Mengupayakan Keberlanjutan: Pendekatan Ekonomi Sirkular untuk Konstruksi Infrastruktur Bangunan yang Ramah Lingkungan

Last Updated: 10 November 2024By
📖 ࣪ Banyaknya pembaca: 59

Ditulis oleh Wahyu Candra Dewi

Meningkatnya kesadaran global akan krisis lingkungan pada akhir tahun 1960-an tidak serta merta memunculkan perubahan signifikan atas cara pandang terhadap proses produksi dan konsumsi. Termasuk dalam bidang Arsitektur, Teknik, dan Konstruksi (Architecture, Engineering, and Construction/AEC), pendekatan ekonomi linier yang dicirikan dengan take-make-use-dispose masihlah menjadi diskursus yang dominan (Kirchherr dkk., 2018; van Uden dkk., 2024). Wacana mengenai keberlanjutan baru tampak dalam sektor AEC setidaknya pada tahun 2010 yang ditandai dengan munculnya istilah-istilah baru seperti green design atau green architecture (Adiyanto, 2014) untuk mewadahi inkorporasi nilai lingkungan dalam proses konstruksi bangunan (Attmann, 2010). Meskipun demikian, pada awal perkembangannya, subyek sustainabilitas ini dimaknai dengan begitu sederhana. Adams dkk. (2017) menyebutkan bahwa upaya sektor AEC untuk mengimplementasikan keberlanjutan seringkali terbatas pada proses daur ulang limbah konstruksi dan pembongkaran.

Terlambatnya proses adaptasi kultur yang mengedepankan konservasi ekologi dan sempitnya definisi ke-lingkungan-an yang diadopsi oleh AEC menjadi aral tersendiri dalam upaya global untuk mewujudkan peradaban yang berkelanjutan. Bagaimanapun juga, AEC adalah bagian penting dari sebuah proses pembangunan. Tidak hanya menjadi tonggak utama penciptaan infrastruktur fisik yang mendukung segala bentuk aktivitas manusia, AEC juga mendefinisikan apa yang disebut dengan kemajuan dan modernitas. Proses dalam sektor AEC yang minim nilai lingkungan ini akhirnya berdampak secara signifikan terhadap biosfer dengan melahirkan kembali siklus kerentanan ekologi. Terlebih dengan semakin meningkatnya jumlah populasi dunia yang mendorong kenaikan permintaan terhadap bangunan, baik untuk kebutuhan papan tinggal, komersil, maupun infrastruktur konektivitas.

Dalam kaitannya dengan permasalahan degradasi lingkungan, The Circularity Gap Report (2024) mencatat bahwa proses konstruksi, penggunaan, dan pembongkaran bangunan bertanggung jawab atas lebih dari seperlima emisi nitrogen global, menyumbang 30 persen penggunaan energi dunia, dan berkontribusi pada 37 persen pencemaran karbondioksida (Torres Curado dkk., 2024; UNEP, 2022). Belum lagi masalah limbah konstruksi yang diprediksikan akan mencapai angka 2,2 triliun ton pada tahun 2050 (Ho dkk., 2024). Situasi ini memberikan indikasi bahwa implementasi perspektif hijau dalam sektor AEC dengan lingkup yang cenderung terlalu sempit, tidaklah cukup untuk mentransformasi infrastruktur bangunan menjadi ramah lingkungan guna mencapai keberlanjutan. Sebuah pendekatan baru yang sifatnya lebih radikal agaknya harus mulai dipertimbangkan. Artikel ini memahami bahwa penerapan prinsip ekonomi sirkular dalam AEC dapat menjadi salah satu opsi solusi, yang tidak hanya mengakselarasi proses pencapaian tujuan sustainabilitas, tapi juga untuk mengurangi beban biaya pembangunan. Bagaimana bisa?

Ekonomi Sirkular, Mengapa, dan Bagaimana: Sebuah Jawaban?

Ekonomi sirkular pada dasarnya berakar dari pemikiran tentang keterbatasan dan kelangkaan sumber daya yang dapat ditemukan dalam tulisan David Ricardo di tahun 1817. Meskipun demikian, Korhonen dkk. (2018) menyebut ekonomi sirkular sebagai sebuah konsep yang masih diperdebatkan. Hal ini mengacu pada begitu banyaknya interpretasi mengenai konsep ini, terutama dalam proses implementasinya. Definisi ekonomi sirkular yang cukup luas ditawarkan oleh Cramer (2014) dengan mengadopsi 9 strategi yang dikenal dengan 9R, meliputi Recover, Recycle, Repurpose, Remanufacture, Refurbish, Repair, Reuse, Reduce, dan Refuse. Secara umum, pendekatan 9R dalam ekonomi sirkular ini mendukung sistem restoratif dan regeneratif yang beroperasi dalam batas biofisik lingkungan sembari mendorong pembangunan ekonomi dan sosial (Lucas & Löschke, 2024).

Kemunculan wacana ekonomi sirkular menjadi titik balik penting bagi masyarakat global dalam upayanya mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan. Karena, meskipun sudah hadir selama lebih dari tiga dekade, Pesqueux (2009) memahami diskurus pembangunan berkelanjutan saat ini sebagai sesuatu yang ambigu dan tidak jelas. Ekonomi sirkular dianggap menjadi alat yang tepat untuk memutus rantai ambiguitas tersebut dengan menghadirkan pilar-pilar yang sifatnya lebih praktikal untuk mencapai sustainabilitas. Tak terkecuali dalam bidang AEC yang menjadi penopang pembangunan.

Pendekatan ekonomi sirkular terkonsentrasi pada upaya konservasi dan penggunaan sumber daya yang lebih efektif. Transisi bidang AEC untuk mulai menerapkan prinsip tersebut bagi Rahla dkk. (2021) dan Osobajo dkk. (2022), dianggap sebagai sesuatu yang krusial. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua kebermanfaatan utama yang bisa diperoleh dari pengaplikasian ekonomi sirkular yaitu manfaat lingkungan dan manfaat ekonomi. Berkaitan dengan ekologi, penerapan ekonomi sirkular diprediksikan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca, polusi air, dan deforestasi yang dihasilkan dari proses konstruksi. Selain itu, ekonomi sirkular juga akan mendorong upaya untuk memperpanjang umur material bangunan dengan merancangnya agar dapat digunakan kembali, diperbaiki, dan didaur ulang (Torres Curado dkk., 2024). Sementara itu, dari sudut pandang keuangan, pengaplikasian ekonomi sirkular berpotensi untuk mengurangi beban biaya material dan mengoptimalkan biaya operasional.

Namun demikian, guna mendapatkan keuntungan tersebut, pemaknaan dan aplikasi ekonomi sirkular harus mengalami perluasan, tidak hanya bertumpu pada pengelolaan limbah konstruksi semata. Setidaknya, terdapat lima area penting dimana proses ekonomi sirkular ini bisa diterapkan dalam bidang AEC (Ho dkk., 2024). Pertama, pada mekanisme desain dengan (1) mendorong penggunaan material alternatif yang ramah lingkungan dan (2) menghadirkan rancang bangun yang bersifat energi konservatif. Kedua, pada proses pembangunan yang berfokus pada manajemen dan pengurangan limbah konstruksi, serta pemanfaatan sumber daya lokal untuk mengurangi ketergantungan pada material impor. Ketiga pada proses pemilihan material dengan memberikan pertimbangan secara menyeluruh terhadap rantai nilai produksi untuk menilik adanya kemungkinan penggunaan limbah dari sektor lain dalam sektor konstruksi. Keempat, pada penggunaan teknologi yang tepat guna yang dapat berfungsi sebagai media kolaborasi efektif dari berbagai pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi. Kelima, pada pola pikir pemangku kepentingan dalam proyek konstruksi yang dapat mendukung keberhasilan penerapan ekonomi sirkular secara holistik.

Ekonomi sirkular memiliki potensi yang besar untuk mentransformasi AEC agar lebih ramah lingkungan sehingga dapat mendukung secara optimal pencapaian keberlanjutan. Meskipun begitu, tantangan dan hambatan dalam proses inkorporasinya juga tidak boleh diabaikan. Kristensen dkk. (2021) menyebutkan bahwa implementasi ekonomi sirkular dalam sektor AEC membutuhkan perubahan sistem yang radikal terutama karena banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat dalam setiap proyek pembangunan. Curado dkk. (2024) mengklasifikasikan berbagai hambatan tersebut setidaknya menjadi empat kategori: (1) hambatan finansial karena penerapan ekonomi sirkular mensyaratkan biaya investasi awal yang cukup besar untuk adopsi teknologi baru; (2) hambatan behavioral karena banyak pihak dalam sektor AEC yang belum menyadari manfaat ekonomi sirkular, bagaimana cara mengimplementasikannya, atau terlalu konservatif dengan budaya yang menghindari risiko; (3) hambatan politik karena kurangnya kebijakan yang dapat mendorong penerapan ekonomi sirkular, dan (4) hambatan sistem karena belum adanya standarisasi metode untuk mengukur sirkularitas bangunan dalam tataran teknis. Lantas, dengan demikian apakah pendekatan ekonomi sirkular tetap bisa menjadi jawaban bagi penciptaan konstruksi bangunan yang ramah lingkungan?

Jawabannya, tentu masih bisa. Meskipun tantangan yang dihadapi dalam penerapan ekonomi sirkular di sektor AEC cukup signifikan, ekonomi sirkular tetap merupakan jalur yang strategis untuk mencapai pembangunan yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Namun, untuk memastikan bahwa ekonomi sirkular dapat diterapkan secara efektif, dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang erat dari seluruh pemangku kepentingan dalam industri AEC, mulai dari perancang, kontraktor, hingga pemerintah. Setiap pihak perlu menyadari peran penting mereka dalam proses ini dan bekerja bersama untuk mengatasi hambatan yang ada. Lebih dari itu, penerapan ekonomi sirkular harus dipahami dan diterapkan secara lebih holistik, tidak hanya sebatas pada pengelolaan limbah, tetapi juga mencakup desain bangunan yang berkelanjutan, penggunaan material alternatif, pemanfaatan teknologi yang tepat, dan pengembangan kebijakan yang mendukung. Perlu adanya edukasi dan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman mengenai manfaat dan cara-cara praktis untuk mengimplementasikan ekonomi sirkular.

Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, kolaboratif, dan berkelanjutan, ekonomi sirkular dapat menjadi landasan untuk mengubah industri AEC menjadi lebih ramah lingkungan dan efisien, sekaligus membuka peluang ekonomi baru yang lebih bertanggung jawab. Oleh karena itu, meskipun tantangan yang ada tidak bisa dipandang ringan, dengan tekad yang kuat dan kerjasama yang solid, sektor AEC dapat melangkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan berwawasan lingkungan melalui penerapan ekonomi sirkular.

Referensi

Adams, K. T., Osmani, M., Thorpe, T., & Thornback, J. (2017). Circular economy in construction: current awareness, challenges and enablers. Proceedings of the Institution of Civil Engineers – Waste and Resource Management, 170(1), 15–24. https://doi.org/10.1680/jwarm.16.00011

Adiyanto, J. (2014). Understanding of Local Knowledge In Sustainable Development Toward Global Perspective. Architecture & Environment , 13(2), 111–112.

Attmann, O. (2010). Green Architecture: Advanced Technologies and Materials. McGraw Hill. https://www.accessengineeringlibrary.com/content/book/9780071625012

Circle Economy Foundation. (2024). The Circularity Gap Report 2024. https://admin.circl.nl/wp-content/uploads/2024/02/CGR-Global-2024-Report.pdf

Cramer, J. (2014). Milieu, Elementaire Deeltjes (Environment, Elementary Particles). Amsterdam University Press.

Ho, O., Iyer-Raniga, U., Sadykova, C., Balasooriya, M., Sylva, K., Dissanayaka, M., Sukwanchai, K., Pal, I., Bhatia, A., Jain, D., & Sivapalan, S. (2024). A conceptual model for integrating circular economy in the built environment: An analysis of literature and local-based case studies. Journal of Cleaner Production, 449, 141516. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2024.141516

Kirchherr, J., Piscicelli, L., Bour, R., Kostense-Smit, E., Muller, J., Huibrechtse-Truijens, A., & Hekkert, M. (2018). Barriers to the Circular Economy: Evidence From the European Union (EU). Ecological Economics, 150, 264–272. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2018.04.028

Korhonen, J., Honkasalo, A., & Seppälä, J. (2018). Circular Economy: The Concept and its Limitations. Ecological Economics, 143, 37–46. https://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2017.06.041

Kristensen, H. S., Mosgaard, M. A., & Remmen, A. (2021). Circular public procurement practices in Danish municipalities. Journal of Cleaner Production, 281, 124962. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.124962

Lucas, A. N., & Löschke, S. K. (2024). Towards circular renovation: a comparative review of circular economy integration in sustainable building rating systems. Building Research & Information, 1–22. https://doi.org/10.1080/09613218.2024.2394470

Osobajo, O. A., Oke, A., Omotayo, T., & Obi, L. I. (2022). A systematic review of circular economy research in the construction industry. Smart and Sustainable Built Environment, 11(1), 39–64. https://doi.org/10.1108/SASBE-04-2020-0034

Pesqueux, Y. (2009). Sustainable development: a vague and ambiguous “theory.” Society and Business Review, 4(3), 231–245. https://doi.org/10.1108/17465680910994227

Rahla, K. M., Mateus, R., & Bragança, L. (2021). Selection Criteria for Building Materials and Components in Line with the Circular Economy Principles in the Built Environment—A Review of Current Trends. Infrastructures, 6(4), 49. https://doi.org/10.3390/infrastructures6040049

Torres Curado, M., Resende, R., & Rato, V. M. (2024). Circular economy: current view from the construction industry based on published definitions. Sustainability: Science, Practice and Policy, 20(1). https://doi.org/10.1080/15487733.2024.2364954

UNEP. (2022). 2022 Global Status Report for Buildings and Construction: Towards a Zero Emission, Efficient and Resilient Buildings and Construction Sector.

van Uden, M., Wamelink, H., van Bueren, E., & Heurkens, E. (2024). Aligning practices towards a circular economy in the architecture, engineering, and construction sector: seven transitions in different stages of reconfiguration. Construction Management and Economics, 1–22. https://doi.org/10.1080/01446193.2024.2401829

About the Author: Moch Faisal Hamid

Seberapa bermanfaat artikel ini?

Klik pada bintang untuk memberi rating!

Rata-rata bintang 5 / 5. Jumlah orang yang telah memberi rating: 3

Belum ada voting sejauh ini! Jadilah yang pertama memberi rating pada artikel ini.

One Comment

  1. Nasta 11 November 2024 at 10:52 - Reply

    Artikel ini telah menjelaskan konsep-konsep yang cukup baru dan rumit dengan bahasa yang mudah dipahami. Sekarang saya jadi lebih sadar pentingnya pembangunan-pembangunan yang bertanggung jawab. Ternyata memang lebih besar manfaatnya, tapi sayangnya memang tidak semua negara mau dan mampu menerapkan ini. Semoga kedepannya tulisan ini menjadi batu bata penyusunan ide pembangunan yang lebih baik.

Leave A Comment