Desain Biofilik: Inovasi Desain Bangunan Ramah Lingkungan Sebagai Investasi Masa Depan Yang Berkelanjutan

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 40

Ditulis oleh Zakiyyah

Sumber: architecturecourses.org

“Desain biofilik bukan hanya sebuah tren, tapi kebutuhan masa depan yang berkelanjutan.”

Fenomena berkembang pesatnya laju urbanisasi menjadi isu global terkini. Berdasarkan data dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sebesar 65% penduduk negara berkembang dan 90% penduduk negara maju akan bertempat tinggal di perkotaan pada tahun 2050 (Haase et al., 2018). Indonesia menjadi salah satu negara dengan laju urbanisasi tertinggi di dunia yaitu sebesar 56,64% pada tahun 2020 (United Nations dalam Kurniati et al., 2022). Urbanisasi memberikan tekanan besar bagi perkotaan dalam penyediaan pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Selain itu, tingginya tingkat urbanisasi juga beriringan dengan konflik antara manusia dengan lingkungan (Che & Yang, 2024). Hal tersebut terjadi karena pembangunan massal untuk penyediaan kebutuhan infrastruktur dan pelayanan publik seringkali tidak terkendali dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan. Pembangunan lebih cenderung mengutamakan kepentingan ekonomi, dibanding keberlanjutan untuk generasi mendatang.

Pembangunan infrastruktur menjadi salah satu fokus pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002). Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bangunan gedung merupakan wujud fisik hasil pembangunan infrastruktur dalam penyediaan fasilitas penunjang aktivitas manusia.

Industri konstruksi bangunan gedung sangat berpengaruh dalam peningkatan emisi karbon. Hal tersebut terjadi karena penyediaan bangunan gedung sebagai bagian dari pembangunan modern sangat tergantung pada material non-organik yang diproduksi melalui proses kimiawi dan pembakaran, seperti semen, keramik, kaca, baja, dan sebagainya (Karyono, 2015). Berbagai material bangunan yang bersifat non-organik tersebut menyebabkan peningkatan emisi karbon. Hal tersebut selaras dengan temuan Chen et al. (2022) dalam Myint & Shafique (2024) yang menunjukkan bahwa semen, baja, dan batu bata secara kolektif menyumbang lebih dari 70% emisi karbon. Selain itu, data Global Status Report for Buildings and Construction 2022 dalam Myint & Shafique (2024) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan emisi karbon dari kegiatan konstruksi bangunan sebesar 5% dari tahun 2020 dan telah melampaui titik tertinggi sebelumnya yaitu sebesar 2% pada tahun 2019. Berdasarkan data Global Carbon Budget 2023, Indonesia sebagai penyumbang terbesar ke-6 emisi karbon global.

Gambar 1. Kontribusi Material Bangunan terhadap Emisi Karbon

Sumber: Myint & Shafique (2024)

Industri konstruksi bangunan gedung telah melakukan berbagai upaya sebagai bentuk dekarbonisasi bangunan, salah satunya adalah bangunan gedung ramah lingkungan melalui desain biofilik. Desain biofilik ini berkembang pada abad ke-19. Desain biofilik bukan hanya sebuah tren, tapi kebutuhan masa depan yang berkelanjutan. Desain biofilik adalah sebuah konsep desain arsitektur yang menekankan hubungan alami antara manusia dan alam untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui interaksi dengan unsur-unsur alam (Bungawali & Satwikasari, 2024). Konsep ini menarik bagi arsitek dan desainer sebagai pendekatan untuk menciptakan lingkungan yang harmonis, produktif, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.

Desain biofilik menjadi inovasi yang tepat dalam mewujudkan desain bangunan ramah lingkungan. Desain biofilik sangat mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (Zhong et al., 2022). Hal tersebut terlihat dari peran desain biofilik dalam mendukung tujuan ke-3, 7, 12, dan 13. Desain biofilik berkontribusi besar pada tujuan ke-3 (Good Health and Well-Being) yaitu desain biofilik dapat mengurangi polusi udara dan mengoptimalkan kualitas udara (Aydogan & Cerone, 2020), mengoptimalkan kenyaman termal (Hoelscher et al., 2016) dan meningkatkan emosi positif (Mandasari et al., 2017). Desain biofilik mendukung tujuan ke-7 (Affordable and Clean Energy) yaitu desain biofilik dapat mengurangi penggunaan energi dengan pendingin pasif pada bangunan (Sudimac et al., 2019). Desain biofilik mendukung tujuan ke-12 (Responsible Consumption and Production) yaitu desain biofilik menggunakan material lokal dan varietas tanaman asli (Kellert, 2018). Desain biofilik mendukung tujuan ke- 13 (Climate Action) yaitu desain biofilik mengurangi efek Urban Heat Island (Kabisch et al., 2017) dan peka terhadap iklim setempat (Beatley & Newman, 2013).

Gambar 2 Desain biofilik sebagai desain ramah lingkungan yang mendukung pembangunan berkelanjutan

Sumber: Zhong et al. (2022)

  Prinsip dasar desain biofilik terdiri dari 14 pola desain biofilik yang terbagi menjadi tiga kategori yaitu nature in the space patterns, nature analogues patterns, dan nature of the space patterns (Browning et al., 2014). Prinsip pertama, nature in the space patterns adalah konsep yang mengutamakan kehadiran nyata dari berbagai unsur alam dengan integrasi berbagai elemen alam ke dalam bangunan gedung, seperti tumbuhan, binatang, air, angin, dan sebagainya. Pola desain biofilik nature in the space patterns terdiri dari 7 jenis yaitu (1) visual connection with nature, (2) non-visual connection with nature, (3) non rhythmic sensory stimuli, (4) thermal and airflow variability, (5) presence of water, (6) dynamic and diffuse light, dan (7) connection with natural system. Prinsip kedua, nature analogues patterns adalah prinsip desain yang meningkatkan hubungan manusia dengan alam melalui penggunaan unsur alam ke dalam desain. Implementasi prinsip ini terlihat dari penggunaan objek, bahan, warna, bentuk, dan pola yang terinspirasi oleh alam dan diaplikasikan dalam seni, ornamen, furnitur, dan dekorasi. Pola desain biofilik nature analogues patterns terdiri dari 3 jenis, yaitu (1) biomorphic forms, (2) material connection with nature, dan (3) complexity and order. Prinsip ketiga, nature of the space patterns menjelaskan bagaimana bentuk dan kualitas ruang dapat menciptakan pengalaman mirip dengan berada di lingkungan alam bagi penggunanya. Pola desain biofilik nature of the space patterns terdiri dari 4 jenis, yaitu (1) prospect, (2) refuge, (3) mystery, dan (4) risk/peril.

Beberapa bentuk implementasi desain biofilik sebagai solusi desain bangunan ramah lingkungan yaitu penggunaan jendela yang lebar dan tinggi serta penggunaan green wall di dalam bangunan gedung sebagai bentuk penerapan prinsip visual connection with nature. Desain biofilik berupaya menyediakan akses visual (pandangan/pemandangan) secara langsung terhadap elemen alam, sistem kehidupan dan proses alamiah yang ada di luar ruangan maupun di dalam ruangan. Penggunaan jendela yang lebar dan tinggi tersebut dapat meningkatkan kinerja pencahayaan alami dan mengurangi penggunaan lampu, sehingga berdampak pada penghematan energi (Alhagla et al., 2019). Jendela tersebut dapat membantu meminimalkan penggunaan pemanas dan pendingin buatan dalam sebuah bangunan. Sementara itu, green wall dapat berkontribusi dalam mengurangi konsumsi energi bangunan dan menawarkan layanan ekosistem, iklim dan keuntungan sosial, seperti pengurangan kebisingan, penghilangan polutan, dan menurunkan suhu udara yang berkontribusi pada kenyamanan termal luar ruangan (Susca et al., 2022).

Gambar 3 Optimalisasi jendela yang lebar dan tinggi

Sumber: https://sumbersetia.com;

Gambar 4 Green wall di dalam ruangan

Sumber:https://plantscape.com

Implementasi desain biofilik lainnya sebagai solusi desain bangunan ramah lingkungan yaitu penggunaan material bangunan alami sebagai bentuk penerapan pola desain material connection with nature. Desain biofilik berupaya menggunakan bahan dan material alami tanpa banyak modifikasi, seperti bambu, kayu, dan tanaman hijau lainnya yang dapat mengurangi emisi karbon. Penggunaan material berkelanjutan tersebut dapat mengurangi emisi karbon sebesar 30% (Gonzalez & Navarro, 2006). Selain itu, penggunaan material alami berpengaruh baik terhadap tingkat kesehatan pengguna karena material alami tidak mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh (Ramadhan et al., 2021).

Gambar 5 Penggunaan rumput sebagai green roof di Bandara Banyuwangi

Sumber: https://una.city/nbs/blimbingsari/green-roof-banyuwangi-international-airport

Gambar 6 Penggunaan bambu dalam desain Bandara Banyuwangi

Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/01/09/bandara-ramah-lingkungan-pertama-di-indonesia-terapkan-desain-efisien

Desain biofilik menjadi salah satu inovasi desain bangunan yang ramah lingkungan. Berbagai prinsip desain biofilik sangat mengutamakan peran lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan. Pengintegrasian unsur alami dalam desain bangunan gedung dapat menurunkan emisi karbon dan mengurangi fenomena pemanasan global.

.

.

Daftar Pustaka

Alhagla, K., Mansour, A., & Elbassuoni, R. (2019). Optimizing windows for enhancing daylighting performance and energy saving. Alexandria Engineering Journal, 58(1), 283–290.

Aydogan, A., & Cerone, R. (2020). Review of the effects of plants on indoor environments. Indoor Built Environ.

Beatley, T., & Newman, P. (2013). Biophilic cities are sustainable, resilient cities. Sustain, 5, 3328–3345.

Browning, W., Ryan, C., & Clancy, J. (2014). 14 Pattern of Biophilic Design. New York. Terrapin Bright Green ILC.

Bungawali, N., & Satwikasari, A. F. (2024). Kajian Konsep Arsitektur Biofilik Pada Bangunan Science Center (Studi Kasus : Ecorium National Institute of Ecology, South Korea). PURWARUPA Jurnal Arsitektur, 8(1), 83. https://doi.org/10.24853/purwarupa.8.1.83-90

Che, W., & Yang, C. (2024). Human awareness and behavior on the driving of sustainable city environment. Sustainable Cities and Society, 112, 105604. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.scs.2024.105604

Gonzalez, M. ., & Navarro, J. G. (n.d.). Assessment of the decrease of CO2 emissions in the construction field through the selection of materials: Practical case study of three houses of low environmental impact, Build. Environ, 41 (7), 902–909. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.buildenv.2005.04.006.

Haase, D., Güneralp, B., Dahiya, B., Bai, X., & Elmqvist, T. (2018). Global urbanization: Perspectives and trends. Urban Planet: Knowledge towards Sustainable Cities, April, 19–44.

Hoelscher, M. T., Nehls, T., Ja¨nicke, B., & Wessolek, G. (2016). Quantifying cooling effects of facade greening: shading, tran_spiration and insulation. Energy Build.

Kabisch, N., Korn, H., Stadler, J., & Bonn, A. (2017). Nature-Based Solutions to Climate Change Adaptation in Urban Areas—Linkages Between Science, Policy and Practice. Springer, 1–11. https://doi.org/10.1007/978-3-319-56091-5_1

Kellert, S. R. (2018). Nature by Design: The Practice of Biophilic Design. Yale University Press.

Kurniati, S. A., Rahayu, P., & Istanabi, T. (2022). Peri-Urbanisasi Dan Dinamika Perkembangan Kawasan Perkotaan Sekunder (Studi Kasus: Bosukawonosraten). Desa-Kota, 4(2), 167. https://doi.org/10.20961/desa-kota.v4i2.55247.167-180

Mandasari, A., Gamal, A., 2017. Biophilia as a factor of consumer preferences in choosing residential property product. In: ICCREM 2017 Real Estate Urban. – Proc. Int. Conf. Constr. Real Estate Manag, vol. 2017, pp. 15e26.

Myint, N. N., & Shafique, M. (2024). Embodied carbon emissions of buildings: Taking a step towards net zero buildings. Case Studies in Construction Materials, 20(December 2023), e03024. https://doi.org/10.1016/j.cscm.2024.e03024

Ramadhan, B. M., Pribadi, I. G. O. S., & Rosnarti, D. (2021). Penggunaan Material Ramah Lingkungan Pada Bangunan Terminal Bandar Udara Dewadaru. Prosiding Seminar Intelektual Muda, 3(1), 322–329. https://doi.org/10.25105/psia.v3i1.13061

Sudimac, B., Ilic, B., Muncan, V., & AnCelkovic, A. S. (2019). Heat flux transmission assessment of a vegetation wall influence on the building envelope thermal conductivity in Belgrade climate. Clean. Prod.

Susca, T., Zanghirella, F., Colasuonno, L., & Del Fatto, V. (2022). Effect of green wall installation on urban heat island and building energy use: A climate-informed systematic literature review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 159.

Tri Harso Karyono. (2015). Pemanasan Bumi sebagai Konsekuensi Pembangunan Modern yang Tidak Terkontrol mewadahinya . Diperlukan bangunan , jalan , jembatan dan sebagainya untuk mengakomodir manusia yang lebih tinggi . Transportasi cepat dan nyaman , bangunan indah dan nyaman , seca. July.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002

Zhong, W., Schröder, T., & Bekkering, J. (2022). Biophilic design in architecture and its contributions to health, well-being, and sustainability: A critical review. Frontiers of Architectural Research, 11(1), 114–141. https://doi.org/10.1016/j.foar.2021.07.006

.

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 5 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 2

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment