Konstruksi Hijau Dan Material Daur Ulang: Penggunaan Bambu Sebagai Pengganti sebagian Agregat Kasar Alami (NCA) Dalam Beton Hijau
Ditulis oleh Aulia Khoirunnisa
Pendahuluan
Beton merupakan material konstruksi yang banyak digunakan di dunia. Beton mampu menahan tekan dan mampu menahan tarik apabila mempunyai tulangan. Namun, dibalik kekuatan dan kemampuan menahan beban ini, terdapat tantangan terhadap lingkungan yang signifikan. Beton menyumbang sebanyak 70% dari emisi karbondioksida.
Komposisi beton terdiri dari campuran semen portland, agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan atau tanpa bahan tambahan (admixture). Agregat kasar menjadi penyusun utama dalam beton, yaitu sekitar tiga perempat dari total volume beton. Agregat kasar alami (NCA) menjadi sumber emisi CO2 terbesar pada bahan baku beton. Sehingga diperlukan alternatif untuk mengurangi emisi CO2 pada beton.
Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan alternatif untuk mengurangi emisi CO2 pada beton adalah penelitian (Mahmoud et al., 2023) menggunakan polystyrene ekstrusi limbah busa, vermikulit, dan agregat tanah liat yang mengembang sebagai bahan ringan untuk beton geopolimer. (Kanagaraj et al., 2023) menyelidiki keberlanjutan beton geopolimer ringan menggunakan agregat tanah liat yang diperluas untuk beton ringan yang dapat memadatkan dirinya sendiri. (Ma et al., 2023) memanfaatkan partikel keramik lumpur sebagai agregat kasar dalam alkali aktif beton ringan, ukuran partikel agregat ini mempengaruhi kekuatan tekan statisnya, tegangan puncak dinamis, dan penyerapan energi. (Tayeh et al., 2023) menambahkan abu ampas tebu dan pasir bubur kertas ke batu bata beton untuk menggantikan pasir alam. Pada penelitian ini ditemukan Tingkat penggantian material yang tinggi terhadap penurunan kekuatan tekan dan lentur, sedangkan Tingkat yang lebih rendah memiliki efek sebaliknya. (Su & Xu, 2023) dan (Abellan-Garcia et al., 2023) menambahkan beras abu sekam kedalam beton sehingga dapat memperpanjang fase pemadatan, dan menurunkan stress pada beton menjadi lambat selama kegagalan terjadi.
Bambu merupakan tumbuhan endemik di Indonesia. Pada Tahun 2021, terdapat 176 spesies bambu di Indonesia dengan total 1620 jenis bambu yang ada di dunia. Indonesia memiliki 1 juta hektar lebih tanaman bambu. Bambu dapat mudah dikembangkan dan mempunyai daur hidup yang relatif cepat dengan waktu panen sekitar 3-4 tahun. Bambu mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan tingkat memproduksi oksigen dengan cepat. Dalam satu kilogram bambu dapat menyerap 5,69 kg CO2. Bambu memiliki sifat yang ringan, kuat dan mampu menahan gempa. Sehingga menjadikan bambu ini dapat dijadikan sebagai inovasi untuk bidang konstruksi beton, diantaranya dijadikan sebagai bambu jaring, inti bambu, tulangan bambu dan tabung bambu. (Wei et al., 2023) mengganti sebagian beton pada tabung baja kolom beton dengan rangka bambu yang terkubur di bagian inti. Hasil uji kompresi menunjukkan bahwa semakin besar ukuran inti bambu maka tegangan ultimit dan daktilitas beton semakin baik. (Marier et al., 2020) menunjukkan bahwa penambahan serat bambu ke beton mampu menghambat perambatan retak, meningkatkan perilaku pascaretak dan pelunakan regangan.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, menawarkan berbagai inovasi untuk mengurangi emisi CO2 dari beton, salah satunya dengan memanfaatkan bambu sebagai bahan beton hijau. Melalui pemanfaatan bambu sebagai energi terbarukan, berkelanjutan, ramah lingkungan, dan hemat biaya sebagai bahan pengganti sebagian agregat kasar alami (NCA) pada beton hijau ini diharapkan dapat menjadi solusi preventif untuk menekan tingginya emisi C02 pada beton di Indonesia.
Pembahasan
Proses pembuatan beton hijau ini seperti membuat beton pada umumnya. Hanya saja sebagian agregat kasar alami yang digunakan diganti dengan menggunakan bambu moso. Komposisi untuk membuat beton hijau ini diantaranya semen portland dengan kadar 42,5, pasir alami sebagai agregat halus, batu pecah sebagai agregat kasar alami, dan bahan tambahan seperti polikarboksilat. Penggunaan polikarboksilat cair ini berfungsi untuk mereduksi air sebesar 18% – 20%. Ketebalan agregat bambu yang digunakan bervariasi, pada ketebalan 7mm akan menggantikan batu pecah dengan rasio volume 3:8:1, dan untuk agregat bambu dengan ketebalan 6mm, 9mm, 12mm menggantikan batu pecah dengan rasio pencampuran 1:1:0,85. Beton ini menggunakan uji silinder dengan diameter 15 cm × 30 cm dengan pengujian kuat tekan pada beton umur 28 hari.
