Membangun Tanpa Merusak, Desain Ramah Lingkungan Sebagai Solusi Perkotaan

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 31

Ditulis oleh Nova Triana Amaliah

Pertumbuhan pesat populasi perkotaan di Indonesia mendorong peningkatan kebutuhan infrastruktur secara signifikan. Sayangnya, pembangunan yang dilakukan sering mengabaikan aspek keberlanjutan, menyebabkan berkurangnya ruang hijau yang penting untuk lingkungan. Kehilangan ruang hijau meningkatkan efek pulau panas perkotaan (urban heat island), di mana suhu udara di kota menjadi lebih tinggi daripada daerah sekitarnya. Ini berdampak pada peningkatan konsumsi energi, terutama untuk pendingin ruangan, yang akhirnya menambah emisi gas rumah kaca. Dampak jangka panjangnya adalah kualitas hidup masyarakat menurun dan meningkatnya ketergantungan pada sumber daya tak terbarukan. Dengan latar belakang ini, desain ramah lingkungan menjadi penting dalam menciptakan kota yang lebih nyaman dan berkelanjutan. Desain ini tidak hanya mengurangi dampak negatif terhadap alam, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup penduduk dengan menyediakan lingkungan yang lebih sehat dan nyaman.

Desain ramah lingkungan hadir sebagai solusi konkret untuk mengatasi tantangan urbanisasi yang tidak berkelanjutan. Salah satu pendekatan utamanya adalah penggunaan material daur ulang. Menurut Widyawati (2019), penggunaan material daur ulang dalam konstruksi dapat mengurangi jejak karbon hingga 20-30%. Misalnya, pemakaian beton daur ulang dapat mengurangi kebutuhan semen, yang merupakan salah satu material dengan emisi karbon tertinggi. Selain itu, bangunan hijau mengintegrasikan teknologi hemat energi, seperti panel surya dan sistem pengolahan air hujan. Penggunaan panel surya memungkinkan bangunan menghasilkan energi mandiri, yang tidak hanya mengurangi ketergantungan pada sumber daya listrik konvensional, tetapi juga menekan biaya operasional jangka panjang.

Bangunan seperti The Habitat di Jakarta adalah contoh nyata yang telah mengadopsi teknologi ramah lingkungan, termasuk panel surya dan sistem pengolahan air limbah. Investasi dalam desain berkelanjutan ini memberikan keuntungan ekonomi dan lingkungan, seperti pengurangan konsumsi air bersih dan peningkatan efisiensi energi. Meskipun demikian, implementasi desain ini di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup besar. Tantangan utama dalam penerapan desain ramah lingkungan di Indonesia adalah tingginya biaya investasi awal. Teknologi seperti panel surya dan sistem pengolahan air limbah masih tergolong mahal, yang membuat banyak pengembang lebih memilih metode konvensional yang lebih terjangkau (Heikenfeld et al., 2018). Kurangnya kesadaran dan edukasi di kalangan masyarakat serta pelaku industri konstruksi juga menjadi hambatan adopsi bangunan hijau. Banyak pihak yang masih menganggap desain ramah lingkungan sebagai investasi yang kurang menguntungkan, padahal manfaat jangka panjangnya, seperti pengurangan biaya operasional hingga 30% dan efisiensi penggunaan air, sangat signifikan. Sebagai contoh, negara tetangga seperti Singapura telah menerapkan regulasi yang ketat untuk bangunan berkelanjutan, mewajibkan bangunan baru memenuhi standar keberlanjutan tertentu. Penerapan regulasi ini dapat menjadi contoh bagi Indonesia dalam menyusun kebijakan yang mendorong pengembangan bangunan hijau. Widyawati (2019) menekankan pentingnya regulasi pemerintah untuk mendukung pembangunan ramah lingkungan.

Pemerintah memiliki peran penting dalam memfasilitasi implementasi desain ramah lingkungan. Pemberian insentif pajak bagi pengembang yang menggunakan teknologi hijau dan material daur ulang dapat mendorong lebih banyak investasi dalam pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain, sektor swasta, terutama pengembang dan arsitek, perlu melakukan inovasi untuk menekan biaya teknologi ramah lingkungan. Salah satu contoh inovasi lokal adalah penggunaan bambu sebagai material konstruksi. Bambu dikenal memiliki sifat yang kuat, tahan lama, serta ramah lingkungan. Selain mengurangi emisi karbon dari proses transportasi bahan bangunan, penggunaan bambu juga memberdayakan ekonomi lokal dengan menciptakan peluang kerja di sektor perkayuan lokal.

Kesadaran dan partisipasi masyarakat juga menjadi elemen penting dalam mendukung adopsi desain ramah lingkungan. Pemahaman akan pentingnya bangunan hijau dapat mendorong permintaan pasar terhadap hunian dan ruang kerja yang memperhatikan aspek keberlanjutan. Edukasi masyarakat yang intensif mengenai manfaat desain ramah lingkungan, seperti pencahayaan alami dan ventilasi yang baik, dapat meningkatkan permintaan terhadap bangunan yang berkelanjutan. Data dari World Green Building Council menunjukkan bahwa bangunan dengan pencahayaan alami dapat meningkatkan produktivitas dan kenyamanan penghuninya hingga 15%. Untuk mempercepat transisi ke pembangunan berkelanjutan, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting (O’Dowling et al., 2023). Pemerintah dapat memfasilitasi dialog dan forum antara pengembang serta masyarakat untuk mendengarkan kebutuhan dan aspirasi mereka. Di sisi lain, sektor swasta dapat memanfaatkan teknologi terbaru dalam desain dan konstruksi bangunan hijau yang lebih efisien. Salah satu contoh keberhasilan di Indonesia adalah gedung Jakarta International Expo (JIExpo) yang telah mengimplementasikan sistem pengolahan air limbah untuk mengurangi konsumsi air bersih dan menggunakan material bangunan ramah lingkungan.

Desain ramah lingkungan merupakan langkah konkret dan berkelanjutan dalam menjawab kebutuhan pembangunan kota yang pesat sekaligus menjaga keseimbangan alam. Di tengah tantangan yang ada, kolaborasi erat antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat diperlukan untuk menciptakan kota yang lebih nyaman dan berkelanjutan. Dukungan regulasi, inovasi teknologi, dan edukasi masyarakat akan menjadi kunci bagi implementasi desain ramah lingkungan di Indonesia. Dengan upaya bersama, harapan untuk menciptakan kota-kota yang lebih layak huni, sejuk, dan selaras dengan alam akan lebih mudah diwujudkan. Desain ramah lingkungan adalah jalan menuju masa depan yang lebih hijau dan berkualitas, dan sudah saatnya kita semua berkomitmen untuk mencapainya.

.

.

.

.

.

.

Daftar Pustaka

Heikenfeld, J., Jajack, A., Rogers, J., Gutruf, P., Tian, L., Pan, T., Li, R., Khine, M., Kim, J., Wang, J., & Kim, J. (2018). Wearable Sensors: Modalities, Challenges, and Prospects. Physiology & Behavior, 176(1), 139–148. https://doi.org/10.1039/c7lc00914c.Wearable

O’Dowling, A. T., Rodriguez, B. J., Gallagher, T. K., & Thorpe, S. D. (2023). Machine learning and artificial intelligence: enabling the clinical translation of atomic force microscopy-based biomarkers for cancer diagnosis. Urban Forestry & Urban Greening, Dcmd, 127870. https://doi.org/10.1016/j.csbj.2024.10.006

Widyawati, R. L. (2019). Green Building Dalam Pembangunan Berkelanjutan Konsep Hemat Energi Menuju Green Building Di Jakarta. Jurnal KaLIBRASI : Karya Lintas Ilmu Bidang Rekayasa Arsitektur, Sipil, Industri, 2(1). https://doi.org/10.37721/kal.v13i0.463

.

.

.

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 0 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 0

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment