilkan, tetapi juga menghemat sumber daya alam dan energi yang diperlukan untuk memproduksi material baru. Penggunaan material daur ulang mendukung prinsip efisiensi sumber daya dan keberlanjutan, serta membantu mengurangi jejak karbon bangunan.
Selain itu, penerapan material daur ulang dalam desain bangunan hijau juga berkontribusi pada peningkatan kualitas lingkungan binaan, dengan menciptakan ruang yang lebih sehat dan nyaman bagi penghuninya. Melalui inovasi dan kreativitas dalam pemilihan serta penggunaan material, para arsitek dan insinyur dapat menghasilkan bangunan yang estetis sekaligus fungsional. Secara keseluruhan, penggunaan material daur ulang dalam konstruksi bangunan hijau tidak hanya mendukung pelestarian lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomis dan sosial, mendorong terciptanya komunitas yang lebih berkelanjutan dan responsif terhadap tantangan lingkungan yang dihadapi saat ini.
Daftar Pustaka
Berge, Bjorn. “The Ecology of Building Materials (Second Edition),.” London:
Architectural Press., 2009.
Ervianto, W. I., Soemardi, B. W., Abduh, M. “Kajian Reuse Material Bangunan
Dalam Konsep Sustainable Construction Di Indonesia.” Jurnal Teknik Sipil Vol. 12,N (2012).
Green Building Council Indonesia, Pengertian dan kategori Grenship Website dari http://www.gbcindonesia.org/greensh ip, 2012.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2010 Tentang
Kriteria dan Sertifikasi Bangunan Ramah Lingkungan, 2010
Syahriyah, Dewi Rachmaniatus. “Penerapan Aspek Green Material Pada Kriteria
Bangunan Rumah Lingkungan Di Indonesia.” Jurnal Lingkungan Binaan
Indonesia 6, no. 2 (2017): 100–105. https://doi.org/10.32315/jlbi.6.2.95.
Bjorn. Berge, “The Ecology of Building Materials (Second Edition),” London: Architectural Press., 2009. ↑
Dewi Rachmaniatus Syahriyah, “Penerapan Aspek Green Material Pada Kriteria Bangunan Rumah Lingkungan Di Indonesia,” Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia 6, no. 2 (2017): 100–105, https://doi.org/10.32315/jlbi.6.2.95. ↑
M. Ervianto, W. I., Soemardi, B. W., Abduh, “Kajian Reuse Material Bangunan Dalam Konsep Sustainable Construction Di Indonesia.,” Jurnal Teknik Sipil Vol. 12, N (2012). ↑
Bagus
Bismillah semoga ada rezeki menang