Untuk membuat beton hijau ini langkah pertama yang dilakukan adalah membuat agregat bambu dengan membelah batang bambu menjadi potongan berbentuk balok. Membuat campuran mortar epoksi dengan rasio 2:1:10, lalu potongan bambu dituangkan kedalam mortar dan diaduk selama 10-20 menit. Setelah itu dituangkan dalam plastik dan ditunggu selama 24 jam. Ketebalan total lapisan mortar epoksi berkisar antara 0,2 – 1,0 mm. Mortar agregat bambu dikeringkan secara alami didalam ruangan selama 2 – 4 hari.
Langkah kedua yaitu menyiapkan campuran beton. Pertama memasukkan semen, batu pecah, pasir, kedalam molen truk dan diaduk kering selama 3 menit, lalu masukkan 0,5 air dan polikarboksilat kedalam molen truk dan diaduk selama 3 menit, kemudian tambahkan agregat bambu dan tambahkan 0,5 air beserta polikarboksilat dan aduk selama 5 menit. Setelah pencampuran merata, campuran beton hijau dituangkan ke dalam cetakan silinder. Setelah 24 jam, cetakan diangkat dan melakukan curing beton di dalam air selama 28 hari. Setelah 28 hari, beton dilakukan uji kompresi aksial untuk mendapatkan nilai kuat tekan pada beton. Nilai kuat tekan beton ini berpengaruh terhadap kemampuan untuk menahan beban tekan tanpa mengalami keruntuhan.
Hasil pengujian yang dilakukan oleh (Wang et al., 2024) didapatkan nilai kurva tegangan-regangan turun hingga hampir 0 setelah mencapai puncak, sesuai dengan mode kegagalan getas. Namun, serat – serat pada beton agregat bambu ini membentuk struktur seperti jaringan pada beton, sehingga akan menghambat penyebaran retakan. Selain itu, penggantian agregat kasar alami dengan agregat bambu dapat mengurangi tegangan puncak dan deformasi pada beton menjadi semakin lebih baik.
Simpulan
Agregat bambu pada beton hijau merupakan inovasi yang signifikan dalam pengembangan material konstruksi dan pengurangan emisi karbondioksida yang dihasilkan selama produksi beton. Agregat bambu tidak hanya meningkatkan sifat mekanik beton namun dapat mendukung keberlanjutan dalam industri konstruksi dengan memanfaatkan material terbarukan dan ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan bambu kita diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada material yang berpotensi merusak lingkungan, seperti pasir dan batu pecah. Selain itu penggunaan agregat bambu dapat membantu dalam pengolahan limbah dikarenakan banyaknya jenis bambu yang tidak digunakan dari hasil pemangkasan atau limbah pertanian.
Adapun saran dari penulis untuk inovasi ini adalah mengembangkan riset lebih lanjut dengan memperhatikan proporsi optimal pada penggunaan agregat bambu sebagai campuran beton, karena apabila proporsi yang digunakan tidak sesuai maka beton yang dihasilkan akan memiliki nilai kuat tekan yang rendah dan tidak memenuhi standar untuk aplikasi struktural.
References
Abellan-Garcia, J., Martinez, D. M., Khan, M. I., Abbas, Y. M., & Pellicer-Martínez, F. (2023). Environmentally friendly use of rice husk ash and recycled glass waste to produce ultra-high-performance concrete. Journal of Materials Research and Technology, 25, 1869–1881. https://doi.org/10.1016/j.jmrt.2023.06.041
Kanagaraj, B., Anand, N., Praveen, B., Kandasami, S., Lubloy, E., & Naser, M. Z. (2023). Physical characteristics and mechanical properties of a sustainable lightweight geopolymer based self-compacting concrete with expanded clay aggregates. Developments in the Built Environment, 13. https://doi.org/10.1016/j.dibe.2022.100115
Ma, Q., Shi, Y., Ma, D., Huang, K., & Yang, X. (2023). Effect of sludge ceramsite particle grade on static and dynamic mechanical properties of alkali-activated slag lightweight concrete at early age. Journal of Building Engineering, 69. https://doi.org/10.1016/j.jobe.2023.106330
Mahmoud, H. A., Tawfik, T. A., Abd El-razik, M. M., & Faried, A. S. (2023). Mechanical and acoustic absorption properties of lightweight fly ash/slag-based geopolymer concrete with various aggregates. Ceramics International, 49(13), 21142–21154. https://doi.org/10.1016/j.ceramint.2023.03.244
Su, Q., & Xu, J. (2023). Mechanical properties of concrete containing glass sand and rice husk ash. Construction and Building Materials, 393. https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2023.132053
Tayeh, B. A., Ahmed, S. M., & Hafez, R. D. A. (2023). Sugarcane pulp sand and paper grain sand as partial fine aggregate replacement in environment-friendly concrete bricks. Case Studies in Construction Materials, 18. https://doi.org/10.1016/j.cscm.2022.e01612
Wang, G., Wei, Y., Zhu, B., Wang, J., Chen, S., & Huang, S. (2024). Stress-strain relationship of biomass concrete with bamboo as coarse aggregates under uniaxial compression. Journal of Materials Research and Technology, 32, 1011–1027. https://doi.org/10.1016/j.jmrt.2024.07.218
Kerennn 👍