Mengintegrasikan Ruang Terbuka Hijau dalam Desain Perkotaan Modern
Ditulis oleh I Putu Pradhiepa Ananta Raka
Pada tahun 2023, kualitas udara di Indonesia menurun secara keseluruhan, terutama di Jakarta, ibu kota yang berada di pulau Jawa, serta di beberapa kota besar di Sumatera dan Kalimantan. Selain sumber antropogenik perkotaan seperti transportasi, industri, pembangkit listrik, pembakaran terbuka, perumahan, dll., kembalinya El Niño pada tahun 2023 akan membawa musim kemarau yang lebih kering dari biasanya. Ini akan menyebabkan polusi udara meningkat karena curah hujan yang lebih rendah dan meningkatnya risiko kebakaran hutan dan lahan (Katherine Hasan, 2024). Pencemaran udara adalah salah satu masalah lingkungan paling mendesak di dunia saat ini. Di Indonesia, isu ini juga telah menjadi topik yang tak terpisahkan dari diskusi publik belakangan ini karena telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan (HUMAS, 2023).
(Gambar 1 : Data mengenai 10 kota di Indonesia dengan frekuensi kualitas udara terburuk tahun 2023)
Dalam beberapa pekan terakhir, polusi udara telah menjadi subjek diskusi yang menarik. Salah satu masalah lingkungan terbesar di dunia adalah polusi udara. Kualitas udara yang buruk berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan secara keseluruhan (Adel Andila Putri, 2023). Seiring dengan meningkatnya polusi udara, aktivitas sosial manusia juga terganggu. Polusi udara yang tinggi mengurangi kualitas hidup, oleh karena itu daya dukung lingkungan juga terancam. Selain itu, polusi udara juga berdampak pada ekosistem yang mendukung kehidupan. Dengan demikian, peningkatan polusi udara tidak hanya memengaruhi kesehatan manusia tetapi juga daya dukung lingkungan.
Sangat sulit untuk menyeimbangkan kebutuhan sosial dan daya dukung lingkungan. Aktifitas sosial didorong oleh tekanan kependudukan yang tinggi. Sayangnya, tidak ada ruang hijau yang cukup di Indonesia untuk ini. Di antara banyaknya asap kendaraan bermotor, jumlah pohon di kota lebih sedikit. merusak keseimbangan dan kualitas udara di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami pentingnya memiliki area hijau khusus di ruang terbuka (Mita Defitri, 2023).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang, jalur, atau mengelompok yang memiliki penggunaan yang lebih terbuka di mana tanaman tumbuh, baik yang ditanam secara alami maupun yang ditanam secara sengaja. Ruang terbuka hijau publik merujuk pada RTH yang dikelola dan dimiliki oleh pemerintah daerah kota atau kabupaten, yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat secara umum (Admindpu, 2019). RTH publik adalah komponen krusial dalam pengembangan dan pemanfaatan RTH secara keseluruhan, karena selain memberikan manfaat positif bagi lingkungan, juga menyediakan ruang bagi masyarakat untuk beraktivitas serta merasakan manfaat sosial dan psikologis dari kehadiran ruang hijau di area perkotaan. Secara fisik, RTH dapat dibagi menjadi dua kategori: RTH alami, yang mencakup habitat liar alami, kawasan lindung, dan taman-taman nasional; dan RTH nonalami, yang mencakup taman, lapangan olahraga, dan kebun bunga. RTH dapat memiliki berbagai fungsi, termasuk ekologis, sosial dan budaya, arsitektural, dan ekonomi. RTH yang ramah lingkungan dapat meningkatkan kualitas air tanah, membantu menghentikan banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan suhu di kota (Agung Dwiyanto, 2009). Dalam konteks desain perkotaan modern yang ramah lingkungan, integrasi ruang terbuka hijau (RTH) menjadi aspek krusial yang tidak hanya berfokus pada estetika, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat.
Ruang terbuka hijau (RTH) sangat penting dalam perkotaan kontemporer. Salah satu peran pentingnya adalah meningkatkan kualitas udara. Tumbuhan hijau di ruang terbuka membantu meningkatkan kualitas udara di sekitarnya dengan menyerap polutan udara. RTH juga membantu meningkatkan keindahan kota. Konsep ini meningkatkan kualitas lingkungan urban dan menambah keindahan visual kota dengan pemandangan hijau. Konsep ini membantu menyelaraskan aspek visual perkotaan, memberikan keseimbangan dan keindahan dalam tata kota. Dari perspektif sosial, RTH memberikan tempat berkumpul bagi masyarakat dan membantu memperkuat ikatan sosial dan memfasilitasi interaksi antar individu (Karim Armando, 2024). Dengan adanya RTH, masyarakat memiliki ruang yang nyaman untuk berkomunikasi, berbagi aktivitas, dan mempererat hubungan, yang merupakan komponen penting dari keharmonisan sosial di perkotaan.
Selama pembangunan perkotaan yang lebih luas, ada banyak tantangan dalam menciptakan dan melindungi ruang terbuka hijau. Misalnya, lokasi yang akan dibangun untuk penggunaan akhir yang ramah lingkungan sering mengalami masalah fisik (misalnya, pemadatan tanah) dan masalah kimia (misalnya, kontaminasi), yang harus diperbaiki sebelum penanaman vegetasi. Kualitas lingkungan yang lebih luas (misalnya, polusi udara), dan bagaimana lokasi diposisikan terhadap infrastruktur hijau yang ada yang dapat berubah sebagai akibat dari pembangunan lainnya juga akan memengaruhi keberlanjutan. Faktor sosial seperti persepsi, vandalisme, dan ketakutan kriminal juga akan sangat memengaruhi keberhasilan rencana apapun (Forest Research, n.d.). Dilansir dari sumber yang dibaca, untuk membangun ruang terbuka hijau atau taman, diperlukan investasi awal yang besar dan biaya pemeliharaan yang berkelanjutan. Biaya tinggi juga menjadi faktor penghambat dalam pengembangan RTH. Anggaran untuk proyek-proyek ini sangat sulit bagi banyak pemerintah daerah (Rohima, 2022). Dalam kasus Jakarta, contoh menunjukkan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan bahwa setidaknya 30% dari luas kota harus ditetapkan sebagai RTH, hanya sekitar 9,84% dari luas kota tersebut ditetapkan sebagai RTH pada tahun 2011 (Ayu, 2019). Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara kebutuhan akan lahan untuk RTH dan infrastruktur lainnya.
Memasukkan ruang terbuka hijau (RTH) dalam desain perkotaan modern sangat penting untuk mendukung kualitas hidup yang lebih baik dan lingkungan yang lebih berkelanjutan. Studi di Indonesia menunjukkan bahwa memperkuat kebijakan politik yang mendukung perluasan RTH dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait seperti pemerintah, arsitek, pengembang, dan masyarakat. Misalnya, perlu dikembangkan Rencana Induk RTH yang terintegrasi dengan jaringan jalan dan ruang hijau, meskipun Jakarta masih membutuhkan lebih banyak ruang hijau. Ini akan memungkinkan penyebaran taman yang lebih merata (Retno Setiowati, 2020). Pembangunan taman kecil di area terbatas juga bisa menjadi alternatif. Misalnya, mengubah area kosong atau lahan tidur di sekitar permukiman menjadi taman komunitas dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap ruang terbuka hijau (Kota dan Jalur Hijau Jalan Sebagai Ruang Terbuka Hijau Publik di BanjarBaru et al., n.d.). Pemerintah, arsitek, pengembang properti, dan masyarakat harus bekerja sama untuk membuat RTH yang efektif dan berkelanjutan. Pendekatan partisipatif dalam perencanaan ruang terbuka hijau akan memastikan keberlanjutan lingkungan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Memiliki luasan RTH terbesar di dunia sebesar 47% dari wilayahnya, Singapura adalah salah satu negara yang paling sukses (Setiowati et al. 2018; CUGE 2011; Jurnal Lanskap Indonesia, 2020). Karena proporsi capaian RTH, Singapura disebut “Singapore as a Garden City”. Perencanaan RTH Singapura dimulai pada tahun 60-an oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Itu dilakukan dengan menggabungkan Rencana Biru, yang lebih dikenal sebagai Konsep Biru Hijau, dengan satu sama lain (CUGE, 2011; Rowe dan Hee, 2009; Jurnal Lanskap Indonesia, 2020).
Kota ini dapat menjadi inspirasi bagi kota lain, termasuk di Indonesia, untuk mengembangkan strategi serupa untuk menciptakan ruang terbuka hijau yang lebih baik dan lebih terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan.
Oleh karena itu, ruang terbuka hijau sangat penting untuk keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat perkotaan kontemporer. Dalam perencanaan kota yang akan datang, meningkatkan dan mempertahankan keberadaan RTH harus menjadi prioritas utama.
Peningkatan polusi udara di Indonesia, terutama pada tahun 2023, telah memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup warga dan kelestarian lingkungan. Fenomena perubahan iklim, khususnya kembalinya El Niño yang menyebabkan musim kemarau lebih panjang, memperburuk kondisi ini, dengan memperbesar potensi terjadinya kebakaran hutan serta penurunan curah hujan yang berdampak langsung pada kualitas udara. Oleh karena itu, integrasi ruang terbuka hijau (RTH) dalam desain perkotaan modern menjadi hal yang sangat penting sebagai solusi untuk mengurangi polusi udara serta menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih berkelanjutan. RTH tidak hanya memberikan manfaat ekologis seperti mengurangi polusi udara dan menurunkan suhu, tetapi juga berfungsi sebagai ruang sosial yang mempererat hubungan antarindividu di masyarakat kota.
Untuk mencapai tujuan ini, setiap kota, termasuk Jakarta, perlu memperkuat kebijakan yang mendukung pengembangan dan pengelolaan ruang terbuka hijau (RTH). Pengembangan Rencana Induk RTH yang terintegrasi dengan jaringan jalan dan ruang biru harus menjadi prioritas utama, dengan melibatkan kerja sama antara pemerintah, perencana kota, pengembang, dan masyarakat. Di samping itu, konsep taman komunitas atau taman kecil di lahan terbatas dapat menjadi solusi praktis untuk memperluas akses masyarakat terhadap ruang hijau di perkotaan.
Mengambil contoh dari kota-kota yang telah berhasil mengintegrasikan RTH dengan baik, seperti Singapura, dapat memberi inspirasi bagi kota-kota di Indonesia untuk merancang dan mengelola ruang terbuka hijau secara lebih inovatif dan berkelanjutan. Dengan pendekatan yang inklusif dan mendukung kelestarian lingkungan, diharapkan RTH dapat menjadi bagian integral dalam desain perkotaan modern, memberikan manfaat jangka panjang bagi lingkungan dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adel Andila Putri. (2023, August 17). Bukan Jakarta yang Pertama, Ini 10 Kota dengan Kualitas Udara Terburuk di Indonesia. Goodstats.
Admindpu. (2019, August 29). Ruang Terbuka Hijau. Https://Dpu.Kulonprogokab.Go.Id/.
Agung Dwiyanto. (2009). AGUNG_DWIYANTO.pdf.crdownload.
Ayu, A. P. (2019). PERAN RUANG TERBUKA HIJAU DALAM CITRA KOTA Studi Kasus: Taman Suropati, Jakarta. Jurnal Ilmiah Desain & Konstruksi, 18(1), 53–66. https://doi.org/10.35760/dk.2019.v18i1.1958
Forest Research. (n.d.). Practical considerations and challenges to greenspace. Forest Research.
HUMAS. (2023, September 14). Peningkatan Polusi Udara di Indonesia: Perspektif Ekonomi Berdasarkan Teori Freakonomics Read more: https://setkab.go.id/peningkatan-polusi-udara-di-indonesia-perspektif-ekonomi-berdasarkan-teori-freakonomics/. SetKab.
Karim Armando. (2024, February 5). Mengungkap Manfaat dan Peran Penting Ruang Terbuka Hijau dalam Kota Modern. SobatBangun.
Katherine Hasan. (2024, April 5). Indonesia’s air quality: Decline in 2023 due to lack of intervention and El Niño. What about 2024? . CREA.
Kota dan Jalur Hijau Jalan Sebagai Ruang Terbuka Hijau Publik di BanjarBaru, T., Widiastuti Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik, K., Lambung Mangkurat Jl Yani Km, U. A., & Selatan, K. (n.d.). TAMAN KOTA DAN JALUR HIJAU JALAN SEBAGAI RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI BANJARBARU.
Mita Defitri. (2023, March 7). Kondisi Ruang Terbuka Hijau di Indonesia. Waste4change.
Retno Setiowati, dkk. (2020, September 25). Studi Komparasi Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Antara Jakarta dan Singapura. Journal.Ipb.
Rohima, A. P. (2022). FAKTOR PENGHAMBAT PENGELOLAAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA JAMBI. Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 2(1), 206–220. https://doi.org/10.53363/bureau.v2i1.26
KELAZZZZ KING
emot api emot api emot api