Solusi Desain Ramah Lingkungan Untuk Bangunan di Perkotaan
Ditulis oleh Melda Kalera
Indonesia sebagai negara yang berkembang dengan tingkat urbanisasi yang meningkat maka kebutuhan akan solusi desain bangunan yang ramah lingkungan di wilayah metropolitan juga semakin meningkat. Untuk mengakomodasi populasi yang terus bertambah seperti di kota-kota besar misalnya Jakarta, Surabaya, dan Bandung dengan cepat mengembangkan infrastruktur mereka. Namun, ekspansi ini sering kali menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam konsumsi energi, emisi karbon, dan polusi udara. Kondisi ini menarik perhatian akan pentingnya prinsip-prinsip desain yang menjaga keseimbangan lingkungan selain memenuhi kebutuhan ruang. Oleh karena itu, pendekatan desain ramah lingkungan atau green building sangat relevan dan diperlukan untuk menciptakan bangunan yang lebih berkelanjutan dan mampu menangani tantangan lingkungan dalam jangka panjang untuk membangun bangunan yang lebih berkelanjutan.[1]
Meningkatnya permintaan akan perumahan dan infrastruktur yang disebabkan oleh urbanisasi yang didorong oleh migrasi dan pertumbuhan penduduk sumber daya alam berada di bawah tekanan yang luar biasa, dan degradasi lingkungan menjadi semakin buruk. Teknik pembangunan yang peka terhadap lingkungan dimasukkan sebagai komponen utama dari desain kota berkelanjutan, yang bertujuan untuk mengubah pendekatan konvensional terhadap perencanaan kota. Selain membangun bangunan, tujuannya adalah untuk menciptakan daerah perkotaan yang tangguh dan ramah lingkungan yang menunjukkan pertumbuhan yang bertanggung jawab.[2]
Bangunan ramah lingkungan, sebagaimana didefinisikan oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 8/2010, adalah bangunan yang menerapkan prinsip-prinsip lingkungan ke dalam desain, konstruksi, operasi, dan administrasinya. Hal ini merupakan komponen penting dalam untuk bangunan yang ada di perkotaan. Desain pasif (alami), yang mempertimbangkan karakteristik fisik bangunan, iklim, dan elemen desain lainnya seperti orientasi bangunan, bentuk, peneduh matahari, dan sebagainya, dapat digunakan untuk menciptakan struktur yang ramah lingkungan.[3]
Desain ramah lingkungan tidak hanya berfokus pada estetika bangunan, tetapi juga pada upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta menjaga keseimbangan ekosistem di sekitar perkotaan. Arsitektur hijau, yang sering dikenal sebagai arsitektur ramah lingkungan, menggabungkan keselarasan antara lingkungan alam dan manusia. Aspek lain dari arsitektur hijau meliputi ruang, waktu, lingkungan alam, faktor sosial budaya, dan metode konstruksi. Hal ini menunjukkan bahwa berbeda dengan bangunan pada umumnya, arsitektur hijau itu rumit, padat, dan esensial.[4]
Tujuan utama bangunan hijau adalah untuk mengurangi dampak negatif dari lingkungan binaan secara keseluruhan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Keran hemat air yang mendistribusikan air dalam jumlah tertentu adalah salah satu contoh bagaimana bangunan hijau dibuat untuk menggunakan energi, air, dan sumber daya lainnya dengan bijak. Selain itu, dengan mendesain lingkungan yang dapat melindungi dan meningkatkan produktivitas manusia di tempat kerja, desain ini juga memprioritaskan kesehatan penghuninya. Selain itu, bangunan hijau berupaya mengurangi polusi, limbah, dan kerusakan lingkungan secara drastis.[5]
Gambar 1 Bangunan Hijau
Dalam hal konstruksi, bangunan hijau mengatasi masalah ekologi, sosial, dan ekonomi. Memanfaatkan data dan teknologi digital, “bangunan pintar” yang menggabungkan sistem teknologi bangunan mempromosikan bangunan hijau. Schneider Electric memprioritaskan teknologi dengan memanfaatkan otomatisasi, optimalisasi, dan sistem pengukuran berbasis Internet of Things untuk segala hal, mulai dari peningkatan hingga pemeliharaan dan pemantauan.[6] Jadi, bangunan hijau juga merupakan salah satu solusi desain ramah lingkungan yang mana memberikan prioritas pertama pada kemiskinan dan efisiensi energi. Gagasan ini mencakup sumber energi terbarukan seperti panel surya, manajemen udara yang efektif, dan penggunaan bahan ramah lingkungan. Green Building Council Indonesia (GBC Indonesia) di Indonesia menetapkan pedoman untuk bangunan hijau yang menggunakan bahan daur ulang, efisiensi energi, dan konservasi udara. Bangunan dapat meningkatkan kualitas udara dan mengurangi dampak karbon dengan menerapkan ide-ide ini.[7]
Desain bangunan hijau sangat bergantung pada area hijau vertikal seperti taman di atap gedung dan dinding hijau. Di daerah metropolitan yang memiliki masalah polusi, area hijau ini membantu menyerap karbon dioksida dan polutan lainnya, sehingga meningkatkan kualitas udara. Selain itu, efek pulau panas perkotaan, yang lazim terjadi di kota-kota besar, dapat dikurangi dengan adanya tanaman di permukaan bangunan. Selain itu, ruang hijau vertikal menjaga keanekaragaman hayati dengan menjadi habitat berbagai spesies tanaman dan hewan. Dari segi penampilan dan kesehatan, area hijau ini mempercantik bangunan dan menawarkan keuntungan psikologis termasuk pengurangan stres dan peningkatan kesehatan mental bagi penghuni bangunan.[8]
Selain bangunan hijau, dinding hijau adalah cara kreatif untuk membudidayakan tanaman dengan menggunakan ruang vertikal. Dengan mengumpulkan karbon dioksida dan polutan lainnya, hal ini tidak hanya meningkatkan estetika bangunan tetapi juga meningkatkan kualitas udara. Menurut penelitian, dinding hijau dapat menghemat konsumsi energi pendingin hingga 30%. Selain itu, masuknya ruang hijau dapat membantu penghuni secara psikologis dengan menurunkan stres dan meningkatkan kesehatan mental.[9]
Gambar 2 Dinding Hijau
Salah satu langkah yang juga sangat penting adalah penggunaan bahan daur ulang dalam konstruksi bangunan. Penggunaan material bangunan yang ramah lingkungan dan memiliki emisi karbon rendah sangat penting untuk mengurangi dampak lingkungan dari proses konstruksi dan pengoperasian bangunan. Hal ini memungkinkan untuk menggunakan material seperti kayu reklamasi, baja, dan kaca tanpa mengorbankan kualitas. Metode ini menurunkan jumlah limbah yang dihasilkan selama proses pembangunan selain menggunakan lebih sedikit sumber daya alam. Misalnya, beton daur ulang yang bisa digunakan kembali dari limbah bangunan atau jalan yang sudah tidak terpakai, sehingga mengurangi kebutuhan beton baru yang emisi karbonnya cukup tinggi.[10]
Gambar 3 Bahan Daur Ulang
Selain itu, dengan menggunakan aliran udara alami, sistem ventilasi alami membantu mengurangi kebutuhan pendinginan buatan. Untuk meningkatkan sirkulasi udara, desain yang cerdas harus mempertimbangkan orientasi bangunan serta posisi jendela dan ventilasi. Selain menghemat energi, hal ini membuat lingkungan sekitar lebih menyenangkan bagi penghuninya.[11] Sebagaimana menurut Istiqomah dan Hanas (2011:38) menyatakan bahwa udara segar diperlukan di dalam rumah untuk mengatur kelembapan dan suhu ruangan, dengan suhu optimal setidaknya 4°C lebih rendah dari suhu di luar. Orang dewasa membutuhkan sekitar 33 m³ pergantian udara bersih setiap jamnya, dengan kelembapan ideal sekitar 60%, dan suhu ruangan antara 22°C dan 30°C dianggap cukup baik. Luas lubang ventilasi tetap minimum 5% dari permukaan lantai dan ventilasi bergerak dengan luas minimal 5% adalah dua standar untuk ventilasi dalam ruangan, yang seharusnya mencapai 10-15% dari ukuran ruangan. Udara yang masuk harus bebas polusi, aliran udara harus nyaman tanpa membuat orang kedinginan, serta sebaiknya menggunakan ventilasi silang (cross ventilation) untuk sirkulasi yang lebih baik.[12]
Gambar 4 Ventilasi Alami
Yang terakhir ini juga tidak kalah penting untuk menjadi solusi ramah lingkungan seperti sistem penampungan air hujan adalah cara praktis untuk memenuhi kebutuhan air untuk berbagai penggunaan, termasuk penyiraman taman, irigasi tanaman, dan bahkan pembilasan toilet. Khususnya di tempat-tempat dengan pasokan air yang terbatas, teknik ini menghemat sumber daya air dengan mengurangi jumlah air bersih yang dikonsumsi dari sumber utama. Jumlah limpasan air hujan yang dapat menyebabkan banjir di daerah metropolitan juga berkurang dengan adanya curah hujan yang ditampung. Selain itu, karena sebagian air diserap atau digunakan di tempat, sistem pengumpulan dan penyimpanan air hujan dapat mengurangi tekanan pada sistem pembuangan limbah kota, menurunkan bahaya banjir dan genangan air dan meningkatkan ketahanan lingkungan perkotaan.[13]
Gambar 5 Penampungan Air Hujan
Jadi, dapat di simpulkan bahwa dengan meningkatnya urbanisasi di Indonesia, kebutuhan akan desain bangunan yang ramah lingkungan semakin mendesak, terutama di wilayah metropolitan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Pendekatan desain bangunan hijau menjadi sangat relevan untuk mengatasi tantangan lingkungan, termasuk konsumsi energi yang tinggi, emisi karbon, dan polusi udara. Melalui penerapan ruang hijau vertikal, penggunaan bahan daur ulang, sistem ventilasi alami, dan pengelolaan air hujan, bangunan dapat dirancang untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Desain ini tidak hanya berfokus pada estetika tetapi juga pada keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem, dengan tujuan menciptakan lingkungan perkotaan yang tangguh dan ramah lingkungan. Dengan implementasi prinsip-prinsip bangunan hijau, kita dapat memenuhi kebutuhan akan perumahan dan infrastruktur tanpa mengorbankan kualitas lingkungan, serta mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan untuk masa yang akan datang.
Referensi:
Betapramestiasia, ‘Pengelolaan Air Hujan’, Beta Pramesti Asia, 2024 <https://beta.co.id/pengelolaan-air-hujan/> [accessed 5 November 2024]
Femi Oluwatoyin Omole, Oladiran Kayode Olajiga, and Tosin Michael Olatunde, ‘Sustainable Urban Design: A Review of Eco-Friendly Building Practices and Community Impact’, Engineering Science & Technology Journal, 5.3 (2024), pp. 1020–30, doi:10.51594/estj.v5i3.955
Hanum, Meivirina, and Chairul Murod, ‘Efisiensi Energi Pada “Smart Building” Untuk Arsitektur Masa Depan’, Proiding Seminar Nasional AVoER Ke-4, 2011, pp. 26–27
Justyna, Matuszak, ‘Solusi Bangunan Hijau Untuk Masa Depan Yang Berkelanjutan’, KNOWHOW, 2024 <https://knowhow.distrelec.com/energy-and-power/green-buildings-solutions-for-sustainable-future/> [accessed 5 November 2024]
Karuniastuti, Nurhenu, ‘Bangunan Ramah Lingkungan’, Forum Teknologi, 05.1 (2016), pp. 8–15 <http://ejurnal.ppsdmmigas.esdm.go.id/sp/index.php/swarapatra/article/view/110/94>
Melinda, Widi Auliya, ‘Solusi Desain Ramah Lingkungan Untuk Bangunan Di Perkotaan’, CEDSGREEB, 2024 <https://cedsgreeb.org/kompetisi-esai/desain-ramah-lingkungan/> [accessed 5 November 2024]
Nurhadi, Muhammad Arsy, ‘Dinding Hijau (Green Walls): Solusi Berkelanjutan Untuk Desain Bangunan Perkotaan’, CEDSGREEB, 2024 <https://cedsgreeb.org/kompetisi-esai/dinding-hijau/> [accessed 5 November 2024]
Rahayu, Elis Sri, and Auliani Noor Faizah, ‘Integrasi Ekosistem Alami Dalam Desain Arsitektur Untuk Mendukung Keanekaragaman Hayati’, Jurnal ALiBi-Jurnal Arsitektur Dan Lingkungan Binaan, 1.01 (2024), pp. 28–38
Simbolon, Hendra, and Irma Novrianty Nasution, ‘Desain Rumah Tinggal Yang Ramah Lingkungan Untuk Iklim Tropis’, EDUCATION BUUILDING, 3 (2017), pp. 47–59 <https://www.researchgate.net/profile/Irma-Nasution-2/publication/328121082_DESAIN_RUMAH_TINGGAL_YANG_RAMAH_LINGKUNGAN_UNTUK_IKLIM_TROPIS/links/619c68ea3068c54fa5129801/DESAIN-RUMAH-TINGGAL-YANG-RAMAH-LINGKUNGAN-UNTUK-IKLIM-TROPIS.pdf>
Catatan penomoran referensi:
Femi Oluwatoyin Omole, Oladiran Kayode Olajiga, and Tosin Michael Olatunde, ‘Sustainable Urban Design: A Review of Eco-Friendly Building Practices and Community Impact’, Engineering Science & Technology Journal, 5.3 (2024), pp. 1020–30, doi:10.51594/estj.v5i3.955. ↑
Femi Oluwatoyin Omole, Oladiran Kayode Olajiga, and Tosin Michael Olatunde. ↑
Hendra Simbolon and Irma Novrianty Nasution, ‘Desain Rumah Tinggal Yang Ramah Lingkungan Untuk Iklim Tropis’, EDUCATION BUUILDING, 3 (2017), pp. 47–59 <https://www.researchgate.net/profile/Irma-Nasution-2/publication/328121082_DESAIN_RUMAH_TINGGAL_YANG_RAMAH_LINGKUNGAN_UNTUK_IKLIM_TROPIS/links/619c68ea3068c54fa5129801/DESAIN-RUMAH-TINGGAL-YANG-RAMAH-LINGKUNGAN-UNTUK-IKLIM-TROPIS.pdf>. ↑
Nurhenu Karuniastuti, ‘Bangunan Ramah Lingkungan’, Forum Teknologi, 05.1 (2016), pp. 8–15 <http://ejurnal.ppsdmmigas.esdm.go.id/sp/index.php/swarapatra/article/view/110/94>. ↑
Karuniastuti. ↑
Matuszak Justyna, ‘Solusi Bangunan Hijau Untuk Masa Depan Yang Berkelanjutan’, KNOWHOW, 2024 <https://knowhow.distrelec.com/energy-and-power/green-buildings-solutions-for-sustainable-future/> [accessed 5 November 2024]. ↑
Widi Auliya Melinda, ‘Solusi Desain Ramah Lingkungan Untuk Bangunan Di Perkotaan’, CEDSGREEB, 2024 <https://cedsgreeb.org/kompetisi-esai/desain-ramah-lingkungan/> [accessed 5 November 2024]. ↑
Elis Sri Rahayu and Auliani Noor Faizah, ‘Integrasi Ekosistem Alami Dalam Desain Arsitektur Untuk Mendukung Keanekaragaman Hayati’, Jurnal ALiBi-Jurnal Arsitektur Dan Lingkungan Binaan, 1.01 (2024), pp. 28–38. ↑
Muhammad Arsy Nurhadi, ‘Dinding Hijau (Green Walls): Solusi Berkelanjutan Untuk Desain Bangunan Perkotaan’, CEDSGREEB, 2024 <https://cedsgreeb.org/kompetisi-esai/dinding-hijau/> [accessed 5 November 2024]. ↑
Melinda. ↑
Meivirina Hanum and Chairul Murod, ‘Efisiensi Energi Pada “Smart Building” Untuk Arsitektur Masa Depan’, Proiding Seminar Nasional AVoER Ke-4, 2011, pp. 26–27. ↑
Simbolon and Nasution. ↑
Betapramestiasia, ‘Pengelolaan Air Hujan’, Beta Pramesti Asia, 2024 <https://beta.co.id/pengelolaan-air-hujan/> [accessed 5 November 2024]. ↑