bangunan cerdas

Peran Pengaplikasian Perkembangan Teknologi IoT dalam Menciptakan Bangunan Pintar Ramah Lingkungan dan Efisien Energi

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 14

Ditulis oleh Mochamad Zaky Pradana

Saat ini, isu terkait energi sangatlah ramai dibicarakan. Pasalnya, keberadaan energi sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Energi telah dimanfaatkan secara menyeluruh di berbagai sektor kehidupan manusia, terutama pada revolusi industri 4.0 saat ini. Energi menjadi elemen utama untuk mendukung segala perkembangan yang ada. Menurut Badan Energi Internasional (2022), pada tahun 2030 permintaan energi akan meningkat sebanyak dua per tiga kali penggunaan energi saat ini. Namun, hal ini sangat berbanding terbalik dengan ketersediaan energi yang ada pada saat ini, yaitu bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil termasuk ke dalam sumber energi tak terbarukan dan membutuhkan waktu yang lama untuk membentuknya. Berdasarkan statistik, pada tahun 2021, pemaanfaatan bahan bakar fosil masih menjadi pilihan utama sebagai sumber energi, sebanyak 44% pemanfaatan energi global berasal dari bahan bakar fosil (Aliero, 2021). Dengan kondisi yang bertolak belakang tersebut dapat menyebabkan permintaan atas sumber daya energi menjadi lebih besar dibanding pasokannya. Hal tersebutlah yang dapat membuat kriris energi terjadi. Krisis energi mampu memberikan dampak buruk yang luar biasa. Harga sandang, pangan, dan papan dapat naik berkali – kali lipat dibuatnya. Apabila tak dapat diatasi dengan segera, kriris energi dapat berubah menjadi krisis kemanusiaan (Chestruca dan Braga, 2023). Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Pembakaran yang dilakukan saat pengolahaan bahan bakar fosil melepaskan begitu banyak gas emisi yang menjadi penyebab utama terbentuknya gas rumah kaca dan menyebabkan pemanasan global. Hal itu sangatlah merusak lingkungan (Setyono dan Kiono, 2021). Keadaan ini mendorong manusia untuk melakukan pencegahan dan mitigasi dengan kebijakan – kebijakan yang berkelanjutan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dapat terus berjalan.

Mengacu pada salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Pembangunan Berkelanjutan, yaitu nomor 7 tentang Energi Bersih dan Terjangkau, energi di masa depan haruslah mampu untuk mencukupi kebutuhan bagi setiap manusia. Tidak hanya itu, konsumsi dari energi yang digunakan haruslah bersih dan tidak melepaskan senyawa berbahaya yang mampu merusak lingkungan (Sekretariat Nasional SDGs, n.d.). Menanggapi hal itu, Elektrifikasi dianggap menjadi solusi utama untuk hal ini. Elektifikasi merupakan langkah untuk mengganti ketergantungan perangkat, sistem, atau proses terhadap penggunaan energi fosil menjadi energi listrik. Sejak abad ke 19, perkembangan terkait elektrifikasi membawa banyak perubahan dan memiliki andil besar dalam revolusi industri. Elektrifikasasi memiliki keunggulan dalam efisiensi energi, penurunan biaya energi, derkabonisasi, peningkatan kualitas udara, dan fleksibiltas sistem tenaga (Gomstyn dan Jonker, 2024). Tren elektrifikasi semakin meningkat setelah adanya Perjanjian Paris pada 2015 di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) tentang perubahan iklim. Selaras dengan tujuannya untuk mengurangi gas rumah kaca dan mencegah perubahan ilkim semakin memburuk, elektrifikasi mampu untuk menghasilkan energi dari sumber energi baru terbarukan dan konsumsi energi yang ramah lingkungan (United Nations Climate Change, n.d.). Walaupun elektrifikasi terkesan sudah dapat menjadi solusi yang mutakhir. Namun, tetap saja hadir tantangan baru yang harus dihadapi. Peningkatan populasi, keterbasan lahan, dan pendanaan awal yang besar menjadi tantangan utama (Lestari, 2021). Maka dari itu, pembahasan berlanjut pada bagaimana membuat sebuah sistem elektfikasi yang dapat memberikan efisiensi yang tinggi untuk mengatasi tantang tersebut.

Sektor bangunan telah menjadi salah satu elemen yang sudah diberlakukan pengaplikasian dari sistem elektrifikasi. Hal ini disebabkan karena bangunan merupakan salah satu fokus signifikan dalam upaya dekarbonisasi dan komitmen dunia untuk mencapai skenario Net Zero Emission pada tahun 2050. Saat ini, pengoperasian bangungan menyumbang sebanyak 30% dari konsumsi energi akhir global dan 26% dari emisi terkait energi global, dimana 8% merupakan emisi langsung dari bangunan dan 18% adalah emisi tidak langsung (berasal dari listrik dan panas yang digunakan) (International Energy Agency, n.d.). Apabila tidak ada tindakan segera, hal ini tidak selinier dengan lintasan yang diantisipasi untuk menuju dekarbonisasi. Selain itu, proyeksi menunjukkan peningkatan yang signifikan pada luas lantai bangunan global, diperkirakan akan bertambah sebesar 75% dalam tiga dekade ke depan. Tantangan besar lainnya dalam menetapkan baseline emisi adalah luas lantai yang saat ini sudah digunakan, di mana sekitar dua pertiga dari luas tersebut diperkirakan masih akan tetap ada pada tahun 2040 (International Energy Agency, 2022). Maka dari itu, dengan mengaplikasikan sistem elektrifikasi pada bangunan dapat memberikan keuntungan yang besar, tidak hanya pada manusia tetapi juga pada lingkungan. Namun, pengaplikasian elektrifikasi saat ini masih belum mencapai nilai efisien yang diharapkan. Kemudian, fakta mengejutkan bahwa energi listrik konvensional yang digunakan pada bangunan saat ini diproduksi dari sumber energi tak terbarukan seperti menggunakan batu bara (Kementrian ESDM RI, 2021). Hal ini memberikan tantangan baru untuk membuat bangunan yang efisien energi dan energi yang berasal dari sumber energi bersih.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, solusi yang dapat dilakukan adalah dengan mengimplementasikan teknologi – teknologi yang sudah berkembang pada saat ini. Teknologi yang efektif untuk ini adalah teknologi yang telah berkembang sampai pada timbulnya konektivitas dan interaksi tanpa batas dan secara real time antara manusia, mesin, dan sumber daya lainnya untuk menciptakan efisiensi dan optimalisasi secara maksimal. Teknologi ini adalah Internet of Things (IoT). Dengan adanya IoT, diproyeksikan mampu mentranformasikan sistem ketenagaan listrik saat ini, yang awalnya hanya mengkonsumsi menjadi memproduksi, menyimpan, dan menjualnya sehingga bangunan menjadi sebuah elemen yang mandiri kelistrikan. Kemudian, dengan diiringi perkembangan teknologi otomatisasi dan analisis, pemanfaatan IoT menjadi lebih efektif dalam memanajemen ketersedian energi dalam suatu bangunan sehingga meningkatkan nilai efisiensinya (Kementrian ESDM RI, 2018). Tidak hanya sampai disitu, seiring berjalannya waktu, IoT juga mengalami perkembangan. Internet of Everything (IoE) merupakan bentuk yang lebih baru dari IoT dan apabila diterapkan di bangungan, diproyeksikan mampu mewujudkan bentuk bangunan yang memiliki kemampuan untuk memanajemen efisiensi energi yang lebih efektif. IoE memiliki banyak simpul kontrol dan router yang memungkinan pengendalian pada berbagai tingkatan. Informasi dapat mengalir antara dua node dengan transmisi dari satu titik ke titik lainnya, sementara informasi juga terus dibuat, diduplikasi, dan disimpan. Berdasarkan hal itu, IoE mampu untuk mengintegrasikan berbagai sumber energi terbarukan ke dalam jaringan listrik untuk menyediakan energi bersih dan ramah lingkungan ke dalam bangunan, sekaligus membantu dalam proses monitoring dan tracking terkait permintaan dan pemasokan energi melalui sensor – sensor yang saling terintegrasi. Kemudian, dalam hal penyimpanan energi, baterai sebagai komponen untuk meningkatkan efisien energi dan stabilitas jaringan listrik yang terhubung menjadi lebih terkontrol. Baterai yang terhubung melalui IoE dapat secara otomatis mendistribusikan daya cadangan ke jaringan ketika terjadi kelebihan beban atau lonjakan, serta membantu menghindari pemadaman dengan cepat (Nguyen, dkk., 2018). Tampak jelas bahwa IoE mampu meningkatkan efisiensi jaringan secara keseluruhan melalui koordinasi yang lebih cerdas dan responsif.

Pengaplikasian IoE tidak hanya berhenti pada proses produksi, penyimpanan, dan distribusi energi pada bangunan. Namun, juga mendorong terbentuknya sebuah sistem yang dikenal sebagai Smart Home Energy Management System atau SHEMS. Sistem tersebut mewujudkan komunikasi timbal balik antara pusat distribusi data, meteran pintar, SHEMS, dan peralatan rumah tangga. Komunikasi ini penting bagi SHEMS untuk menganalisis dan memprediksi sumber energi yang paling ekonomis serta menentukan waktu terbaik untuk mengalihkan konsumsi energi rumah tangga ke energi terbarukan, guna menekan biaya listrik konvensional. Dengan pertukaran data, SHEM dapat mengelola prioritas permintaan energi saat permintaan atau harga sedang tinggi, memastikan efisiensi tanpa konsumsi berlebihan. Misalnya, meteran pintar membantu penghuni menghemat biaya energi dengan menyediakan informasi seperti jumlah listrik yang dipakai, estimasi harga satuan, dan perkiraan biaya di masa depan. SHEMS dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama, yaitu pengontrol prediktif dan non–prediktif. Pengontrol prediktif dirancang agar untuk mengotomatisasi segala bentuk penggunaan atau penonaktifan peralatan di bangunan tanpa ada campur tangan pengguna, sedangkan Pengontrol non-prediktif memberikan kesempatan kepada pengguna untuk mengelola peralatan di bangunan dimanapun dan kapanpun hanya melalui gawai yang terintegrasi dengan SHEMS (Aliero, 2021). Melalui SHEMS, konsumsi energi di dalam bangunan menjadi selalu terkontrol dan terpantau secara real time, memungkinkan pengguna untuk mengoptimalkan penggunaan energi dan mencegah pemborosan. SHEMS juga berpotensi meningkatkan kesadaran pengguna tentang pentingnya pengelolaan energi yang bertanggung jawab, karena mereka dapat melihat secara langsung dampak dari konsumsi energi mereka terhadap tagihan dan lingkungan. Ke depan, dengan semakin berkembangnya teknologi dan adopsi energi terbarukan, SHEMS diharapkan akan terus berinovasi dan berkontribusi pada sistem energi yang lebih pintar dan berkelanjutan.

Pembahasan terkait energi menjadi salah satu pembahasan paling penting saat ini. Keberadaannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama saat ini memiliki banyak kekurangan. Ketersediannya yang semakin berkurang dan dampak pengolahan yang berbahaya bagi lingkungan. Elektrifikasi dapat menjadi jawabannya tetapi masih perlu ditingkatkan efisiensinya. Bangunan sebagai sektor konsumsi terbesar menjadi fokus utama untuk langkah awal menyelesaikan permasalahan ini. Optimalisasi dan meningkatkan efisiensi menjadi poin utama. Pemanfaatan teknologi, seperti IoT dapat menjadi jalan keluarnya. IoT membantu dalam interaksi tanpa batas antara manusia, mesin, dan sumber daya secara realtime dan membentuk sebuah sistem yang tidak hanya mengkonsumsi tetapi juga memproduksi, menyimpan, dan mendistribusi. Hal ini sangat membantu dalam mengoptimalkan pemanfaatan energi sehingga menjadi lebih efisien dan terkontrol.

DAFTAR PUSTAKA

.

.

.

.

.

.

.

.

  .

.

.

.

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 0 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 0

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment