Futuristic city with flying vehicles and green spaces

Go Green 4.0: Kearifan Lokal untuk Smart Building Nusantara

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 24

Ditulis oleh Silvi Rizqiya Nur’Azizah

Pendahuluan

” The best way to predict the future is to create it.” – Abraham Lincoln.

Indonesia Emas 2045. Bayangan negeri dengan mega-kota futuristik, teknologi canggih, dan mobilitas udara yang melesat bak meteor di angkasa. Namun, di balik gemerlap kemajuan itu, terbayangkah pemandangan hijau alam yang lestari, udara segar yang menyegarkan, dan kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam?

Futuristic city with flying vehicles and green spaces
Figure 1: Ilustration AI Futuristic Cityscape with Green Spaces and Flying Vehicles

Mungkinkah mewujudkan mimpi ini di tengah proyeksi peningkatan penduduk yang mencapai 305,6 juta jiwa di tahun 2045, di mana mayoritas bermukim di perkotaan (BPS, 2021) dengan segala tuntutan dan tekanannya terhadap lingkungan?

Infographic on Urban and Rural Population in Indonesia
Figure 2: Infographic Showing Population Growth Projection In Indonesia

Jawabannya ada pada “Go Green 4.0”. Lebih dari sekadar tren arsitektur, “Go Green 4.0” adalah sebuah paradigma baru yang menyatukan kearifan lokal Nusantara dengan teknologi revolusioner abad 21. Ia adalah kunci untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 yang tidak hanya maju, tetapi juga berkelanjutan.

Pembahasan

A. Kearifan Lokal: Jejak Genius Leluhur Nusantara

Jauh sebelum teknologi modern berkembang, nenek moyang kita telah menguasai seni beradaptasi dengan alam. Rumah tradisional di berbagai penjuru Nusantara bukan hanya sebuah hunian, tetapi juga manifestasi kearifan lokal dalam menciptakan bangunan yang sejuk, nyaman, dan menyatu dengan alam.

1. Ventilasi Alami

Rumah Gadang di Sumatera Barat, dengan atap gonjong dan jendela-jendela besar, merupakan contoh penerapan prinsip stack effect.[1] Udara panas naik ke atas dan keluar melalui ventilasi di atap, sementara udara sejuk masuk dari bawah, menciptakan sirkulasi udara yang alami dan menyegarkan. Prinsip serupa juga ditemukan pada Rumah Bale di Bali dengan atap bertingkat dan bukaan yang memanfaatkan arah angin.

Figure 3 : Rumah Gadang with Labels Indicating Airflow

.

Gedung Perpustakaan Universitas Indonesia mengadopsi prinsip ventilasi silang dari rumah tradisional. Dengan memanfaatkan simulasi komputer, arsitek merancang bukaan dan jalur udara sehingga tercipta sirkulasi udara yang optimal dan mengurangi ketergantungan pada AC hingga 20%.

2. Pengaturan Cahaya dan Suhu

Rumah Joglo di Jawa Tengah memiliki atap tinggi dan bukaan lebar yang memaksimalkan pencahayaan alami dan mengurangi kebutuhan akan lampu di siang hari.[2] Selain itu, orientasi bangunan yang memanfaatkan arah matahari dan penggunaan material alami seperti kayu dan genteng tanah liat membantu menjaga suhu ruangan tetap sejuk. Konsep mirip juga ditemukan pada Rumah Tongkonan di Sulawesi Selatan dengan struktur panggung yang memungkinkan udara bebas mengalir di bawah lantai, mengurangi penyerapan panas dari tanah.

Figure 4 : Rumah Joglo Interior Showing Natural Lighting

3. Material Lokal dan Ramah Lingkungan

1 https://www.dekoruma.com/artikel/128868/rumah-adat-papua

Penggunaan material lokal seperti bambu, kayu, dan batu alam tidak hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga menciptakan suasana yang alami dan sehat.[3] Rumah Honai di Papua, yang terbuat dari kayu dan ilalang, merupakan contoh hunian yang beradaptasi dengan iklim dan kondisi lingkungan setempat..

Hotel Bambu Indah di Ubud, Bali, ternyata juga menggunakan bambu sebagai material utama dalam konstruksi bangunan. Bambu merupakan material yang mudah diperbaharui, kuat, dan memiliki nilai estetika yang tinggi. Hotel ini menggunakan bambu petung sebagai material utama dalam konstruksi. Bambu petung dikenal kuat, tahan lama, dan cepat tumbuh, sehingga menjadikannya pilihan yang berkelanjutan. Inovasi dilakukan dengan teknik pengawetan bambu menggunakan metode alami untuk meningkatkan daya tahannya terhadap rayap dan cuaca.

B. Teknologi Modern: Inovasi untuk Efisiensi dan Keberlanjutan

“Go Green 4.0” bukan berarti menolak kemajuan teknologi. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk merangkul inovasi dan memanfaatkan teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja bangunan ramah lingkungan.

1. Sensor dan Internet of Things (IoT)

Sensor canggih dapat mendeteksi suhu, kelembaban, kualitas udara, intensitas cahaya, dan kehadiran manusia di dalam ruangan. Data ini kemudian diolah dan digunakan untuk mengontrol sistem pencahayaan, ventilasi, dan AC secara otomatis melalui jaringan IoT.[4] Hasilnya? Kenyamanan optimal bagi penghuni dan penghematan energi yang signifikan.

Components of smart buildings.

Figure 5 : Diagram Illustrating Smart Building with Sensors and IoT.

  Gedung Kementerian PUPR di Jakarta telah menerapkan sistem smart building dengan sensor dan IoT. Sistem ini mampu mengoptimalkan penggunaan energi sehingga mencapai penghematan listrik hingga 30%.

2. Building Information Modeling (BIM)

bim
Figure 6 : BIM Model of a Building

BIM memungkinkan para arsitek dan insinyur untuk merancang, memvisualisasikan, dan menganalisis bangunan secara digital sebelum dibangun.[5] Dengan BIM, efisiensi material, energi, dan air dapat dioptimalkan sejak tahap perencanaan...

  Proyek pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta menggunakan BIM untuk mengoptimalkan desain struktur dan meminimalkan pemborosan material konstruksi hingga 15%.

3. Energi Terbarukan

Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, seperti energi surya, air, angin, dan geotermal.[6] Pemanfaatan sumber energi ini dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil, menekan emisi karbon, dan mewujudkan kemandirian energi.

Renewable energy open up new opportunities in various industries
Figure 7 : Infographic Showing Renewable Energy Potential In Indonesia

.

Green Building Universitas Indonesia memanfaatkan panel surya untuk memenuhi 40% kebutuhan energi listrik gedung. Selain itu, gedung ini juga dilengkapi dengan sistem pengolahan air hujan dan ruang terbuka hijau.

4. Smart Water Management

Sistem pengelolaan air cerdas meliputi pengumpulan dan pemanfaatan air hujan, penggunaan perangkat hemat air, serta sistem daur ulang air grey dan black water.[7] Teknologi ini tidak hanya menghemat air, tetapi juga mengurangi beban pengolahan air limbah.

Smart Water Management System [9]

Figure 8 : Diagram Illustrating Smart Water Management System..

Sistem irigasi otomatis berbasis sensor di Kawasan Industri MM2100, Bekasi, terinspirasi dari sistem pengairan tradisional subak di Bali, dan berhasil menghemat penggunaan air hingga 25%.Sensor kelembaban tanah dan cuaca akan mendeteksi kebutuhan air tanaman dan secara otomatis mengaktifkan sistem irigasi melalui jaringan IoT.

C. Go Green 4.0: Menerangi Jalan Menuju Indonesia Emas 2045

Penerapan “Go Green 4.0” dalam pembangunan gedung dan kota di Indonesia merupakan langkah strategis untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 yang berkelanjutan.

1. Mengurangi Jejak Karbon dan Mitigasi Perubahan Iklim

Sektor bangunan menyumbang sekitar 39% dari total emisi karbon dioksida global (IPCC, 2021). Dengan menerapkan “Go Green 4.0”, Indonesia dapat berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperlambat laju perubahan iklim. Studi menunjukkan bahwa bangunan hijau dapat mengurangi emisi karbon hingga 34% dan konsumsi energi hingga 25% (WorldGBC, 2014).

2. Meningkatkan Kualitas Hidup dan Kesehatan Masyarakat

Lingkungan terbangun yang sehat, nyaman, dan berkelanjutan berdampak positif pada kesehatan fisik dan mental masyarakat (WHO, 2016). Studi di Jakarta menunjukkan bahwa peningkatan ventilasi alami pada rumah tinggal dapat menurunkan angka penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) hingga 15% (Universitas Indonesia, 2018). Ruang terbuka hijau di perkotaan juga berperan penting dalam mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan mental masyarakat (UNEP, 2019). Sebuah studi di Singapura menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di gedung perkantoran dengan green design memiliki tingkat konsentrasi dan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang bekerja di gedung konvensional (National University of Singapore, 2020).

3. Menghemat Energi dan Air

Efisiensi energi dan air tidak hanya menguntungkan lingkungan, tetapi juga mengurangi biaya operasional bangunan dan meningkatkan daya saing ekonomi.[8]

4. Menciptakan Lapangan Kerja Hijau

“Go Green 4.0” mendorong inovasi dan pertumbuhan di sektor energi terbarukan, teknologi bangunan hijau, dan industri material berkelanjutan, menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Studi ILO memproyeksikan bahwa transisi menuju ekonomi hijau dapat menciptakan 24 juta lapangan kerja baru secara global pada tahun 2030 (ILO, 2018). Di Indonesia, sektor energi terbarukan diproyeksikan dapat menyerap hingga 250.000 tenaga kerja pada tahun 2025 (IRENA, 2022).

5. Meningkatkan Ketahanan dan Kemandirian

“Go Green 4.0” mendorong pemanfaatan sumber daya lokal dan energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada sumber daya impor dan meningkatkan ketahanan nasional terhadap fluktuasi harga dan krisis global.[9]

6. Melestarikan Warisan Budaya

“Go Green 4.0” tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang menghidupkan kembali dan melestarikan kearifan lokal Nusantara dalam arsitektur. Dengan mengintegrasikan elemen-elemen tradisional ke dalam bangunan modern, kita dapat menjaga identitas budaya Indonesia dan menunjukkannya kepada dunia.[10].

Kesimpulan

“Go Green 4.0” adalah sebuah visi yang menjanjikan untuk masa depan arsitektur Indonesia. Dengan menyatukan kearifan lokal dan teknologi modern, kita dapat mewujudkan bangunan dan kota yang tidak hanya modern dan fungsional, tetapi juga berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Go Green 4.0” bukan hanya tentang menciptakan bangunan hijau, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang..

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2021). Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050. Jakarta: BPS.

Dawson, B., & Gillow, J. (1994). The Traditional Architecture of Indonesia. London: Thames and Hudson.

Eastman, C., Teicholz, P., Sacks, R., & Liston, K. (2011). BIM handbook: A guide to building information modeling for owners, managers, designers, engineers and contractors. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.  

Intergovernmental Panel on Climate Change. (2021). Climate Change 2021: The Physical Science Basis. Geneva: IPCC.

International Energy Agency. (2021). Renewables 2021. Paris: IEA.

International Labour Organization. (2018). World Employment and Social Outlook 2018: Greening with Jobs. Geneva: ILO.

International Renewable Energy Agency. (2022). Renewable Energy and Jobs: Annual Review 2022. Abu Dhabi: IRENA.  

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2021). Indonesia Energy Outlook 2021. Jakarta: KESDM.

National University of Singapore. (2020). The Impact of Green Buildings on Employee Productivity and Well-being. Singapore: NUS.

Schoppert, P., & Damais, S. (1997). Java Style. Singapore: Archipelago Press.

Suwondo, B. (2006). Arsitektur Tradisional Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

UNESCO. (2011). Recommendation on the Historic Urban Landscape. Paris: UNESCO.

United Nations Environment Programme. (2019). Global Environment Outlook 6: Healthy Planet, Healthy People. Nairobi: UNEP.

United States Environmental Protection Agency. (2008). Green Building: Impacts on Human Health and Productivity. Washington, D.C.: EPA.

United States Green Building Council. (2009). LEED for Homes Reference Guide. Washington, D.C.: USGBC.

Universitas Indonesia. (2018). Studi Dampak Peningkatan Ventilasi Alami terhadap Kesehatan Masyarakat di Jakarta. Jakarta: Universitas Indonesia.

World Bank. (2019). The Invisible Crisis: The State of Water Supply, Sanitation, and Hygiene in Indonesia. Washington, D.C.: World Bank.

World Green Building Council. (2014). The Business Case for Green Building. Toronto: WorldGBC.

World Health Organization. (2016). Housing and Health Guidelines. Geneva: WHO.

Kutipan dalam angka

  1. Dawson, B., & Gillow, J. (1994). The Traditional Architecture of Indonesia. London: Thames and Hudson.

  2. Schoppert, P., & Damais, S. (1997). Java Style. Singapore: Archipelago Press.

  3. Suwondo, B. (2006). Arsitektur Tradisional Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

  4. United States Green Building Council. (2009). LEED for Homes Reference Guide. Washington, D.C.: USGBC.

  5. Eastman, C., Teicholz, P., Sacks, R., & Liston, K. (2011). BIM Handbook: A Guide to Building Information Modeling for Owners, Managers, Designers, Engineers and Contractors. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons.

  6. International Energy Agency. (2021). Renewables 2021. Paris: IEA.

  7. World Bank. (2019). The Invisible Crisis: The State of Water Supply, Sanitation, and Hygiene in Indonesia. Washington, D.C.: World Bank.

  8. Asian Development Bank. (2013). Energy Efficiency in Indonesia: Unlocking the Potential. Mandaluyong City: ADB.

  9. Ministry of Energy and Mineral Resources of the Republic of Indonesia. (2021). Indonesia Energy Outlook 2021. Jakarta: MEMR.

  10. UNESCO. (2011). Recommendation on the Historic Urban Landscape. Paris: UNESCO.

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 5 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 3

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment