BEPETUR: Alternatif Beton Ramah Lingkungan dengan Subtitusi Limbah Cangkang Telur dan Botol PET sebagai Pereduksi Limbah dalam Kontruksi Bangunan Hijau

Last Updated: 9 November 2024By
📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 35

Ditulis oleh Annida Lathifah Ramadhani

Indonesia merupakan negara dengan populasi yang selalu bertumbuh pesat setiap periode waktu. Pertumbuhan ini selaras dengan perkembangan infrastruktur dan fasilitas yang harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tanpa mengabaikan aspek lingkungan. Sebagai negara dengan populasi yang tinggi, Indonesia memiliki peran penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mengatasi efek perubahan iklim. Salah satu sektor yang harus dibenahi dan dievaluasi adalah sektor bangunan yang menyumbang kontribusi besar dalam emisi gas rumah kaca (Mulyani, 2021). Salah satu solusi efektif yang menjadi trend saat ini adalah konsep bangunan hijau atau green building. Bangunan hijau diindikasikan sebagai bangunan ramah lingkungan karena menerapkan prinsip-prinsip lingkungan dalam perencanaan struktur, pembangunan, pengoperasian, pengelolaan, serta memperhatikan dan meminimalkan aspek penting terkait dampak perubahan iklim yang ditimbulkan (Adeswastoto et al., 2023). Konsep bangunan hijau merupakan konsep pembangunan yang menekankan peningkatan efisiensi sumber daya alam dalam pemenuhan pembangunannya. Green Building Council telah menerbitkan enam standar bangunan hijau yang dapat digunakan untuk mendesain bangunan. Kriteria tersebut meliputi penggunaan lahan yang tepat sasaran, efisiensi serta penghematan energi, penghematan air, memperhatikan sumber dan siklus material, kualitas udara yang baik, kenyamanan udara dalam ruangan, dan pengelolaan lingkungan sekitar bangunan (Fandeli & Muhamad, 2020). Selain enam standar tersebut, konsep bangunan hijau juga menerapkan penggunaan bahan bangunan dari bahan ramah ulang seperti bahan daur ulang untuk mengurangi dampak pembangunan terhadap lingkungan serta kesehatan manusia sebagai pengguna.

Berdasarkan konsep bangunan hijau yang dijabarkan sebelumnya, penggunaan bahan ramah lingkungan sebagai bagian kontruksi bangunan hijau menjadi salah satu alternatif untuk mereduksi dampak negatif bagi lingkungan. Dalam bahasan ini, digunakan limbah botol PET serta limbah cangkang telur sebagai subtitusi semen serta agregat halus dalam pembuatan beton bangunan. Bepetur atau beton dengan subtitusi limbah botol PET dan cangkang telur menjadi salah satu solusi sebagai bahan ramah lingkungan dalam pondasi bangunan. Penggunaan kedua limbah ini didasarkan pada kuantitasnya yang melimpah di alam, sedangkan pemanfataannya masih sangat minim di sekitar. Berdasarkan data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun (Olavia, 2021). Salah satu mayoritas produk plastik sebagai sampah pencemaran adalah botol PET. Penggunannya sebagai botol minum sekali pakai mengakibatkan sampah botol PET terbuang tanpa pengolahan, sehingga berpotensi mencemari tanah, air, laut, bahkan udara (Firmansyah et al., 2021). Pencemaran ini bertahan dalam jangka waktu yang panjang karena plastic memiliki sifat sulit terdegradasi (nonbiodegradable) dan diperkirakan membutuhkan waktu 100 hingga 500 tahun hingga dapat terurai secara sempurna. Serupa dengan limbah botol PET, kuantitas limbah cangkang telur di Indonesia yang belum termanfaatkan dengan baik diperkirakan mencapai 458.983,69 ton pertahunnya. Kurangnya pemanfaatan ini menyebabkan limbah cangkang telur menyebabkan pencemaran udara akibat sisa-sisa zat kompleks yang memiliki bau yang tidak sedap, pencemaran air yang terkontaminasi sisa-sisa isi telur yang menempel di kulitnya, dan menjadi sumber penyakit dari mikroba yang terkandung pada kulit telur.

Saat ini, beton merupakan salah satu material konstruksi krusial yang dominan digunakan. Komposisi beton sendiri terdiri dari semen, agregat, serta air dengan atau tanpa bahan tambah (Zhang et al., 2023). Semen menjadi material utama pembentuk beton karena perannya dalam menghubungkan partikel-partikel pasir, kerikil, dan bahan tambahan lainnya dalam campuran beton. Ketika semen dicampur dengan air, terbentuk reaksi hidrasi sehingga senyawa dalam semen akan membentuk ikatan kimia dan memadatkan campuran beton. Hal ini memungkinkan beton memiliki kekuatan dan kekokohan yang diperlukan untuk konstruksi bangunan yang didirikan. Sayangnya material beton didominasi dengan material yang dapat menyebabkan kelangkaan sumber daya apabila digunakan dalam skala yang besar. Penggunaan limbah cangkang telur mampu mensubtitusi material semen pada campuran beton karena mengandung kalsium karbonat dari komposisinya yang mencapai 98,2% (Stadelman & Cotteril, 1973). Komposisi kalsium karbonat tersebut diketahui sebagai salah satu bahan penyusun semen portland. Sedangkan limbah botol PET digunakan sebagai agregat halus dalam komposisi beton. Agregat halus merupakan bahan pengisi minoritas dalam beton yang memiliki berat jenis ringan serta porositas tinggi, umumnya ditambahkan untuk mengisi ruang yang tidak tertutup oleh agregat kasar. Agregat halus juga berfungsi untuk mengurangi berat satuan beton agar menghasilkan struktur yang tahan gempa (Kilic et al., 2003). Biaya serta penyusutan yang tinggi menjadi salah satu kelemahan pembuatan agregat ringan dari batu giling selama ini. Penggunaan partikel botol PET dapat menjadi alternatif subtitusi parsial dari berat yang setara dengan batu giling pada produksi agregat halus.

Dalam pembuatan Bepetur, diperlukan agregat kasar serta air. Agregat kasar dapat berupa kerikil atau pecahan batu yang berfungsi untuk memperkuat struktur beton dari matriks yang terbentuk setelah berinteraksi dengan semen. Sedangkan air berfungsi sebagai pengikat semen dalam reaksi hidrasi agar proses pengerasan Bepetur bisa berlangsung. Penambahan air sebanyak 25% dari berat semen juga berfungsi sebagai bahan pelumas antara butir-butir agregat agar mudah dipadatkan (Tjokrodimuljo, 1996). Karakteristik Bepetur dapat dievaluasi lewat beberapa pengujian yang akan dikenakan pada barang uji. Diagram alir pembuatan serta pengujian Bepetur dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Bepetur

Berdasarkan diagram alir tersebut, diperlukan beberapa pengujian terhadap Bepetur untuk menentukan kualitas dan kelayakannya. Pengujian tersebut diawali pengujian nilai slump Bepetur, Dimana nilai ini menggambarkan tingkat kekentalan adonan beton yang mempengaruhi permeabilitas, workabilitas dan proses pengerjaan. Nilai slump normal pada beton berkisar 12 ± 2 untuk menunjukkan tingkat kemudahan pengerjaan atau pembuatan adonan beton. Nilai slump mempengaruhi workability atau tingkat kemudahan komponen diproses menjadi beton serta mencegah komponen beton mengalami pemisahan yang berlebihan. Selanjutnya dilakukan pengujian kuat tekan beton, atau besarnya beban per satuan luas yang menyebabkan benda uji beton hancur bila dibebani oleh gaya tekan tertentu. Gaya tekan ini dihasilkan dari mesin tekan yang digunakan dalam pengujian. Kekuatan tekan beton merupakan salah satu karakteristik penting indikasi ketahanan beton yang diamati pada hari ke-3, 7, dan 28 (Malau et al., 2024). Kekuatan tarik belah beton juga menjadi pengujian berikutnya, yaitu nilai kuat tarik tidak langsung yang diperoleh dari hasil pembebanan oleh mesin tekan pada benda uji beton berbentuk silinder.

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan hasil serta data rinci mengenai hasil subtitusi limbah cangkang telur dan botol PET pada pembuatan beton. Pada penelitian Orogbade et al. (2023), pemanfaatan serbuk cangkang telur dengan kadar 10% pada beton mampu meningkatkan kuat tekan beton hingga sebesar 19 MPa dari beton normal pada kisaran 16 MPa. Selain itu, limbah cangkang telur yang sudah menjadi bubuk rata rata mempunyai luas permukaan spesifik sebesar 0,3 – 21,2 m2/g serta semen 0,28 – 0,45 m2/g. Keterkaitan luas permukaan spesfik antara serbuk cangkang telur dan semen yang hampir menyerupai akan menunjukkan workability beton yang semakin meningkat (Sathiparan, 2021). Agregat halus dari botol PET juga telah diteliti sebelumnya oleh Frigione (2010). Dari pengujiannya, disimpulkan bahwa subtitusi serpihan PET 5% memungkinkan beton yang dihasilkan memiliki kemampuan kerja yang sama dan tidak ada segregasi sehubungan dengan beton referensi tanpa PET. Pengujian ini diterapkan pada kadar beton 300 hingga 400 kg/m3 dan rasio air/semen (0,45 hingga 0,55). Didapatkan kekuatan tekan dan kekuatan tarik belah beton sebesar 0,4–1,9% lebih rendah daripada beton referensi, tetapi dengan daktilitas atau kemampuan menahan deformasi yang sedikit lebih tinggi (Frigione, 2010).

Berdasarkan pembahasan yang telah merujuk pada banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, ditemukan potensi Bepetur atau beton dengan subtitusi tambahan limbah cangkang telur dan limbah botol PET dapat diproduksi mempertimbangkan hasil pengujian yang didapatkan. Selain mengadaptasi penggunaan bahan daur ulang yang ramah lingkungan pada konsep bangunan hijau, penggunaan subtitusi limbah pada Bepetur juga berperan penting dalam mereduksi kuantitas limbah di lingkungan sekitar. Sehingga kerugian atau dampak negatif kesehatan atau pencemaran yang ditimbulkan akibat limbah dapat diminimalkan. Dari segi finansial, inovasi Bepetur ini juga dapat mengurangi biaya produksi dan bahan baku karena memanfaatkan komponen yang telah terpakai dan umumnya memiliki nilai jual yang lebih rendah. Kandungan kalsium karbonat pada limbah cangkang telur dapat mengatasi kekurangan limbah botol PET sebagai agregat halus dalam peningkatan kekuaran tekan dan ketahanan beton. Sebaliknya, agregat halus dari botol PET juga melengkapi fungsional limbah cangkang telur karena sifatnya yang lebih fleksibel, sehingga mengurangi pembentukan retakan pada beton setelah mengeras nantinya. Untuk penggunaannya dalam masa mendatang, diperlukan lebih banyak evaluasi dan penelitian terkait subtitusi kedua limbah ini sebagai komponen Bepetur agar mendapatkan komposisi yang terbaik untuk mengatasi kekurangan dalam penelitian sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adeswastoto, H., Setiawan, B., Desrimon, A., Febryanto, F., Putra, A. A., & Islah, M. (2023). Analisis Penerapan Green Building Pada Bangunan Gedung Klinik Universitas Pahlawan. Journal of Engineering Science and Technology Management (JES-TM), 3(1), 37-43.

Fandeli, C., & Muhamad. (2020). Pembangunan Kota Hijau (Siti (ed.); Pertama). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Firmansyah, Y. W., Fuadi, M. F., Ramadhansyah, M. F., Widyantoro, W., Lewinsca, M. Y., Diyana, S., … & Hardiyanto, A. (2021). Keberadaan Plastik di Lingkungan, Bahaya terhadap Kesehatan Manusia, dan Upaya Mitigasi: Studi Literatur. Jurnal Serambi Engineering, 6(4).

Frigione, M. (2010). Recycling of PET bottles as fine aggregate in concrete. Waste management, 30(6), 1101-1106.

Kılıç, A., Atiş, C. D., Yaşar, E., & Özcan, F. (2003). High-strength lightweight concrete made with scoria aggregate containing mineral admixtures. Cement and concrete research, 33(10), 1595-1599.

Koide, H., Tomon, M., & Sasaki, T. (2002). Investigation of the use of waste plastic as an aggregate for lightweight concrete. Challenges of Concrete Construction, 5, 177-185.

Malau, R. (2024). Analisis Perbandingan Kuat Tekan Beton Dengan Menggunakan Adukan Manual, Semi Dan Ready Mix. JURNAL INERSIA, 16(1), 113-118.

Mulyani, A. (2021). Pemanasan Global, Penyebab, Dampak dan Antisipasinya. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat. http://repository.uki.ac.id/4908/1/PEMANASA NGLOBAL.pdf. Diakses pada 2 November 2024.

Olavia, L. (2021). Kurangi Pemakaian Plastik Hingga 9,5%. Diambil kembali dari https://investor.id: https://investor.id/lifestyle/2021-kurangi-pemakaian-plastikhingga95#:~:text=Berdasarkan%20data- Diakses pada 2 November 2024

Orogbade, B. O., Kareem, M. A., Amusan, G. M., Olaniyan, O. S., David, A. O., Opafola, O. T., & Ibiwoye, E. O. (2023). Investigation of partial replacement of cement with egg shell powder in palm oil fiber-concrete. Materials Today: Proceedings, 86, 116-120.

Sathiparan, N. (2021). Utilization prospects of eggshell powder in sustainable construction material–A review. Construction and Building Materials, 293, 123465.

Stadelman, W. J., & Cotterill, O. J. (2002). Egg Science and Technology. CBS Publishers & distributors..

Tjokrodimuljo, K. (1996), Teknologi Beton. Buku Ajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada.

Zhang, W., Shi, D., Shen, Z., Wang, X., Gan, L., Shao, W., … & Yu, S. (2023). Effect of calcium leaching on the fracture properties of concrete. Construction and Building Materials, 365, 130018

About the Author: Moch Faisal Hamid

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 5 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 7

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment