Optimalisasi Penggunaan Bambu sebagai Alternatif Bioenergi dalam Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Era 5.0

📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 28

Ditulis oleh Elvira Aulia Daryanti.

PENDAHULUAN

Hutan, secara konsepsional yuridis didefinisikan dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Undang-Undang tersebut, hutan dikatakan sebagai suatu kesatuan ekosistem yang terdiri dari hamparan lahan yang mengandung sumber daya alam hayati dengan didominasi oleh pepohonan yang saling berinteraksi dalam suatu lingkungan. Hutan berperan sebagai paru-paru dunia, tempat tinggal berbagai satwa, serta menyediakan pohon-pohon dan hasil tambang yang merupakan sumber daya berharga bagi manusia (Yahya dan indris, 2019).

Hasil hutan tidak harus selalu berbentuk kayu, Hasil hutan bukan kayu (HHBK) memiliki fungsi yang sebanding dengan hasil hutan kayu, karena sebagian besar HHBK berasal dari bagian pohon itu sendiri. Hasil hutan bukan kayu, yang sebelumnya dikenal sebagai Hasil Hutan Ikutan, mencakup produk yang berasal dari bagian pohon atau tumbuh-tumbuhan dengan sifat khusus yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hasil hutan bukan kayu ini seperti, getah, daun, kulit, buah, rotan maupun bambu yang merupakan tumbuhan dengan sifat khusus (Suryati, 2016).

  Bambu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang potensial serta dapat mengurangi penggunaan kayu. Bambu tergolong tumbuhan serbaguna karna dapat dimanfaatkan di berbagai kebutuhan hidup yang umumnya digunakan sebagai bahan makanan (rebung), komponen bangunan, hiasan/dekorasi, peralatan dapur, jembatan ringan, bahan pembuat kertas, dan alat musik.

  Menurut kementerian koordinator bidang perekonomian republik Indonesia tahun 2021, diindonesia terdapat 176 spesies bambu dari total keseluruhan 1620 jenis bambu yang ada di dunia dan berasal dari 80 negara. Hal ini menunjukkan bahwa 10% jenis bambu dunia berada diindonesia. Bahkan, sekitar 150 jenis bambu yang ada diindonesia merupakan tanaman endemik dan telah di manfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan maupun ekonomi, konservasi dan kebudayaan.

  Di Indonesia, bambu memiliki potensi yang sangat besar dalam mendukung ekonomi, konservasi, dan kebudayaan. Pada tahun 2021, diperkirakan terdapat lebih dari 1 juta hektar tanaman bambu di seluruh negara, namun hanya sekitar 25.000 hektar yang dikelola dalam bentuk hutan atau kebun bambu. Jika dibamdingkan pada tahun 2000, luas tanaman bambu di Indonesia tercatat mengalami penurunan, karna pada tahun 2000 ini luas tanaman bambu mencapai 2.104.000 hektar, dengan 690.000 hektar berada di kawasan hutan dan 1.414.000 hektar di luar kawasan hutan (Arsad, 2015). Potensi luas tanaman bambu yang besar ini menunjukkan peluang besar bagi pengelolaan bambu yang lebih efisien dan berkelanjutan serta dapat dimanfaatkan sebagai bioenergi.

  Bambu dimanfaatkan untuk bioenergi karna memiliki peran yang signifikan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, khususnya untuk mencapai tujuan-tujuan Sustainable Development Goals (SDGS). Biomasa (Bioenergi) adalah salah satu sumber energi terbarukan (EBT) yang memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan (Rizqi et.al 2023). Bambu sebagai biomassa dapat dijadikan sebagai bahan bakar untuk mengahasilkan energi terbarukan yang ramah lingkungan, mengurangi ketergantungan pada energi fosil serta mengurangi emisi gas rumah kaca. Proses bambu menjadi bioenergi, seperti biogas atau briket biomassa tidak hanya mendukung ketahanan energi, namun dapat menciptakan peluang ekonomi baru melalui peningkatan kapasitas industri energi terbarukan berbasis pada penggunaan bambu. Hal ini sesuai dengan SDGS yang ketujuh, yaitu memastikamn adanya akses universal terhadap pelayanan energi yang terjangkau, dapat di andalkan dan modern, meningkatkan substantif proporsi energi terbarukan energi yang bercampur global serta dapat mengadakan laju perbaikan efisiensi energi..

PEMBAHASAN

Potensi bambu sebagai bioenergi

    Bambu merupakan jenis tanaman yang memiliki pertumbuhan cepat, mudah dipelihara dan diperbaharui, sehingga lebih ramah lingkungan (Environmentally Friendly). Bambu memiliki komponen kimia berupa kadar selulosa, lignin, silika, pentose dan abu. Kadar selulosa yang terdapat pada bambu berkisar 42,4-53,6%, lignin 19,8-26,6%, kadar abu dan pentose 1,24-3,77%, serta kandungan silika 0,1-1,78% (Dewi et.al., 2023).

    Bambu dianggap sebagai spesies biomasa bukan kayu, namun berjenis rumput. Penggunaan bambu untuk- sumber listrik dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pirolisis dalam insenarator. Dalam sistem insenarator ini, bahan padat akan dipanaskan pada suhu 500°C dengan oksigen yang sedikit. Dengan menggunakan bambu sebagai sumber biomassa dalam bentuk energi listrik ini akan menghasilkan emisi dioksin yang rendah, efisiensi pembangkit listrik yang tinggi serta arang yang dihasilkan juga akan dapat dimanfaatkan Kembali sebagai bahan bakar briket dan pengkondisi tanah (Aisman, 2016). Sehingga, proses ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada penggunaan bahan babar fosil tetapi juga dapat membantu menguirangi emisi karbon dioksida. Hal ini sejalan dengan SDGS 13 yang membahas mengenai penanganan akan prubahan iklim yang disebabkan oleh emisi karbon.

Teknologi dalam era 5.0 untuk optimalisasi bambu

    Dilihat dari potensi dan manfaatnya, diindonesia pada tahun 2000 luas tanaman bambu mencapai 2.104.000 ha yang terdiri dari 690.000 ha luas tanaman bambu dikawasan hutan dan terdapat 1.414.000 ha luas tanaman bambu di luar dari kawasan hutan (Arsad, 2014). Potensi besar ini, jika dikelola dengan baik, dapat memberikan dampak positif bagi ekonomi, konservasi, dan kebudayaan. Namun, untuk memaksimalkan potensi bambu, teknologi yang tepat sangat diperlukan, terutama dalam menghadapi era 5.0 yang ditandai dengan munculnya integrasi teknologi canggih dalam berbagai sektor kehidupan.

    Diera 5.0 ini, penggunaan teknologi sebagai upaya untuk optimalisasi bambu sangat diperlukan. kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), big data, dan teknologi robotik, membuka peluang besar untuk optimalisasi bambu dalam berbagai aspek. Teknologi ini dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam budidaya bambu, seperti pemantauan kesehatan tanaman melalui sensor berbasis IoT yang memungkinkan petani untuk mengidentifikasi masalah sejak dini, seperti serangan hama atau kekurangan air. Selain itu, penggunaan teknologi drone untuk pemetaan lahan bambu dapat membantu dalam pengelolaan lahan yang lebih presisi, mengurangi pemborosan dan meningkatkan hasil (Syafiqoh et al., 2018).

Tantangan dan upaya dalam optimalisasi bambu sebagai alternatif bioenergi dalam pembangunan berkelanjutan (SDGS)

    Bambu merupakan tanaman yang memiliki potensi besar jika digunakan sebagai bioenergi. Pemanfaatan bambu sebagai bioenergi bisa menjadi solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil serta mendukungnya pembangunan berkelanjutan (SDGS). Namun, meskipun bambu memiliki potensi besar sebagai alternatif bioenergi, terdapat berbagai tantangan yang harus diatasi. Tantangan dalam optimalisasi bambu sebagai bioenergy ini seperti, kurangnya infrastruktur dan teknologi pengolahan yang mana teknologi ini sangat penting sebagai upaya atau landasan dalam pengolahan bambu menjadi bioenergi, pendanaan dan investasi juga sangat dibutuhkan dalam pengoptimalan bambu ini.

  Selain tantangan dalam optimalisasi bambu sebagai alternatif bioenergy dalam pembangunan berkelanjutan, juga terdapatnya upaya. Upaya dalam optimalisasi bambu ini seperti. Melakukan riset dan pengembangan teknologi dalam pengolahan bambu menjadi bioenergi, melakukan peningkatan infrastruktur dan fasilitas pengelolahan serta melakukan edukasi kepada sumber daya manusia (Hanna,2017).

KESIMPULAN

  Bambu, sebagai salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK), memiliki potensi besar dalam mendukung ekonomi, konservasi, dan kebudayaan di Indonesia. Selain itu, bambu juga menawarkan peluang besar dalam pengembangan bioenergi, yang dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mendukung pencapaian tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama terkait dengan energi terbarukan dan penanggulangan perubahan iklim. Pemanfaatan bambu untuk bioenergi memerlukan pendekatan yang berkelanjutan dan teknologi yang tepat, seperti pirolisis untuk menghasilkan energi listrik dan pengurangan emisi karbon. Namun, optimalisasi potensi bambu menghadapi tantangan, seperti kurangnya infrastruktur, teknologi pengolahan, serta keterbatasan pendanaan dan sumber daya manusia yang terampil. Untuk itu, riset dan pengembangan teknologi, peningkatan infrastruktur, serta edukasi kepada masyarakat dan pelaku industri perlu menjadi fokus utama. Dengan langkah-langkah ini, bambu dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber bioenergi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, sekaligus memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia.

  ..

DAFTAR PUSTAKA

Aisman. 2016. Kajian dasar potensi energi listrik berbasis biomasa bambu di kabupaten kepulauan Mentawai. Jurnal Agroindustri. Vol. 6 (2): 65 – 72.

Arsad, E. 2015. Teknologi pengolahan dan manfaat bambu. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan. Vol.7 (1): 45 – 52.

Dewi, R. K., E. D. Daryono., Jimmy., M. R. Dwi., L. B. Sukarno., M. Zulfian., T. Sigit dan M. Aliyatus. 2023. Potensi Bambu Sebagai Alternatif Bahan Bakar Briket Dengan Teknologi Sederhana. Seminar Nasional 2023 SENIATI 2023 Sinergitas Era Digital 5.0 dalam Pembangunan Teknologi Hijau Berkelanjutan.

Hanna, R, H., B. Irawan., Diah., Pertiwi dan A. Litania. 2017. Pemanfaatan dan pengelolaan bambu berkelanjutan di Desa Cijedil, Cianjur, Jawa Barat sebagai upaya perwujudan Sustainable Development Goals (SDGs). PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON. Vol. 3 (2): 230-235.

Risqi, H. D., H. L. Guntur., A. B. K. Putra., T. V. Kusumadewi., A. H. Nasution., P. Sinansari dan F. Kurniawan. 2023. Kajian Potensi Bambu untuk Mendukung Penerapan Co-firing pada Pembangkit Listrik Jawa Bali. Jurnal pembangunan berkelanjutan. Vol. 7 (1): 85-90.

Suryati, 2016. Potensi energi biomassa pada tegakan bambu rakyat di kecamatan simbang kabupaten maros. Skripsi.

Syafiqoh, U., Sunardi, S., dan Yudhana, A. 2018. Pengembangan Wireless Sensoe Network Berbasis Internat of Things untuk Sistem Pemantauan Kualitas Air dan Tanah Pertanian. J. Inform. J. Pengemba. IT. Vol. 3 (2): 285-289.

Yahya, T dan I. Idris. 2019. Perlindungan Kawasan Hutan Dalam Rangka Pelestarian Alam Di Taman Nasional Berbak Provinsi Jambi. Jurnal Sains Sosio Humaniora. Vol. 3 (2): 206-213.

  .

Centre for Development of Smart and Green Building (CeDSGreeB) didirikan untuk memfasilitasi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor bangunan melalui berbagai kegiatan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan. Selain itu, CeDSGreeB secara aktif memberikan masukan untuk pengembangan kebijakan yang mendorong dekarbonisasi di sektor bangunan, khususnya di daerah tropis.

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 5 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 20

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

2 Comments

  1. Kak Dian Mayasari & Partner 15 November 2024 at 07:17 - Reply

    Sangat bermanfaat

  2. Aulll 15 November 2024 at 07:48 - Reply

    Uhuy menyala

  3. Lina 15 November 2024 at 18:07 - Reply

    Sangat baik

Leave A Comment