Pagar Alga: Benteng Ekologis di Tengah Hiruk Pikuk Perkotaan

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 337

Ditulis oleh Muhamad Farhandhika Darajat

Perkotaan telah menjadi pusat aktivitas manusia, pertumbuhan ekonomi, dan kegiatan industri dalam beberapa dekade terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk di perkotaan akan mencapai angka sebesar 60% dari total seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2025. Hal ini mengalami peningkatan, jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang hanya sekitar 56,7%. Proses urbanisasi yang terus terjadi di perkotaan menyebabkan peningkatan jumlah populasi, dampak negatif yang ditimbulkan pun makin terasa, seperti halnya penurunan kualitas udara yang diakibatkan oleh emisi gas karbon dioksida (CO2). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan bahwa kawasan perkotaan menghasilkan lebih dari 70% emisi karbon global.

Polusi udara berupa gas karbon dioksida yang dihasilkan dari kendaraan, pembangkit listrik, dan kegiatan industri di perkotaan dapat menyebabkan berbagai dampak negatif bagi manusia dan lingkungan. Bagi manusia, paparan polusi udara yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan. Selain itu, polusi udara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam, yaitu menurunnya pH air hujan karena bereaksi dengan polutan-polutan yang menumpuk di atmosfer sehingga air hujan yang turun bersifat asam dan menyebabkan kerusakan serius pada lingkungan, seperti pengasaman danau dan sungai (Budiyono, 2010). Karbon dioksida juga merupakan salah satu gas yang dapat menyebabkan efek rumah kaca.

Efek rumah kaca terjadi ketika gas karbon terkumpul di atmosfer dan mengakibatkan panas matahari yang dipancarkan tidak bisa dipantulkan kembali karena terhalang oleh lapisan gas rumah kaca yang menebal. Hal ini dapat mengakibatkan suhu di bumi menjadi lebih panas dan berdampak pada kelangsungan hidup yang ada di bumi. Akibat yang ditimbulkan dari efek gas rumah kaca yaitu terjadinya pemanasan global yang berdampak pada kenaikan permukaan air laut, penurunan produktivitas lahan pertanian, peningkatan risiko wabah penyakit, bahkan punahnya beberapa jenis keanekaragaman hayati (Surtani, 2015).

Dampak berbahaya dari efek gas rumah kaca membuat masyarakat perkotaan mencari cara untuk menekan jumlah emisi karbon yang dihasilkan. Salah satu cara yang sering diterapkan di perkotaan yaitu penyerapan karbon melalui vegetasi pada ruang terbuka hijau. Tumbuhan hijau memiliki peran penting untuk menyerap gas CO2 dan menghasilkan gas O2 yang dilepaskan ke udara. Akan tetapi, ruang terbuka hijau membutuhkan lahan yang besar agar bisa efektif dalam mengurangi emisi gas CO2 yang dihasilkan oleh lingkungan perkotaan yang padat. Selain itu, tanaman darat juga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk tumbuh dan efektif dalam menyerap karbon di udara. Hal ini menjadi tantangan tersendiri di tengah keterbatasan lahan, sehingga dibutuhkan alternatif lain yang lebih efisien dan inovatif untuk diterapkan di daerah perkotaan.

Salah satu solusi yang dapat menjawab tantangan tersebut adalah dengan cara memanfaatkan alga sebagai penyerap karbon. Alga merupakan salah satu organisme fotosintetik yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni yang tumbuh di air (Rizald et al., 2015). Proses fotosintesis pada alga membutuhkan sinar matahari sebagai sumber energi dan gas CO2 untuk melangsungkan hidupnya. Fotosintesis yang dilakukan oleh alga memungkinkan mereka mengubah gas CO2 dan air menjadi oksigen dan biomassa yang efisien, hal ini karena alga hanya terdiri dari sel tunggal, yang masing-masing dapat berfotosintesis (Oktopa dan Prihatmiji, 2020). Selain itu, alasan pemilihan alga sebagai penyerap emisi karbon adalah, meskipun jumlah biomassa mikroalga hanya sekitar 0,05% biomassa tumbuhan darat, tetapi jumlah karbon yang diserap dalam proses fotosintesis sama dengan jumlah karbon yang digunakan tumbuhan untuk berfotosintesis (Setiawan, 2008). Hal ini berarti, mikroalga sangat efisien dalam menyerap lebih banyak karbon dalam area yang terbatas dibandingkan dengan tumbuhan darat.

Mikroalga seperti Chlorella mampu menyerap emisi karbon lebih cepat dan pertumbuhannya yang pesat sehingga dapat menghasilkan biomassa yang besar dalam waktu yang relatif singkat. Cheah et al. (2015) menyatakan bahwa, Chlorella sebagai salah satu jenis alga hijau diketahui dapat menyerap emisi gas CO2 hingga 1,83 ton per ton biomassa yang dihasilkan. Hal ini menjadikan mikroalga jenis Chlorella sebagai solusi inovatif untuk meningkatkan kualitas udara lingkungan perkotaan yang padat emisi.

Pemanfaatan alga sebagai penyerap emisi karbon dapat dipadukan dengan arsitektur perkotaan melalui pemanfaatan fotobioreaktor dalam konsep pagar alga. Fotobioreaktor merupakan suatu system untuk membudidayakan alga secara monokultur dan merupakan bagian dari penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) (Tjahjono & Wibowo, 2010). Pagar alga dirancang untuk meningkatkan kualitas udara di perkotaan dengan menghasilkan oksigen dan menyerap emisi CO2 melalui fotosintesis alga. Sistem bioreaktor diposisikan di antara dua akrilik dan alga tumbuh dalam cairan yang berisi nutrisi. Pagar alga dapat ditempatkan di berbagai sudut perkotaan, seperti ruang-ruang yang terbatas, sehingga sangat sesuai untuk lingkungan perkotaan yang padat.

Pagar alga merupakan solusi inovatif dan relevan mengenai kebutuhan untuk mengurangi dampak efek rumah kaca dan pemanasan global pada lingkungan perkotaan yang padat. Inovasi pagar alga yang memadukan fungsi ekologis ke dalam arsitektur perkotaan yang modern, menciptakan kota yang tidak hanya lebih hijau dan estetik, melainkan sehat dan berkelanjutan. Alga memiliki kemampuan menyerap CO2 lebih besar daripada tanaman darat, yang membuatnya efektif untuk menurunkan emisi gas CO2 di daerah padat, sehingga penerapan pagar alga juga memberikan dampak sosial dan ekonomi, seperti meningkatnya kualitas udara hingga mengurangi beban kesehatan akibat polusi udara.

Meski pemanfaatan alga sebagai penyerap emisi karbon dapat dikatakan sebagai solusi yang inovatif dan efisien, tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Alga dapat berkembang biak dalam waktu yang relatif cepat dalam beberapa kondisi, seperti paparan sinar matahari dan nutrisi yang berlebihan. Pertumbuhan alga yang berlebihan dan tidak terkontrol dapat membuat air menjadi pekat, kotor dan berbau tidak sedap, sehingga mengurangi daya tarik dan estetika. Selain itu, media kultur alga juga berisiko terkontaminasi oleh logam berat yang berbahaya, parasit, serangga, atau organisme lain yang tidak diinginkan.

Pagar alga dirancang sebagai struktur yang memadukan konsep fotobioreaktor dengan elemen arsitektur, yaitu pagar. Panel bioreaktor terbuat dari akrilik atau tempered glass yang cukup tebal untuk menahan air. Rangka yang digunakan untuk menyokong bioreaktor menggunakan bahan seperti baja atau alumunium yang ringan dan kuat. Panel-panel dihubungkan dengan sambungan logam, dengan struktur penguat di bagian bawah dan atas. Ukuran bioreaktor memiliki tinggi 1,5-2 meter, panjang sekitar 1-2 meter, dan lebar sekitar 25-30 cm. Air yang digunakan dapat ditambahkan nutrisi untuk mendukung pertumbuhan alga, seperti nitrogen dan fosfor. Pada bagian atas atau di sekitar panel dapat ditambahkan lampu LED untuk menambah keindahan pada malam hari. Penutup pada bagian atas bioreaktor menggunakan filter udara agar sirkulasi udara tetap terjaga dan mencegah bioreaktor terkontaminasi oleh organisme lain.

Setiap panel dapat dilengkapi dengan sistem sensor kualitas air yang terhubung dengan smartphone sehingga pemantauan dapat dilakukan secara real-time. Bagian bawah atau samping pagar disarankan untuk dilengkapi dengan tanaman tambahan untuk menciptakan ilusi alami antara organisme air dan darat. Desain pagar ini dapat diaplikasikan sebagai pembatas, area hijau, atau penambah estetika di lanskap-lanskap perkotaan.

Inovasi pagar alga memberikan manfaat yang sangat cocok bagi lingkungan perkotaan yang kualitas udaranya seringkali tidak sehat sebagai akibat dari aktivitas manusia yang menghasilkan emisi karbon. Beberapa manfaat dari adanya pagar alga ini bagi lingkungan perkotaan adalah: 1) sebagai penyerap emisi karbon dalam jumlah lebih tinggi yang sering dihasilkan oleh kendaraan ataupun aktivitas industri; 2) membantu memperbaiki kualitas udara menjadi lebih sehat; 3) mengurangi efek panas berlebih yang terjadi di daerah perkotaan karena akumulasi gas rumah kaca; 4) menambah nilai estetika dengan tampilan warna hijau yang dihasilkan oleh alga sehingga tampak menarik.

Pagar alga ini dalam penerapannya, terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu, efektif dalam menyerap emisi CO2, menjadi solusi arsitektural yang ramah lingkungan dan estetik, serta dapat diimplementasikan pada ruang perkotaan yang padat. Sedangkan kekurangannya terletak pada potensi terjadinya pertumbuhan alga yang berlebihan yang dapat mempengaruhi estetika serta keterbatasan cahaya pada area padat yang dapat mempengaruhi pertumbuhan alga. Peningkatan minat terhadap teknologi hijau dan solusi berkelanjutan serta dukungan pemerintah dalam mengurangi emisi karbon dapat menjadi peluang dalam penerapan pagar alga ini. Selain itu, kemungkinan alga lepas ke ekosistem lokal dan berpotensi mengganggu kesimbangan ekosistem alami dapat menjadi ancaman penerapan pagar alga.

Alga merupakan salah satu organisme yang bisa berfotosintesis dengan memanfaatkan cahaya matahari dan karbon dioksida, serta dapat melepaskan oksigen ke udara. Hal ini membuat alga menjadi salah satu organisme yang berpotensi untuk mengatasi emisi karbon di perkotaan. Perpaduan antara budidaya alga dengan arsitektur melahirkan sebuah karya yang inovatif yaitu pagar alga. Kemampuan alga yang dapat menyerap emisi CO2 dan menghasilkan oksigen, pagar alga menjadi solusi inovatif dan efisien bagi daerah perkotaan untuk memperbaiki kualitas lingkungannya. Meskipun terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi, potensi jangka panjang penerapan pagar alga dalam meningkatkan kualitas udara dan nilai estetika kota sangat menjanjikan.

Pagar alga ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat perkotaan untuk meningkatkan kualitas udara di lingkungan sekitarnya, serta dapat menjadi suatu teknologi baru yang inovatif dan mendukung keberlanjutan di masa depan. Proses implementasi gagasan ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor serta dukungan dari berbagai pihak supaya bisa berhasil dalam skala besar.

DAFTAR PUSTAKA

Bps.go.id. (2020, 17 September). Persentase Penduduk Daerah Perkotaan Hasil Proyeksi Penduduk Menurut Provinsi, 2015 – 2035. Diakses pada 26 Oktober 2024, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/1/MTI3NiMx/persentase-penduduk-daerah-perkotaan-hasil-proyeksi-penduduk-menurut-provinsi–2015—2035.html.

Budiyono, A. (2010). Pencemaran udara: dampak pencemaran udara pada lingkungan. Berita Dirgantara, 2(1).

Cheah, W. Y., Show, P. L., Chang, J.-S., Ling, T. C., & Juan, J. C. (2015). Biosequestration of atmospheric CO2 and flue gas-containing CO2 by microalgae. Bioresource Technology, 184, 190–201.

Hendra Tjahjono & Kusno Wibowo. (2010). Dasar-Dasar Pengoperasian Fotobioreaktor Skala Laboratorium Menggunakan Mikroalga untuk Penyerap Emisi CO2. Jurnal Teknik Lingkungan, 11(3), 475-480.

Oktopa, H. J., & Prihatmaji, Y. P. (2020). Re-design Shophouse Building dengan Pendekatan sistem alga untuk Mengurangi Urban Carbon 5Print di Geylang Singapura.

Perpustakaan.menlhk.go.id.(2018). Mengukur dan Reduksi Gas Rumah Kaca. Diakses pada 10 Oktober 2024 dari http://perpustakaan.menlhk.go.id/pustaka/home/index.php?page=detail_news&newsid=474#:~:text=Gas%2Dgas%20rumah%20kaca%20itu,dan%20bahan%20bakar%20organik%20lain.

Rizald Max, Nickson, Kawung dan Sandra. (2015). Bahan Bakar Nabati. Yogyakrata: Penerbit Deepublish.

Setiawan, A., Kardono, D., AD, S., Panggabean, L., Radini, D., & Sapulete, S. (2008). Teknologi Penyerapan Karbondioksida dengan Kultur Fitoplankton pada Fotobioreaktor. ITB, Bandung.

Setoaji, L., & Hermana, J. (2013). Pengaruh Aerasi dan Sumber Nutrien Terhadap Kemampuan Alga Filum Chlorophyta Dalam Menyerap Karbon (Carbon Sink) Untuk Mengurangi Emisi CO2 Di Kawasan Perkotaan. Jurnal Teknik ITS, 2(2), D69-D73.

Surtani, S. (2015). Efek Rumah Kaca Dalam Perspektif Global (Pemanasan Global Akibat Efek Rumah Kaca). Jurnal Geografi, 4(1), 49-55.

Unfcc.int. (2020, 5 Oktober). Urban Climate Action Is Crucial to Bend the Emissions Curve. Diakses pada 24 Oktober 2024 dari https://unfccc.int/news/urban-climate-action-is-crucial-to-bend-the-emissions-curve.

Widyakusuma, A. (2024). Inovasi Arsitektur dalam Bentuk Fasad Cerdas Bangunan untuk Mengatasi Polusi Udara Jakarta. TRAVE, 28(1), 1-14.

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 4.4 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 7

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment