plastik

Hijau dari Sumber yang Tak Terduga: Limbah Sebagai Solusi Bangunan Hijau

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 27

Ditulis oleh Sharon Fidelia Sampe Ali

  Apa yang terlintas di benak kita ketika mendengar istilah “bangunan hijau?” Umumnya, kita langsung membayangkan sebuah arsitektur megah yang dihiasi atap hijau yang melambangkan ketahanan lingkungan. Bangunan hijau atau Green Building adalah sebuah konsep arsitektur serta konstruksi yang mengaplikasikan prinsip ramah lingkungan. Dilansir dari World Green Building Council (2024), istilah bangunan hijau mengacu pada konsep perencanaan pembangunan dengan desain yang mampu mengurangi dampak negatif lingkungan. Bisakah bangunan hijau menjadi solusi untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik?

  Perubahan iklim adalah ancaman global yang berdampak besar bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Menurut laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG, 2024), perubahan iklim telah menyebabkan kenaikan suhu rata-rata tahunan serta peningkatan intensitas hujan ekstrem. Kedua faktor ini mengancam berbagai aspek kehidupan, mulai dari produktivitas pertanian hingga infrastruktur perkotaan. Dampak jangka panjangnya pun tak bisa diabaikan. Di sinilah pentingnya membangun ekosistem yang mendukung bangunan hijau dan cerdas demi memperlambat laju perubahan iklim (Rozci, 2023).

   Meskipun konsep bangunan hijau sudah diperkenalkan di Indonesia, implementasinya masih terkendala oleh biaya dan keterbatasan sumber daya. Material konvensional yang berlabel “ramah lingkungan” sering kali mahal dan membutuhkan teknologi yang sulit diakses masyarakat umum. Sebaliknya, bahan daur ulang yang bersumber dari limbah konstruksi atau sisa-sisa material yang sebelumnya dianggap tidak berguna justru memiliki potensi besar untuk digunakan dalam konstruksi bangunan hijau di Indonesia. Produksi limbah di Indonesia terus meningkat karena pertumbuhan populasi dan urbanisasi. Di negara kita, di mana produksi limbah mencapai angka jutaan ton per tahun, penggunaan bahan daur ulang ini menjadi jawaban yang efisien, murah, dan tentunya ramah lingkungan.

  Studi yang dilakukan oleh United Stations Environment Programme (2019) menunjukkan bahwa konstruksi bangunan menyumbang hampir 39% dari total emisi karbon global, dengan sekitar 11% berasal dari proses manufaktur material seperti semen, baja, dan kaca. Material-material ini tak hanya menghabiskan energi tinggi dalam pembuatannya, tetapi juga menghasilkan limbah besar yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dengan memanfaatkan limbah dari sektor konstruksi dan industri, kita tidak hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga mengurangi kebutuhan material baru yang justru dapat mempercepat eksploitasi sumber daya alam. Salah satu contoh penerapan material daur ulang yang berhasil adalah penggunaan bata dari limbah beton dan kaca daur ulang sebagai bahan dasar pembangunan. Dilansir dari RadarBuleleng.id (2024), di Indonesia terdapat berbagai proyek yang telah menerapkan konsep ini, seperti konstruksi jalan menggunakan plastik daur ulang di Bali. Teknologi ini berhasil memadukan plastik bekas dengan aspal, menghasilkan jalan yang tidak hanya lebih murah tetapi juga lebih tahan lama terhadap kerusakan. Bila konsep ini diterapkan pada bangunan, inovasi ini bisa menjadi solusi konkret bagi bangunan hijau yang lebih terjangkau, tanpa mengurangi kualitas konstruksi.

  Bagaimana penerapan konsep ini di Indonesia, negara dengan sumber daya alam yang melimpah namun di sisi lain juga rentan terhadap risiko perubahan iklim? Salah satu caranya adalah dengan mendorong regulasi yang mendukung penggunaan bahan daur ulang dalam konstruksi bangunan. Pemerintah dapat memberikan insentif kepada pelaku industri konstruksi yang mengadopsi material daur ulang. Di beberapa negara maju, aturan semacam ini telah diterapkan dan terbukti mampu menurunkan emisi karbon serta mengurangi ketergantungan terhadap sumber daya alam.

  Selain regulasi, partisipasi masyarakat juga perlu didorong. Kampanye publik mengenai pentingnya bangunan hijau dan manfaat penggunaan material daur ulang dapat meningkatkan kesadaran serta mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap bahan bekas. Misalnya di Jepang, pendidikan lingkungan dimulai sejak usia dini, membuat masyarakat terbiasa mengapresiasi dan mendukung penggunaan material daur ulang. Indonesia, dengan populasi mudanya yang sangat besar, dapat memanfaatkan pendekatan serupa untuk membentuk pola pikir masyarakat yang lebih peduli terhadap lingkungan (Lestari, 2022). Pada akhirnya, solusi bangunan hijau dan cerdas di Indonesia tidak memerlukan material yang langka atau teknologi mahal.

Bahan dari sumber yang tak terduga seperti limbah konstruksi dan bahan daur ulang justru dapat menjadi kunci bagi keberlanjutan masa depan kita. Dengan inovasi dalam pemanfaatan material daur ulang, penerapan teknologi pintar, serta dukungan regulasi dan kesadaran masyarakat, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan bangunan hijau dan cerdas yang tidak hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga mengubah persepsi dan pendekatan kita terhadap konsep “limbah”. Terdapat berbagai solusi inovatif yang dapat kita terapkan untuk mendorong bangunan hijau di Indonesia, antara lain pengolahan limbah elektronik menjadi panel surya. Banyak limbah elektronik, seperti perangkat elektronik tua atau ponsel yang sudah tak terpakai, sebenarnya mengandung bahan yang dapat diolah menjadi panel surya. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan sekitar 1,6 juta ton limbah elektronik setiap tahunnya.

Pemerintah dan perusahaan dapat berkolaborasi dalam teknologi untuk menciptakan pusat daur ulang elektronik untuk mengumpulkan, mengolah, dan mendistribusikan panel surya dari bahan-bahan bekas. Selain dapat menghemat biaya, hal ini juga dapat mengurangi limbah elektronik yang menumpuk. Selain pengolahan limbah untuk panel surya, terdapat juga solusi inovatif lainnya dalam pengolahan limbah yaitu pengolahan limbah organik untuk penggunaan “BioBricks”. BioBricks merupakan hasil dari pengolahan limbah organik seperti ampas kopi atau kulit buah yang diproses menjadi bahan bangunan. Inovasi BioBricks telah dterapkan di beberapa negara seperti Belanda, Amerika Serikat, Inggris, India, dan Australia, tetapi belum banyak dikenal di Indonesia. Inovasi ini mampu mengubah limbah organik menjadi bata sehingga memberikan dampak besar dalam pembangunan rumah ramah lingkungan dan mengurangi beban TPA. Komposisi sampah di Indonesia didominasi oleh limbah organik, khususnya sampah sisa makanan yang mencapai 41,27% (Anugrah, 2023).

  Penggunaan abu terbang (fly ash) yang merupakan limbah pembangkit listrik tenaga uap, dapat diolah menjadi beton ramah lingkungan yang kuat dan tahan lama. Bahan ini memerlukan lebih sedikit energi dalam pembuatannya dibandingkan semen, sehingga mengurangi jejak karbon dan limbah energi. Pada tahun 2021, limbah fly ash di Indonesia sekitar 8,7 juta ton per tahun. Namun yang berhasil di daur ulang hanya sekitar 10%. Oleh karena itu, fly ash perlu melalui berbagai tahap evaluasi terlebih dahulu (Widiyana, 2022).

Abu terbang dibuat dari kumpulan debu terbang dan dapat dimanfaatkan sebagai material pengganti dari semen portland. Dengan mengganti sebagian besar semen dengan abu terbang, bangunan bisa mengurangi emisi karbon dari produksi semen. Indonesia yang masih banyak menggunakan pembangkit listrik tenaga uap, bisa memanfaatkan limbah ini menjadi produk konstruksi bernilai tinggi. Penggunaan abu terbang telah diterapkan dalam beberapa proyek infrastruktur di Indonesia sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan semen yang memproduksi banyak karbon dioksida (CO2). Selain memastikan bahan baku berasal dari sumber ramah lingkungan, siklus material mulai dari proses pengolahan hingga pemeliharaan dan pengolahan akhir harus mengikuti prinsip-prinsip berkelanjutan agar benar-benar ramah lingkungan.

