Transformasi Bangunan Hijau Dengan Teknologi Cerdas untuk Efisiensi Energi
Ditulis oleh Sitti Khairunnisak
Dalam era modern ini, banyaknya bangunan merupakan tantangan perubahan iklim, dan tuntunan untuk mengurangi emisi karbon, menciptakan lingkungan yang berkelanjutan semakin mendesak. Sebuah penelitian oleh Erfian (2024) menganalisis faktor emisi CO2 dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara menggunakan data dari Continuous Emission Monitoring System (CEMS). Hasilnya menunjukkan bahwa faktor emisi CO2 untuk 30 unit PLTU batubara antara 2021 hingga 2023 adalah: 1.767,997 ± 294,231 kg CO2 per ton batubara, 107.170,581 ± 19.173,240 kg CO2 per terajoule (TJ), dan 1.065,033 ± 166,245 kg CO2 per megawatt-jam (MWh). Kapasitas pembangkit berhubungan positif dengan faktor emisi, sedangkan nilai kalor berhubungan negatif. Penelitian lain menunjukkan sektor energi menghasilkan 641,46 kg CO2 per tahun, sektor transportasi 39,99 kg CO2 per tahun, dan sektor limbah 8,72 kg CO2 per tahun, total emisi karbon mencapai 654,29 kg CO2 per tahun, setara dengan penanaman sekitar 24 pohon. Konsumsi energi yang berlebihan tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga berdampak negatif pada kelangsungan hidup bumi.
Dalam menghadapi krisis energi global dan dampak negatif perubahan iklim, upaya mengurangi konsumsi energi di dalam bangunan telah menjadi salah satu prioritas utama. Bangunan konvensional sering kali menyia-nyiakan energi melalui sistem pemanas, ventilasi, dan pendingin udara (HVAC) yang tidak terkelola dengan baik, serta pencahayaan yang tidak efisien. Kondisi ini menjadi latar belakang yang mendorong pengembangan sistem kontrol berbasis teknologi terkini untuk mengoptimalkan penggunaan energi dalam bangunan cerdas [1].
Konsep smart building (bangunan pintar) memiliki pendekatan deskriptif yang cukup luas. Salah satu definisi yang bisa diambil adalah integrasi sistem antara teknologi informasi dan komunikasi (ICT) sebagai elemen pendukung dalam bangunan, yang dapat mencakup ruang hunian, kantor, dan lainnya. Hal ini bertujuan untuk mendukung kinerja fungsional gedung, menghemat energi, memberikan dampak positif terhadap lingkungan, serta meningkatkan keamanan penghuni. Seperti, sensor cahaya dan suhu dapat secara cerdas mengatur pencahayaan dan pendinginan sesuai dengan kebutuhan ruangan, sehingga dapat mengurangi pemborosan energi yang tidak diperlukan [2].
Inovasi teknologi telah menjadi bagian yang sangat penting di berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pengelolaan bangunan. Bangunan cerdas, atau smart buildings, merupakan salah satu inovasi yang muncul sebagai respon terhadap kebutuhan akan efisiensi, kenyamanan, dan keberlanjutan lingkungan. Bangunan cerdas mengintegrasikan berbagai teknologi mutakhir, termasuk Internet of Things (IoT), untuk menciptakan sistem yang lebih responsif, adaptif, dan efisien [3].
Salah satu elemen kunci dalam bangunan cerdas adalah penggunaan teknologi sensor IoT, yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi energi. Selama tahun 1990-an, sinkronisasi data, kontrol proses industri, dan sistem akuisisi mulai populer dalam industri listrik. Pada fase awal, IoT mulai memberikan kontribusi positif bagi sektor ini dengan mengurangi risiko kehilangan output atau pemadaman melalui pemantauan dan pengaturan peralatan serta operasi. Masalah utama yang dihadapi oleh pembangkit listrik mencakup ketergantungan, efisiensi, dampak lingkungan, dan kebutuhan pemeliharaan. Tingginya tingkat kehilangan energi dan ketidak andalan sering kali disebabkan oleh penuaan peralatan yang digunakan dalam industri tenaga listrik dan kurangnya pemeliharaan yang memadai [4]. Dengan adanya bangunan cerdas, dukungan teknologi IoT, dan regulasi pemerintah, percepatan transformasi wilayah menjadi Smart City dapat terwujud.
Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam konteks ini adalah cara teknologi IoT dapat diterapkan dengan efektif di berbagai jenis bangunan, mulai dari gedung perkantoran hingga rumah tinggal. Penelitian mendalam mengenai penerapan IoT dalam bangunan pintar sangat relevan untuk memahami tantangan, peluang, dan dampaknya terhadap efisiensi energi.
Penerapan teknologi sensor IoT dalam bangunan cerdas juga menawarkan berbagai keuntungan tambahan, termasuk peningkatan keamanan dan pengelolaan bangunan yang lebih efektif. Sensor IoT mampu mendeteksi kebocoran air, kebakaran, atau intrusi secara real-time, sehingga memungkinkan respons cepat dan mengurangi risiko kerusakan. Selain itu, data yang diperoleh dari sensor dapat dimanfaatkan untuk analisis prediktif, yang mendukung pemeliharaan preventif dan pengelolaan aset yang lebih efisien [3].
Penggunaan IoT dalam sektor energi mencakup berbagai aspek, mulai dari pengelolaan sampah hingga operasi dan pemeliharaan (O&M) pembangkit listrik, serta pengembangan dan pemanfaatan sumber energi baru. Dengan penerapan IoT, emisi CO2 dan tingkat kerugian dapat dikurangi secara signifikan. Sistem manajemen energi yang berbasis IoT juga mampu memantau konsumsi energi secara real-time dan meningkatkan keandalan aliran energi di setiap tingkat tekanan. Selain itu, dengan kemajuan terbaru dalam teknologi sensor, komputasi edge, dan konektivitas nirkabel, semakin banyak solusi IoT yang dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi energi di bangunan.
Meskipun teknologi sensor IoT menawarkan banyak manfaat, tantangan dalam penerapannya tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, pemilihan komponen IoT—seperti perangkat sensor, protokol komunikasi, penyimpanan data, dan komputasi—harus disesuaikan dengan aplikasi yang diinginkan. Ini merupakan langkah krusial dalam merancang sistem IoT. Penggunaan komputasi juga perlu selaras dengan tujuan yang ingin dicapai. Misalnya, untuk mengelola sistem pemanas, ventilasi, dan pendinginan (HVAC) di suatu gedung, platform IoT harus memanfaatkan sensor lingkungan yang tepat dan teknologi komunikasi yang sesuai. Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan dan peluang yang ada, pengembangan bangunan pintar berbasis IoT menjadi penting untuk menghadapi perubahan iklim dan mendukung keberlanjutan lingkungan.
Sebuah Pengujian oleh Isa Albanna dkk, mengenai kebutuhan data internet dalam sistem IoT dilakukan selama 10 jam menggunakan jaringan seluler Indosat 4G-LTE dengan kecepatan hingga 10 Mbps. Selama pengujian, konsumsi paket data tercatat sekitar ±8 Mb. Studi implementasi IoT untuk pengendalian lampu gedung dengan beban 100 watt menunjukkan perbandingan konsumsi energi antara sistem IoT dan Non-IoT. Pada sistem Non-IoT, lampu dengan beban 100 Watt beroperasi selama 10 jam, menghasilkan konsumsi energi sebesar 1 KWH tanpa memerlukan koneksi data. Sebaliknya, pada sistem IoT, lampu yang sama hanya menyala selama 1 jam dan mati selama 9 jam, sehingga konsumsi energinya turun menjadi 0.1 KWH. Namun, sistem IoT memerlukan data internet sebesar 8 Mb untuk pengendalian. Perbandingan ini menggarisbawahi bahwa penggunaan IoT dapat secara signifikan mengurangi konsumsi energi, meskipun juga menambah kebutuhan untuk komunikasi data, yang pada akhirnya berkontribusi pada efisiensi pengelolaan energi [5].
IoT memberikan fleksibilitas dalam pengaturan konsumsi energi perangkat di dalam sebuah gedung melalui kendali jarak jauh. Sistem IoT dapat menghemat konsumsi energi listrik hingga sekitar 50% dari penggunaan listrik yang biasa. Selain itu, IoT memerlukan paket data internet yang cukup efisien, yaitu sekitar 8MB per hari, untuk manajemen konsumsi energi di Gedung [5]. Internet of Things (IoT) juga memiliki peranan signifikan dalam pengelolaan fasilitas dan infrastruktur di lembaga pendidikan. Dengan memanfaatkan teknologi IoT, lembaga pendidikan dapat meningkatkan efisiensi operasional, mengoptimalkan penggunaan sumber daya, memperbaiki kualitas lingkungan belajar, serta menciptakan suasana belajar yang lebih aman dan nyaman bagi siswa dan staf [6].
Oleh karena itu, penerapan Teknologi IoT (Internet of Things) dalam bangunan cerdas untuk mengurangi konsumsi energi sangatlah krusial, manfaatnya yang besar bagi lingkungan. Dengan menggunakan IoT, kita dapat memantau dan mengatur penggunaan energi secara real-time, meningkatkan efisiensi, dan menurunkan jejak karbon. Langkah ini tidak hanya membantu dalam mengurangi biaya operasional, tetapi juga mendukung upaya global untuk menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian, penerapan teknologi ini seharusnya menjadi fokus utama dalam pengembangan dan pengelolaan bangunan di masa depan, demi keberlangsungan dan kesejahteraan bumi ini.
Daftar Pustaka
[1] I. P. Sari, A. Azzahrah, I. F. Qathrunada, N. Lubis, and T. Anggraini, “Perancangan Sistem Absensi Pegawai Kantoran Secara Online pada Website Berbasis HTML dan CSS,” Blend Sains J. Tek., vol. 1, no. 1, pp. 8–15, 2022, doi: 10.56211/blendsains.v1i1.66. [2] B. Sujito and E. Wahyudi, “HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN TEKNOLOGI SENSOR IOT DAN EFISIENSI ENERGI DALAM BANGUNAN CERDAS,” vol. 7, pp. 8029–8035, 2024. [3] I. Adhicandra, “Studi Kasus Tentang Penggunaan Teknologi Internet of Things (Iot) Dalam Meningkatkan Efisiensi Energi Di Bangunan Pintar,” EDUSAINTEK J. Pendidikan, Sains dan Teknol., vol. 11, no. 3, pp. 1447–1457, 2024, doi: 10.47668/edusaintek.v11i3.1297. [4] M. Yusuf, M. Sodik, S. Darussalam, K. Nganjuk, and U. Blitar, “Penggunaan Teknologi Internet of Things (Iot) Dalam Pengelolaan Fasilitas Dan Infrastruktur Lembaga Pendidikan Islam,” Prophet. J. Kaji. Keislam., vol. 1, no. 2, pp. 1–18, 2023. [5] S. P. Pratama, “Optimisasi Efisiensi Energi dalam Bangunan Cerdas melalui Sistem Kontrol Berbasis IoT,” J. Technol. Eng., vol. 1, no. 1, pp. 1–5, 2023. [6] I. Albana, A. Asgalani, and M. D. Rachmadani, “ESENSIAL INTERNET OF THINGS DALAM KONSEP BANGUNAN CERDAS (Studi Kasus: ESP8266 dan Predisksi Energi),” Semin. Perencanaan, Perancangan, Lingkungan, dan Infrastruktur, pp. 457–461, 2021..
.
.