Membangun Masa Depan Berkelanjutan: Desain Ramah Lingkungan Desa Potato Head Sebagai Pionir Bangunan Hijau Di Bali

Last Updated: 9 November 2024By
📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 122

Ditulis oleh Lussy Ayu Puspita

(Sumber: seminyak.potatohead.co, 2024)

I. Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, urbanisasi yang pesat dan pertumbuhan populasi di perkotaan telah meningkatkan tekanan terhadap lingkungan, terutama dikawasan pariwisata seperti Bali. Kenaikan tajam dalam pembangunan infrakstruktur telah berdampak pada peningkatan penggunaan energi, pemanasan global, dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Di tengah tantangan ini, konsep desain ramah lingkungan menjadi semakin penting sebagai solusi untuk mencapai keseimbangan antara perkebangan ekonomi dan pelestarian lingkungan (Djunaedi, 2018).

Implementasi bangunan berkelanjutan di perkotaan masih menghadapi banyak kendala. Arsitektur hijau memerlukan inovasi material, teknologi, dan desain selaras alam yang sulit diterapkan di kawasan padat. Desa Potato Head di Bali menjadi contoh arsitektur hijau inovatif, menawarkan desain ramah lingkungan yang menginspirasi pembangunan berkelanjutan di perkotaan.Selain tantangan lingkungan, pembangunan berkelanjutan di area perkotaan juga menghadapi kendala sosial dan ekonomi. Biaya awal untuk menerapkan teknologi ramah lingkungan sering kali dianggap lebih tinggi dibadingkan dengan konstruksi konvensional, sehingga banyak pengembang enggan untuk beralih ke desain yang lebih berkelanjutan.

Selain itu, kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya arsitektur hijau membuat upaya ini terkadang tidak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat setempat maupun wisatawan (Institut Teknologi Nasional Bandung & Reztrie, 2023). Namun, dengan keberhasiln Desa Potato Head sebagai model bangunan hijau yang diterima secara positif oleh masyarakat, terbukti bahwa solusi desain ramah lingkungan dapat membawa manfaat jangka panjang jauh lebih besar, baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologis. Dengan demikian, penerapan konsep bangunan hijau seperti yang dilakukan Desa Potato Head menjadi langkah nyata dalam menciptakan kota-kota yang lebih berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim.

Desa Potato Head menggunakan material daur ulang, sistem pengelolaan energi yang efisien, dan desain terbuka yang memaksimalkan ventilasi alami. Hal ini tidak hanya mengurangi jejak karbon tetapi juga menciptakan ruang yang harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai salah satu bangunan yang berhasil menggabungkan keindahan, keberlanjutan, dan fungsi. Desa Potato Head telah menjadi pionir dan simbol penting bagi bangunan hijau di Bali.

Oleh karena itu, mengkaji solusi desain ramah lingkungan dari Desa Potato Head sangat relevan dalam memberikan inspirasi bagi pengembangan bangunan perkotaan yang berkelanjutan di seluruh duia. Di tengah krisis lingkungan global, upaya untuk membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan harus menjadi prioritas, terutama di kawasan wisata yang padat seperti Bali.

II. Pembahasan

2.1. Penggunaan Bahan Bangunan Berkelanjutan di Desa Potato Head

Desa Potato Head menerapkan konsep bangunan berkelanjutan dengan mnggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dan tahan lama. Diantaranya adalah pemanfaatan material daur ulang, seperti kayu bekas, yang diperoleh dari struktur bangunan lama, bambu lokal, dan batu alami yang diperoleh dari wilayah sekitar. Material ini tidak hanya mengurangi jejak karbon yang dihasilkan selama proses konstruksi, tetapi juga mencerminkan estetika lokal dan tropis yang unik (Universitas Pembangunan Jaya et al., 2021).

Pemilihan bahan bangunan berkelanjutan ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada material yang memerlukan banyak energi untuk diproduksi atau yang berdampak buruk terhadap lingkungan. Kayu bekas, misalnya, tidak hanya lebih hemat energi daripada baja atau beton, tetapi juga memiliki daya serap karbon yang penting dalam mengurangi emisi. Selain itu, material lokal seperti bambu lebih mudah diperoleh dan memerlukan lebih sedikit energi untuk transportasi, sekaligus memberikan kontribusi pada perekonomian local (Syahriyah, 2017). Dengan menggunakan material ramah lingkungan ini, Desa Potato Head menjadi contoh nyata bagi bangunan modern yang menghargai keberlanjutan sekaligus keindahan arsitektur tradisional.

Gambar 2.1 Kreatifitas Olahan Bambu
(Sumber: tatkala.co, 2024)

2.2. Efisiensi Energi Melalui Desain Arsitektural

Desa Potato Head juga menonjolkan desain arsitektural yang dirancang untuk efisiensi energi, yang sangat penting di tengah tantangan lingkungan perkotaan yang semakin padat. Bangunan ini menggunakan berbagai teknik desain yang mengurangi konsumsi energi, seperti orientasi bangunan yang memanfaatkan aliran angin alami dan atap hijau yang menambah isolasi termal. Orientasi bangunan yang tepat dapat memaksimalkan penggunaan sinar matahari di pagi hari dan mengurangi paparan panas di siang hari, mengurangi kebutuhan pendingin udara buatan.

Gambar 2.2 Eksterior Potato Head
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)

Selain itu, atap hijau yang digunakan berfungsi sebagai isolasi alami, mengurangi suhu internal bangunan sehingga lebih hemat energi dalam penggunaan pendingin. Insulasi ini juga membantu menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi penghuni dan pengunjung. Pendekatan desain arsitektural yang memperhatikan iklim tropis Bali ini menunjukkan bagaimana arsitektur ramah lingkungan dapat menekan penggunaan energi secara signifikan, terutama di kawasan dengan iklim serupa. Dengan desain ini, Desa Potato Head berperan dalam mengurangi emisi karbon serta menawarkan alternatif berkelanjutan bagi bangunan-bangunan di kawasan perkotaan (Syahriyah, 2017).

Gambar 2.2.2 Desain Arsitektur
(Sumber: seminyak.potatohead.co, 2024)

2.3. Inovasi Berkelanjutan Sustainism Lab

Salah satu penyebab utama timbulnya sampah adalah aktivitas pariwisata. Potato Head, sebuah beach club jaringan internasional yang berlokasi di Pantai Seminyak, Kuta, telah membangun laboratorium pengelolaan sampah bernama Sustainism Lab. Klub yang ramai dikunjungi ratusan orang setiap harinya ini menghasilkan lebih dari 40ton sampah setiap bulan. Dalam ruangan kecil yang menyerupai galeri ini, dipajang berbagai alat pengolah sampah seperti pencacah plastik, pencetak, dan alat lainnya. Di sana juga ditampilkan produk-produk hasil pengolahan sampah, seperti batu bata yang terbuat dari campuran bijih plastik dan pasir, serta wadah berwarna-warni yang dihasilkan dari daur ulang tutup botol dan plastik yang dilelehkan, kemudian dicetak menjadi plat untuk digunakan sebagai bahan pembuatan wadah sampo, sabun, dan lain-lain. .

Gambar 2.3 Sustainism Lab
(Sumber: mongabay.co.id, 2019)

Di area Potato Head, terdapat berbagai jenis sampah dari restoran dan hotel, seperti sisa makanan (buah dan sayuran), kertas, tisu, tetrapack, botol kaca, dan plastik. Sustainism Lab menjadi ruang eksperimen bagi karyawan untuk mempelajari karakteristik sampah yang dihasilkan dan mengembangkan material daur ulang. Salah satu proyeknya adalah pembuatan batu bata dari label botol plastik dan kantong LDPE (Low Density Polyethylene) yang dicampur pasir, setiap batu bata menggunakan sekitar satu kilogram plastik dan setara dengan paving block, akan digunakan pada hotel di Potato Head.

Proyek lainnya meliputi pengolahan tutup botol plastik, yang dicacah, dipanaskan dalam oven selama 30 menit menggunakan alat khusus, lalu dicetak menjadi lempengan. Sisa styrofoam direncanakan akan dicacah dan dicampur dengan semen serta pasir untuk menghasilkan material peredam suara di night club. Selain itu, sisa restoran seperti cangkang kerang akan diolah sebagai elemen dekoratif dan sisa minyak yang telah digunakan untuk memasak makanan diolah sebagai lilin. .

Gambar 2.3.1 Lempengan Dari Hasil Olahan
(Sumber: Dokumentasi pribadi, 2024)

Selain Sustainism Lab, perusahaan ini juga menciptakan berbagai instalasi seni bekerja sama dengan seniman. Di bangunan utamanya, terdapat ratusan jendela kayu bekas dengan gaya etnik yang menarik perhatian pengunjung. Laboratorium ini merupakan hasil karya arsitek Indonesia, Andra Martin. Salah satu instalasi menonjol lainnya adalah rangkaian ombak yang terbuat dari sekitar 5.000 sandal jepit bekas yang ditemukan sebagai limbah di pantai. Seniman asal Jerman, Liina Klauss, mengumpulkan sampah laut ini, membawanya ke darat, dan mengubahnya menjadi karya seni yang mengajak manusia untuk refleksi diri. Berjudul “5000 Soles” instalasi ini tampil mencolok di depan pintu masuk dan menyatu dengan arsitektur bangunan berfasad jendela kayu. Sandal-sandal jepit tersebut disusun berdasarkan warna dan membentuk gradasi menyerupai pelangi, mulai dari putih, merah muda, biru muda, hijau, kuning, hitam, dan warna lainnya. Semua warna bergradasi secara alami karena sandal-sandal ini terpengaruh oleh air asin dan air sungai yang memudarkan warnanya. .

Gambar 2.3.2 Fasad Bangunan
(Sumber: www.andramatin.com, 2010)

Gambar 2.3.3 5000 Lost Soles
(Sumber: seminyak.potatohead.co, 2016)

2.4. Dampak Keseluruhan terhadap Kualitas Hidup Masyarakat dan Inspirasi bagi Pembangunan Berkelanjutan di Perkotaan

Penerapan desain berkelanjutan di Desa Potato Head berdampak positif pada kualitas hidup dan lingkungan perkotaan. Pendekatan menggunakan bahan berkelanjutan, efisiensi energi, serta pencahayaan dan ventilasi alami, mengurangi dampak lingkungan. Keberhasilan ini menjadi model bagi kawasan perkotaan lain untuk mengadopsi desain hijau yang estetis dan fungsional. Dengan tantangan lingkungan yang terus meningkat, Desa Potato Head menjadi inspirasi bagi pengembang dan pembuat kebijakan dalam menciptakan kota yang lebih hijau dan berkelanjutan (Kosasih et al., 2021).

III. Penutup

3.1. Kesimpulan

Penerapan desain berkelanjutan di Desa Potato Head berdampak positif pada kualitas hidup dan lingkungan perkotaan. Pendekatan menggunakan bahan berkelanjutan, efisiensi energi, serta pencahayaan dan ventilasi alami, mengurangi dampak lingkungan sambil meningkatkan kenyamanan dan kesehatan pengunjung. Keberhasilan ini menjadi model bagi kawasan perkotaan lain untuk mengadopsi desain hijau yang estetis dan fungsional. Dengan tantangan lingkungan yang terus meningkat, Desa Potato Head menjadi inspirasi bagi pengembang dan pembuat kebijakan dalam menciptakan kota yang lebih hijau dan berkelanjutan.

REFERENSI

Djunaedi, A. (2018). Membangun kota dan kabupaten cerdas: Sebuah panduan bagi pemerintah daerah (Cetakan kedua). Gadjah Mada University Press.

Institut Teknologi Nasional Bandung, & Reztrie, N. D. (2023). KRITERIA PENILAIAN BANGUNAN HIJAU PADA HUNIAN VERTIKAL MENURUT PREFERENSI MASYARAKAT. Journal of Architectural Design and Development, 4(2), 157–166. https://doi.org/10.37253/jad.v4i2.8576

Kosasih, K., Eko Putro, M. Z. A., & Mardamin, A. (2021). KEPEMIMPINAN LOKAL, MODERASI BERAGAMA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI PURWAKARTA. Penamas, 34(2), 221–242. https://doi.org/10.31330/penamas.v34i2.511

Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknologi dGambar 3. Proses Mengolah Lim(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)Gambar 4. Pengumpulan Botol bekas(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)Gambar 5. Penguraian Limbah(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)Gambar 6. Mesin Percetakan (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2024)

About the Author: Moch Faisal Hamid

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 4.8 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 32

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

Leave A Comment