Pengolahan bahan daur ulang seperti limbah elektronik, organik, hingga fly ash harus menggunakan proses yang rendah emisi dan hemat energi. Pada fly ash, misalnya, perlu teknologi pengolahan yang mengurangi penggunaan energi sekaligus tidak menambah polusi. Pengolahan fly ash dalam konstruksi tidak memerlukan pembakaran dalam klin seperti pada batu bata tanah liat, sehingga lebih hemat energi dan ramah lingkungan. Pemanfaatan BioBricks dari limbah organik juga mengedepankan teknik yang mengurangi emisi, mengubah ampas kopi atau kulit buah menjadi bata konstruksi tanpa bahan kimia berbahaya. Bangunan hijau harus didesain agar pemeliharaannya hemat energi.

Sistem pemantauan energi otomatis bisa digunakan untuk mengoptimalkan energi. Misalnya, beton berbasis fly ash memiliki daya tahan tinggi sehingga meminimalkan biaya pemeliharaan. BioBricks memerlukan perawatan khusus untuk menghindari kerusakan biologis, sering kali dilengkapi dengan lapisan pelindung alami untuk meningkatkan ketahanan terhadap cuaca dan serangan jamur. Panel surya dari limbah elektronik memiliki daya tahan dan efisiensi dengan panel konvensional, memungkinkan penggunaan jangka panjang. Pemeliharannya membutuhkan pembersihan berkala dan pemeriksaan komponen untuk menjaga efisiensi energi.

Saat bangunan yang terbuat dari fly ash atau material limbah daur ulang dibongkar atau direnovasi, material yang digunakan harus dapat diolah kembali menjadi produk bangunan baru atau dimanfaatkan dalam aplikasi lain. Misalnya, ketika bangunan berbasis beton fly ash dirobohkan, material ini bisa di daur ulang menjadi bahan dasar dalam proyek lain. Biobricks dapat dipecah dan dikembalikan sebagai kompos atau daur ulang menjadi BioBricks baru. Kemudian dalam halnya limbah elektronik, komponen panel surya dapat dibongkar kembali dan didaur ulang untuk digunakan kembali dalam panel surya baru. Dengan cara ini, kita dapat menghemat sumber daya alam dengan mengurangi kebutuhan akan material baru.

Dilihat dari sisi lain, bangunan hijau berbasis daur ulang berperan dalam mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Bangunan hijau yang dilengkapi dengan sistem pemantauan energi otomatis dan panel surya dari limbah elektronik memungkinkan penggunaan energi yang lebih efisien dan terjangkau (SDGs 7: Energi Bersih dan Terjangkau). Dengan menggunakan material seperti fly ash untuk beton dan Biobricks, yang mengurangi kebutuhan energi dalam proses pembuatannya, sektor konstruksi dapat secara signifikan mengurangi jejak karbon dioksida (SDGs 13: Penanganan Perubahan Iklim). Bangunan hijau berperan dalam menciptakan kota yang lebih layak huni dan ramah lingkungan. Infrastruktur yang dibangun dengan prinsip hijau ini membantu kota menjadi lebih tahan terhadap perubahan iklim, mengurangi konsumsi energi, serta mengurangi jejak karbon dioksida (SDGs 11: Kota dan Komunitas Berkelanjutan).

  Siapa yang dapat menyangka bahwa material daur ulang dapat membawa kehidupan masa depan yang lebih baik bagi kita semua? Oleh karena itu, mari membuka pikiran kita terhadap potensi besar dari bahan-bahan yang sering kita abaikan. Besama-sama, kita bisa mengubah limbah menjadi solusi, dan menjadikan Indonesia menjadi pelopor bangunan hijau berkelanjutan. Dengan kreativitas, kolaborasi, dan dukungan kita semua, masa depan hijau bagi generasi mendatang bukanlah hanya sekadar mimpi. Saatnya mengambil langkah nyata untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih hijau dan cerdas. .

Daftar Pustaka

Aditama, Subrata. (2021). Analisis Konsumsi Embodied Energy dan Embodied Carbon pada Material Bangunan Rumah Sederhana Tipe 36. Diakses dari https://ejournal.undip.ac.id/index.php/teknik/article/download/34268/19774

Ayunintyas, Utari. (2022). Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash Sebagai Material Konstruksi Ramah Lingkungan Dalam Rangka Mendukung Kriteria Bangunan Hijau. Diakses dari https://journal.ubb.ac.id/snppm/article/view/3689

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2024). Proyeksi Perubahan Curah Hujan. Diakses dari https://www.bmkg.go.id/iklim/?p=proyeksi-perubahan-curah-hujan&lang=EN

Bappenas. (2023). SDGs Knowledge Hub. Diakses dari https://sdgs.bappenas.go.id/

Bawono, Ali. (2023). Manfaat Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) Dalam Konstruksi Bangunan: Proses Produksi, Aplikasi, dan Keunggulannya. Diakses dari https://depobeta.com/magazine/artikel/manfaat-faba-dalam-konstruksi-bangunan/

Buildify. (2023). How Eco-Friendly Fly Ash Bricks are Revolutionizing the Building Industry?. Diakses dari https://www.buildify.co.in/blog/fly-ash-bricks/how-eco-friendly-fly-ash-bricks-are-revolutionising-the-building-industry/

Dwi, Ahmad. (2024). Tips dan Trik Mengelola Limbah Elektronik dari Panel Surya yang Sudah Tidak Terpakai. Diakses dari https://listrikindonesia.com/detail/12748/tips-dan-trik-mengelola-limbah-elektronik-dari-panel-surya-yang-sudah-tidak-terpakai

Hadid. (2024). Green Building Adalah: Pengertian, Manfaat, & Contohnya. Diakses dari https://ilmuteknik.id/green-building-adalah/

Lestari, Dwi. (2022). Pendidikan Lingkungan Hidup di Sekolah Dasar di Jepang. Diakses dari https://jos.unsoed.ac.id/index.php/jlitera/article/view/4552/3045

Liu, Henry. (2009). Green Building Products From Fly Ash. Diakses dari https://theindexproject.org/post/green-building-products-from-fly-ash

Prasetya, Eka. (2024). Wow! Di Bali Ada Jalan yang Dibuat dari Sampah Plastik. Diakses dari https://radarbuleleng.jawapos.com/bali/2164753061/wow-di-bali-ada-jalan-yang-dibuat-dari-sampah-plastik

Putratama, Rozar. (2021). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, BMKG dan Bappenas Susun Rencana Aksi Nasional. Diakses dari https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=adaptasi-dan-mitigasi-perubahan-iklim-bmkg-dan-bappenas-susun-rencana-aksi-nasional&tag=press-release&lang=ID

Rozci, Fatchur. (2023). Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian Padi. Diakses dari https://journal.uwks.ac.id/index.php/sosioagribis/article/download/3476/1612#:~:text=Jika%20keadaan%20ini%20terus%20terjadi,akan%20menurunkan%20produktivitas%20hasil%20pertanian.

United Nations Environment Programme International Energy Agency. (2019). 2019 Global Status Report for Buildings and Construction Sector. Diakses dari https://www.unep.org/resources/publication/2019-global-status-report-buildings-and-construction-sector

United Nations Environment Programme International Energy Agency. (2019). 2019 Global Status Report for Buildings and Construction: Towards a Zero-emissions, Efficient and Resilient Buildings and Construction Sector. Diakses dari https://wedocs.unep.org/handle/20.500.11822/30950

United Nations Environment Programme International Energy Agency. (2020). Building Sector Emissions Hit Record High, But Low-Carbon Pandemic Recovery Can Help Transform Sector – UN Report. Diakses dari https://www.unep.org/news-and-stories/press-release/building-sector-emissions-hit-record-high-low-carbon-pandemic

United Nations Environment Programme International Energy Agency. (2022). 2022 Global Status Report for Buildings and Construction. Diakses dari https://www.unep.org/resources/publication/2022-global-status-report-buildings-and-construction

Widiyana, Esti. (2022). Gubes UK Petra Daur Ulang Limbah Abu Terbang Jadi Pengganti Semen Beton. Diakses dari https://www.detik.com/jatim/berita/d-5976951/gubes-uk-petra-daur-ulang-limbah-abu-terbang-jadi-pengganti-semen-beton

Wikipedia. (2024). BioBrick. Diakses dari https://wedocs.unep.org/handle/20.500.11822/30950

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 5 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 1

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment